Penulis: Agus S Efendi

Pada 8 Oktober yang lalu, The Royal Swedish Academy of Science mengumumkan peraih Nobel di bidang ekonomi untuk tahun 2023. Nama yang muncul adalah Claudia Goldin, seorang sejarawan ekonomi berkebangsaan Amerika yang mengajar di Harvard selama lebih dari tiga dekade terakhir. Ia meraih penghargaan itu karena dinilai telah berkontribusi meningkatkan pemahaman tentang perbedaan gender dalam pasar tenaga kerja. Sebagai seseorang ekonom, Goldin lebih tertarik pada perkembangan pola hubungan antara perempuan dan ekonomi. Untuk mendalami ini ia memfokuskan diri untuk mengkaji sejarah partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja di Amerika sejak akhir abad 19.

Kalau kita membaca karya-karya Goldin, sebagian dari kita mungkin akan mengerutkan dahi karena di sana-sini ada banyak angka, tabel dan istilah-istilah asing. Misalnya adalah karyanya yang berjudul Understanding the Gender Gap: An Economic History of American Women. Buku ini sedikit banyak telah memicu perdebatan panas tentang ketimpangan pembayaran kerja antara perempuan dan laki-laki di beberapa sektor industri.

Kendati demikian, cara ia menggunakan data statistik untuk membuat indikator serta menguatkan argumen sangat menarik untuk disimak. Salah satu argumen historis yang ia ajukan adalah tingkat partisipasi kerja perempuan sebelum dan sesudah era industrialisasi tergambar seperti kurva U.

Untuk penjelasannya adalah sebagai berikut. Sebelum era industrial, sebagian besar perempuan ternyata telah berpartisipasi dalam kerja-kerja di lahan pertanian. Tapi selama era industrial, sebagian besar lapangan kerja yang ada menuntut efisiensi. Hal ini yang kemudian membuat partisipasi perempuan menurun drastis. Industrialisasi rupanya juga membuat lanskap pasar tenaga kerja lebih kompleks dengan jenis-jenis pekerjaan administrasi dan manajerial. Pada era teknologi industri telah maju, partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja cenderung meningkat.

Karya-karya Goldin juga disebut sebagai upaya paling komprehensif dalam memahami sejarah pasar tenaga kerja di Amerika. Ia tidak hanya mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja seperti pendidikan, aturan regulasi dan norma sosial namun juga motivasi dan impian perempuan. Menurut Godin, gerakan feminisme telah memberikan hasrat bagi perempuan untuk terlibat dalam kehidupan sosial-ekonomi. Namun, ia menekankan, struktur pasar tenaga kerja yang diskriminatif terhadap perempuan berkeluarga telah membuat partisipasi perempuan terhambat.

Setiap generasi memiliki tantangan zamannya sendiri. Hal ini diterjemahkan oleh Goldin dalam karya terburunya Career & Family: Women’s Century-long Journey Toward Equity. Buku ini membahas dinamika pilihan perempuan dalam bekerja atau berkarier dengan berkeluarga dalam satu abad terakhir di Amerika. Kita perlu mencatat bahwa protagonis yang Goldin pilih adalah perempuan terdidik bukan perempuan secara umum. Alasannya adalah mereka adalah kelompok yang memiliki peluang terbesar untuk bekerja dan mengembangkan karier. Yang menarik, ia mengambil sampel perempuan terdidik dari daftar nama-nama perempuan Amerika berpengaruh di abad 20. Dengan demikian buku itu mengangkat cerita tentang pilihan-pilihan perjalanan hidup perempuan terdidik.

Sejarah menunjukkan bahwa setiap generasi perempuan terdidik memiliki tipologi yang berbeda dalam memandang bekerja dan berkeluarga. Perempuan terdidik yang menjalani usia dewasa pada dekade awal abad 20 berada dalam posisi dilematis. Mereka harus memilih salah satu antara bekerja atau berkeluarga. Menurut Goldin, kelompok generasi ini memiliki satu indikator yang unik yaitu perempuan yang bekerja cenderung tidak menikah atau memiliki anak. Pada era 1920-1930an, perempuan terdidik lebih memilih untuk bekerja lantas berkeluarga. Hal ini dipengaruhi oleh terbukanya lapangan pekerjaan yang dapat diisi oleh perempuan terdidik. Satu indikator pentingnya adalah usia saat mereka menikah lebih tinggi daripada generasi sebelumnya. Dengan kata lain mereka menunda pernikahan untuk bekerja lebih dulu.

Pada generasi berikutnya, perempuan terdidik memiliki preferensi untuk berkeluarga kemudian bekerja. Mereka cenderung untuk menikah dan memiliki anak lebih awal agar nantinya dapat bekerja secara penuh. Untuk generasi antara era 1960-1970an, perempuan terdidik ternyata lebih memilih untuk berkarier kemudian berkeluarga. Salah satu faktor utamanya adalah pil kontrasepsi yang memungkinkan perempuan memiliki kontrol atas kelahiran. Sebagai konsekuensi, Goldin menyebutkan, 76 persen perempuan terdidik yang berusia 25-29 tahun pada generasi ini berpartisipasi dalam angkatan kerja. Perubahan yang fenomenal ini ia sebut sebagai Quiet Revolution (revolusi senyap) karena pada saat itu pemerintah melarang penggunaan pil kontrasepsi selain untuk pasangan yang telah menikah.

Generasi yang dewasa antara era 1980-2000an rupanya memiliki tipologi yang agak berbeda. Perempuan terdidik dari generasi ini memiliki aspirasi untuk berkarier dan berkeluarga. Istilah populernya work-life balance. Mereka tidak ingin keluarga yang akan mereka jalani berakhir pada perceraian seperti yang banyak terjadi pada generasi sebelumnya. Oleh karena itu mereka mengharapkan pasangan yang memiliki keinginan yang sama apa mereka inginkan [karir dan keluarga]. Aspirasi ini tampak kontradiktif karena baik karir maupun keluarga sama-sama membutuhkan waktu. Pada akhirnya, kesetaraan gender dalam pasar tenaga kerja akan dipengaruhi oleh mekanisme pembagian waktu dalam keluarga.

Mungkin benar bahwa untuk memperkuat partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja yang diperlukan adalah penguatan layanan pengasuhan. Secara struktural, hal ini sama artinya dengan mentransfer beban pengasuhan dalam mekanisme sosial atau pasar. Namun Goldin mengatakan bahwa yang perlu diubah adalah struktur kerja yang lebih fleksibel.

Pendekatan historis yang digunakan Goldin dalam membedah fenomena partisipasi kerja merupakan hal yang perlu dikembangkan. Apalagi sejauh ini kajian dalam bidang ekonomi lebih bersifat a-historis karena lebih menekankan fungsi-fungsi struktural dan prediksi di masa depan. Kelincahan Goldin dalam memanfaatkan kategori demografi, tren sosial-ekonomi dan data-data statistik membuat kita memahami kompleksitas persoalan.

Lantas bagaimana dengan perkembangan partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja di negara-negara lain, khususnya Indonesia? Tentu untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu melakukan kajian historis dengan pendekatan interdisipliner.