Penulis: Agus S Efendi

Semua jenis komunitas politik bergantung pada keluarga. Adapun fungsi utama keluarga adalah menjaga proses regenerasi komunitas manusia. Karena manusia diberi akal pikiran, proses regenerasi itu tidak hanya terbatas pada aspek biologis namun juga yang lebih penting aspek simbolik. Aspek simbolik ini yang memungkinkan manusia memiliki bahasa. Hal ini terkait dengan kemampuan untuk mengabstraksi kenyataan serta membuat narasi bersama yang dapat dipahami.[1] Keluarga sendiri berperan dalam mengenalkan narasi yang diterima umum kepada anggota baru masyarakat. Dengan kata lain keluarga adalah agen sosialisasi dari siklus hidup komunitas politik.

Di era modern, narasi politik yang paling dominan adalah negara bangsa (nation state). Bagi negeri bekas jajahan seperti Indonesia struktur politik ini cenderung dipandang optimis karena mampu membuat seluruh penduduk memiliki kesempatan yang sama dalam meraih kesejahteraan. Dengan begitu pola relasi antara negara dengan warga masyarakat adalah sebagai partner yang setara. Namun yang jelas peran dan fungsi keduanya harus dibedakan. Pembedaan ruang lingkup ini diatur dalam kesepakatan bersama yang disebut konstitusi.[2] Kemerdekaan bangsa Indonesia memang dilandasi oleh konstitusi dasar. Namun, dalam tatanan sosial negeri kita ini masih melanjutkan produk aturan hukum penjajah Belanda. Hal ini membuat upaya reformasi sistem hukum perlu dilakukan karena produk aturan hukum pemerintahan kolonial cenderung rasis dan tidak mengakui adanya kesetaraan hak.[3]

Tulisan ini ingin membedah konteks dan konsekuensi penetapan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Produk hukum ini menarik untuk kita dalami karena mengandung konsensus tentang makna kebebasan beragama yang disebutkan dalam pasal 29 UUD 1945. Polemik diskursus publik yang membingkai proses pengesahan undang-undang tersebut juga menunjukkan situasi politik awal pemerintahan rezim Orde Baru dan tegangan ideologis antara kelompok nasionalis dan Islam. Dengan demikian, tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengungkapkan meta-narasi status warga negara dalam hukum perkawinan di Indonesia. Penulis berargumen bahwa praktik hukum perkawinan yang lebih didasarkan pada identitas agama telah mereduksi status warga negara dan hal ini yang justru malah menguatkan budaya kewargaan sipil kita.

Konflik Aliran Ideologi dan Identitas Sosial

Di zaman Orde Lama, pembaruan struktur hukum belum sempat terlaksana lantaran situasi politik nasional disesaki konflik aliran ideologi. Salah satu buntut dari konflik itu adalah pembubaran dewan konstituante karena dianggap gagal dalam melaksanakan mandat merancang UUD. Presiden Soekarno juga membubarkan DPR hasil pemilu 1955 agar visinya tentang demokrasi terpimpin tidak mendapat banyak hambatan.[4] Keputusan ini tentu membuat Soekarno dipandang sebagai pemimpin yang otoriter.

Dengan dinamika dan perubahan struktur tata pemerintahan tersebut produk aturan hukum pun menjadi langka. Pembangunan nasional lebih terkonsentrasi pada upaya merancang struktur politik yang lebih mujarab. Singkatnya, pemerintahan rezim Soekarno memang berhasil menumbuhkan kesadaran politik bangsa namun gagal membangun budaya kewargaan sipil.

Tragedi 1965 dapat kita pandang sebagai puncak dari konflik politik yang menghendaki perubahan radikal. Pada saat itu ideologi yang paling vokal menghendaki perubahan radikal adalah komunisme. Ideologi ini terinspirasi oleh revolusi sosialis yang telah terjadi di beberapa negara di dunia. Oleh sebab itu, sebagai parti politik, PKI menerapkan strategi agresif untuk mencapai perubahan sosial yang radikal. Misalnya adalah tuntutan untuk segera menerapkan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria.[5] Hal ini tentu saja membuat partai lain tidak senang dan cenderung menganggap para anggota PKI sebagai musuh politik.

