Reporter: Tim Pusdeka
Pusdeka UNU Yogyakarta telah menyelenggarakan Pelatihan Peer-Counselor pada Kamis dan Jum’at lalu (21 & 22/03). Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini dilaksanakan sebagai respon terhadap temuan hasil Survey Kesehatan Mental Mahasiswa UNU Yogyakarta pada bulan Oktober 2023. Survey ini menunjukkan bahwa angka mahasiswa yang pernah memiliki masalah kesehatan mental rupanya cukup tinggi. Yang menarik ketika mengalami masalah mereka cenderung mengeluh kepada teman dekat atau keluarga. Dari situ diperoleh suatu kesimpulan bahwa salah satu langkah strategis dalam mengantisipasi sekaligus mereduksi efek negatif dari masalah kesehatan mental yang dialami oleh para mahasiswa adalah dengan membentuk konselor sebaya.
Dalam satu tahun terakhir memang Klinik K2+ telah membuka layanan konseling yang bisa diakses oleh para mahasiswa secara gratis. Namun dengan keterbatasan sumberdaya dan masih kurangnya kesadaran mahasiswa UNU Yogyakarta tentang kesehatan mental, pada akhirnya layanan konseling tampak belum mampu mendampingi para mahasiswa yang membutuhkan secara maksimal. Inilah yang membuat kegiatan pelatihan peer-counselor penting untuk dilakukan. Kegiatan ini bertujuan untuk mendekatkan layanan konseling di kalangan mahasiswa. Dengan demikian, mahasiswa UNU Yogyakarta yang mengalami masalah kesehatan mental akan memiliki ruang untuk mengeluh serta teman yang peduli terhadap kondisi mereka.
Dalam kegiatan pelatihan peer-counselor ini, yang menjadi adalah mahasiswa semester dua sampai enam. Mereka dipilih berdasarkan rekomendasi dari Kepala Program Studi. Dengan begitu, para peserta yang mengikuti pelatihan ini benar-benar berkomitmen untuk menjadi konselor sebaya bagi teman-teman dari Prodi mereka masing-masing. Agar pelatihan ini berjalan efektif maka jumlah peserta pun dibatasi hanya 25 mahasiswa.
Pada hari pertama pelatihan, para peserta pertama-tama diajak untuk saling berkenalan dan menyebutkan prinsip diri. Fasilitator pelatihan, Neilna Revda, memandu sesi ice breaking sembari membuat kontrak belajar selama kelas pelatihan. Setelah itu, Rindang Farihah membuka kegiatan itu dengan mengatakan bahwa pelatihan peer-counselor merupakan sebuah upaya dalam mewujudkan UNU Yogyakarta sebagai kampus yang aman, nyaman dan menyenangkan.
Mengenal Kondisi Mental Remaja dan Peran Konselor Sebaya
Narasumber pertama dalam kegiatan pelatihan peer-counselor adalah Dr. Kartika Nur Fathiyah (dosen Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi UNY). Pada sesi pertama, Ika memaparkan materi tentang kondisi metal remaja. Ia menyoroti gejala umum di masyarakat bahwa anak remaja sekarang lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental. Jika tidak ditangani, masalah mental akan membuat anak remaja berpikir dan/atau melakukan tindakan yang tidak masuk akal. Misalnya menyakiti diri sendiri (self-harm). Bagi pelaku, Ika menjelaskan, hal tersebut lebih merupakan pelampiasan luka psikologis dalam bentuk luka fisik.
Beberapa kasus bunuh diri mahasiswa yang akhir-akhir ini heboh juga menjadi sorotan penting. Biasanya saat seseorang sudah mentok dan tidak memiliki tempat bernaung, pikiran untuk melakukan bunuh diri akan sering muncul. Dari situ Ika menekankan bahwa siapa pun bisa mengalaminya. Oleh karena itu hal yang paling penting untuk dilakukan adalah edukasi dan upaya pencegahan. Ibu Ika lalu menerangkan beberapa faktor risiko kesehatan mental seperti rumah tangga yang tidak harmonis, korban bullying, korban hubungan toxic, dan waham (merasa) cemas.
Orang stress atau memiliki masalah kesehatan mental tidak akan bisa melakukan apa saja secara optimal. Ika mendorong para peserta untuk berbagi pengalaman stress yang pernah dihadapi. Salah satu peserta berbagi pengalamannya dalam menulis skripsi. Ia mengaku stress saat tidak tahu apa yang musti ditulis. Ia biasanya memutuskan untuk berhenti dan melakukan aktivitas lain. Menanggapi hal ini, Ika menambahkan mahasiswa yang tengah mengerjakan skripsi itu seharusnya punya support group atau teman yang siap mendukung.
Peserta yang lain bertanya soal cara memperlakukan teman yang memiliki masalah tapi cenderung tertutup. Ika memahami bahwa seorang introvert akan sangat sulit untuk membuka persoalan diri. Namun paling tidak ada dua bisa dilakukan. Pertama, kita menunjukkan sikap perhatian dan siap untuk menemani. Terakhir, jika dia bercerita, kita mendengarkan serta mencoba memahami. Yang menarik dalam praktik konseling adalah kalau orang sudah mau bercerita separuh masalah sudah terurai. Nah, dua hal tersebut merupakan modal utama menjadi seorang konselor sebaya.