Ketika kabar tentang pembunuhan tujuh Jenderal terkait dengan upaya revolusi PKI menyebar luas tentu kelompok yang berideologi nasionalis dan Islam segera mengambil tindakan. Sebagian dari mereka mulai menyerang markas PKI, menangkapi orang yang diduga berafiliasi dengan PKI serta yang paling mengerikan membantai orang yang dituduh anggota PKI. Selama kekacauan ini berlangsung, diperkirakan kurang lebih setengah juta orang terbunuh dan puluhan ribu orang ditangkap oleh pihak keamanan tanpa proses pengadilan.[6]

Dampak sosiologis dari pemberangusan komunisme ini adalah meningkatnya kebutuhan akan identitas. Kebutuhan ini muncul karena dua hal; pertama, ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam melindungi hak warga negara dan situasi sosial yang memaksa setiap orang untuk memusuhi PKI. Oleh sebab itu, mereka yang sebelumnya tidak memiliki afiliasi politik cenderung untuk ikut dalam organisasi keagamaan.[7] Dengan bergabung dalam komunitas agama maka identitas mereka tidak akan diragukan oleh publik.

Kebutuhan akan identitas memicu apa yang disebut fenomena konversi agama. Dua agama di Indonesia yang dianggap mampu menjamin identitas adalah Islam dan Kristen. Tidak jelas berapa jumlah kasus konversi agama pada saat itu. Tapi, kalau kita melihat data sensus penduduk tahun 1971 ternyata proporsi penduduk yang beragama Kristen meningkat cukup tajam. Sedangkan proporsi penduduk yang beragama Islam juga meningkat tapi tidak terlalu signifikan.[8] Hal ini menunjukkan bahwa sebagian penduduk Indonesia yang tidak memiliki afiliasi politik atau organisasi lebih memilih untuk memeluk agama Kristen sebagai penanda identitas sosial.

Rivalitas Antar Komunitas Agama

Pada era 70an, fakta perubahan porsi komunitas agama menjadi sorotan publik Indonesia. Bagi umat Islam, peningkatan jumlah penduduk beragama Kristen terkait dengan upaya ‘kristenisasi’ yang dilakukan oleh pihak gereja. Sebaliknya pihak gereja berpandangan bahwa Kristen adalah agama missionaris sehingga mengajak orang untuk memeluk Kristiani adalah wajar. Apalagi konstitusi dasar juga menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara.[9]

Dari situ kita dapat berefleksi bahwa keputusan Indonesia untuk mengakui peran agama dalam kehidupan publik justru membuat hubungan antar komunitas agama tampak problematis. Persoalan ini terkait dengan bagaimana negara memperlakukan komunitas agama secara adil di satu sisi dan di sisi yang lain sejauh mana negara mengakui hak warga negara. Di negara-negara lain, dilema ini terpecahkan dengan pemberlakuan hukum sipil yang mengandaikan bahwa setiap individu mendapat perlindungan secara langsung dari negara. Sebaliknya, Indonesia yang mewarisi budaya kolonial cenderung masih memperlakukan warga masyarakat berdasarkan etnis dan agama. Hal ini terlihat jelas dari aturan perkawinan berdasarkan hukum adat yang masih berlaku hingga awal era Orde Baru.[10]

Memang benar bahwa alasan pemerintah kolonial menerapkan aturan tersebut adalah untuk menjaga stabilitas sosial. Namun kalau dicermati sebenarnya hal itu bukan lain adalah strategi membelah masyarakat agar setiap konflik yang muncul tidak langsung menyasar pemerintah kolonial. Singkatnya, politik pecah belah (divide and rule) dikukuhkan melalui mekanisme rivalitas antar kelompok suku, agama dan bangsa.[11] Dari situ kita dapat menerka bahwa hal yang paling dikhawatirkan oleh kolonialisme adalah persatuan politik dalam melawan penjajahan. Karena aturan itu telah mengakar kuat maka tidak mengherankan kalau ada kecenderungan di dalam masyarakat untuk mempertahankannya. Padahal memperlakukan warga masyarakat berdasarkan etnis dan agama justru akan memperlemah kohesi sosial dan pembangunan bangsa akan menemui berbagai hambatan.

Peluang untuk menguatkan budaya kewargaan sebenarnya muncul ketika rezim Orde Baru berkuasa. Namun peluang itu dilewatkan begitu saja karena presiden Soeharto tidak ingin pemerintahan yang ia bangun mendapat gangguan. Oleh sebab itu setiap keputusan politik yang diambil oleh rezim Orde Baru adalah upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan menjaga stabilitas politik.

Ketika rivalitas antar komunitas agama mengemuka dalam perdebatan publik, langkah pemerintah Soeharto dalam menjaga stabilitas politik adalah dengan mengakomodir pandangan kelompok Islam yang merasa terancam.[12] Sebagai konsekuensi, pihak gereja tidak diperbolehkan melakukan propaganda penginjilan kepada mereka yang telah memeluk agama lain. Namun fakta di lapangan menunjukkan hal yang lain bahwa masih banyak orang yang memutuskan untuk memeluk agama Kristen. Tidak dapat dipastikan apakah tindakan konversi tersebut murni inisiatif seorang individu atau dipengaruhi oleh propaganda terselubung pihak gereja. Kendati demikian, yang jelas ada tuntutan dari kelompok Islam untuk membatasi ruang kebebasan beragama hanya dalam komunitas agama.

Unifikasi Hukum Perkawinan

Pada tahun 1973, Ibu Tien Soeharto meminta pemerintah dan parlemen untuk segera mengeluarkan Undang-Undang Perkawinan. Permintaan ini langsung direspon oleh pemerintah dengan membuat Draft Rancangan Undang-Undang Pernikahan. Yang menarik, draft tersebut disusun tanpa berkonsultasi dengan partai politik.[13] Bagi pemerintah, Undang-Undang Perkawinan yang perlu diterapkan di Indonesia adalah yang memuat unifikasi hukum. Dengan kata lain perkawinan harus diperlakukan sebagai perkara sipil. Adapun perkawinan sipil sendiri tidak memandang atribut sosial-budaya seperti suku, ras dan agama.

Ketika dilakukan pembahasan di parlemen, kelompok Islam tentu mengajukan keberatan karena draft itu akan meminggirkan peran agama. Beberapa elit politik Islam bahkan berpendapat bahwa rancangan itu dibuat sebagai strategi untuk melemahkan Islam. Mereka tidak sepakat kalau urusan perkawinan murni urusan sipil. Mereka berargumen bahwa pernikahan adalah ibadah yang keabsahannya ditentukan oleh hukum keluarga Islam. Di samping itu, Indonesia adalah negara yang didirikan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu perkawinan dalam Islam tidak dapat diunifikasi dalam hukum sipil.[14]

Pembahasan tersebut lantas memicu diskursus publik yang panas antara kelompok nasionalis dan Islam. Para pendukung RUU Perkawinan berpandangan bahwa hukum sipil dan agama harus terpisah atau tidak diperlakukan dalam domain yang sama. Pandangan sekuler ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap orang memiliki hak dan kebebasan. Bagi mereka, yang dipengaruhi oleh pengalaman peradaban Barat, agama dapat menjadi institusi sosial yang opresif terhadap hak-hak individu. Dengan begitu hukum sipil perlu hadir untuk menjamin hak-hak individu. Atas dasar ini otoritas politik negara dipandang lebih kuat daripada otoritas agama.

Kendati demikian kita harus mengakui bahwa legitimasi hukum bergantung pada dukungan kekuatan politik yang ada di masyarakat. Upaya unifikasi hukum keluarga justru mendapat penolakan yang keras dari umat Islam.[15] Tampaknya, alasan penolakan ini selain bersifat reaksioner juga mengandung muatan substantif. Artinya komunitas Muslim lebih khawatir jika rancangan undang-undang itu akan merusak norma dan nilai-nilai keislaman. Apalagi penguatan isu ‘kristenisasi’ dalam diskursus publik cenderung membuat komunitas Muslim bersikap defensif.