Konselor sebaya adalah teman yang bisa dipercaya. Sebagai teman, mereka harus memiliki kemampuan persuasi agar orang yang memiliki persoalan dapat melihat dari aspek-aspek positif. Adapun tujuan dari konselor sebaya adalah; a) membantu memahami masalah, b) membangun afeksi positif, c) berlatih membiasakan bertindak secara konstruktif. Ketika berinteraksi dengan klien, seorang konselor harus mengerahkan seluruh fungsi tubuhnya untuk merespon dengan tepat.
Dalam praktik konseling, ada proses atau tahapan yang harus dilalui. Pertama, pembukaan yang mana konselor mulai menjalin hubungan dengan klien. Kedua, penjelasan masalah yang mana klien bersedia menceritakan masalahnya. Ketiga, penggalian yang berupaya mencari latar beserta akar masalah. Keempat, penyelesaian yang mana konselor dan klien membicarakan bagaimana persoalan diatasi. Terakhir, penutup ketika konseling dinyatakan selesai.
Kesetaraan Gender, Inklusi dan Maskulinitas
Pada hari kedua, kegiatan pelatihan peer-counselor mengundang dua narasumber yang berbeda. Narasumber yang pertama adalah Wiwin SA Rohamawati (Direktur Center for GESI UNU Yogyakarta). Ia membawakan materi tentang kesetaraan gender, mubadalah dan inklusi. Adapun yang menjadi narasumber kedua adalah Saeroni (Koordinator Aliansi Laki-laki Baru) yang memaparkan materi tentang maskulinitas dan perilaku berisiko. Kedua materi ini penting untuk diberikan kepada peserta pelatihan karena masalah kesehatan mental yang dialami para remaja dan anak muda terkait erat dengan pola relasi gender.
Wiwin mengawali sesi kesetaraan gender dengan brainstorming. Para peserta diajak untuk menuliskan perbedaan karakter laki-laki dan perempuan. Dari hasil identifikasi tersebut, diketahui bahwa laki-laki memiliki karakter; kuat, tanggungjawab dan mengayomi. Sebaliknya, perempuan memiliki karakter; lembut, peduli, sabar, dan mandiri. Setelah itu wiwin mengajukan pertanyaan kepada peserta soal apa perbedaan sex dan gender. Beberapa peserta pun antusias menjawab. Salah satunya mengatakan bahwa kalau gender itu dibentuk sedangkan sex tidak bisa diubah.
Gender adalah perbedaan sifat, peran dan perilaku yang dikontraksi secara sosial. Proses pengkonstruksian gender terjadi di semua ruang kehidupan sosial mulai dari pola asuh, norma dan nilai budaya, doktrin, kurikulum serta aturan hukum atau perundang-undangan. Ini lantas memunculkan apa yang disebut ketidakadilan gender. Bentuknya bisa bermacam-macam. Misalnya, subordinasi, stereotipe, kekerasan, beban ganda dan marginalisasi. Wiwin kemudian mengajak para peserta untuk melihat bagaimana Islam memandang keadilan gender.
Salah satu konsep yang membicarakan keadilan gender dalam Islam adalah mubadalah (kesalingan). Konsep ini dicetuskan oleh Faqihuddin Abdul Qodir baik sebagai perspektif maupun metode dalam menggali hukum syariat. Mubadalah sendiri memuat beberapa prinsip yaitu; keimanan, kerahmatan, kebaikan hidup, dan kebahagiaan akhirat. Lantas apa yang harus dilakukan untuk memiliki perspektif yang adil secara gender? Wiwin memberikan 3 kunci keterbukaan (openness). Kunci pertama open mind atau terbuka pikiran dalam arti berwawasan luas. Kunci kedua open hearth atau keterbukaan hati dalam arti memiliki rasa empati. Kunci ketiga open will atau terbuka terhadap berbagai kepentingan yang berbeda.
Saeroni menyampaikan materi tentang maskulinitas dan perilaku berisiko untuk melengkapi pemaparan sebelumnya. Namun, pada mulanya Ia mengenalkan para peserta tentang Aliansi laki-laki baru yang merupakan sebuah gerakan yang mendorong pelibatan laki-laki dalam menghapus kekerasan berbasis gender. Agenda gerakan ini mencakup mengubah konstruksi maskulinitas laki-laki dan transformasi perilaku laki-laki beresiko. Saeroni lalu mengajukan pertanyaan polemis apakah laki-laki harus maskulin.
Dalam hal siapa yang memiliki perilaku berisiko, tentu jawabannya adalah laki-laki. Hasil survey dan data riset menguatkan hal tersebut bahwasannya laki-laki adalah kelompok sosial yang sering terlibat dalam kasus pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga, serta melakukan bunuh diri. Selain itu laki-laki rupanya juga banyak terlibat penyalahgunaan napza dan kriminalitas.
Setelah itu fasilitator pelatihan, Firda Ainun, meminta para peserta untuk berlatih melakukan konseling. Sebelum acara berakhir, para peserta diajak membahas rencana tindak lanjut pelatihan. Satu hal yang disepakati adalah, para peserta harus membentuk tim peer-counselor di tingkat Fakultas. Mereka akan mengadakan pertemuan rutin sebulan satu.