Kecenderungan itu dapat kita lihat dalam perdebatan soal perkawinan campur atau beda agama. Salah satu interpretasi pada saat itu menyebutkan bahwa nikah berbeda agama adalah haram. Interpretasi ini lebih diterima karena ada anggapan bahwa komunitas Muslim harus dilindungi dari upaya ‘kristenisasi’ dan dimurnikan dari paham sekuler. Padahal, dalam tradisi hukum keluarga Islam hal itu termasuk persoalan khilafiah yang beberapa ulama masih memperbolehkan.[16]

Pada akhirnya, RUU Perkawinan diubah setelah pihak pemerintah mau menerima tuntutan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai representasi kepentingan Islam. Para elite partai Islam itu menuntut lima hal; 1) Hukum perkawinan Islam tidak direduksi atau diubah, 2) Peran institusi Islam di Kementerian Agama yang mengurus perkawinan tidak direduksi atau diubah, 3) Semua pasal yang bertentangan dengan hukum Islam dihapus, 4) Perceraian dan poligami harus diatur untuk mencegah penyelewengan. Yang paling menarik, 5) Pasal 2 harus berbunyi: “a) Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. b) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[17] Semua tuntutan ini diakomodir oleh pihak pemerintah dan kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dengan bunyi pasal 2 tersebut maka hukum keluarga Islam telah diakui dan terintegrasi dalam sistem hukum di Indonesia. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana hukum keluarga Islam melihat status warga negara? Jika konstituen hukum keluarga Islam adalah setiap Muslim, lantas sejauh mana hak dan kebebasan seorang Muslim untuk menikah dijamin? Pertanyaan ini akan membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa perkawinan lebih merupakan aturan normatif komunitas agama daripada sebuah pilihan atau keputusan individu. Hal ini terlihat dari penolakan KUA untuk mencatat (mengesahkan) pernikahan campur atau beda agama.

Dari situ kita dapat mengatakan bahwa cara negara mengatur perkawinan lebih didasarkan pada identitas agama. Cara yang demikian secara tidak langsung telah merenggut status hak dan kebebasan individu sebagai warga negara.

Pluralisme Hukum dan Budaya Sipil

Pemberlakuan Undang-Undang Perkawinan telah membawa perkembangan hukum di Indonesia sangat dinamis. Hal ini terlihat jelas dari aturan-aturan turunan yang mengatur pernikahan berdasarkan identitas agama. Untuk perkawinan Islam proses administrasi relatif tidak memicu persoalan karena telah ada KUA (Kantor Urusan Agama) yang dikelola oleh Kementerian Agama. Namun untuk agama lain mekanisme administrasi pernikahan diurus oleh KCS (Kantor Catatan Sipil) yang berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri.

Praktik yang demikian dikenal sebagai pluralisme hukum. Artinya, Indonesia memiliki lebih dari satu aturan hukum yang mengatur masyarakat. Sebagian dari kita mungkin memahami ini sebagai bentuk afirmasi negara terhadap keragaman budaya yang ada di Indonesia. Namun, dari sudut hukum keluarga Islam hal tersebut malah tampak sebagai upaya unifikasi. Dengan kata lain keragaman pendapat yang otoritatif dalam tradisi hukum Islam (fiqh) harus diformalkan menjadi aturan yang bersifat kaku. Maka tidak mengherankan apabila beberapa pasal dalam UU Perkawinan kerap dilanggar oleh kaum Muslim sendiri. Misalnya dalam kasus poligami, perkawinan anak, dan perkawinan campur. Bagi mereka, keabsahan perkawinan dalam pandangan hukum Islam lebih utama dari aturan legal yang berlaku. Tentu hal yang demikian akan menimbulkan kerumitan dalam administrasi.[18]

Inilah yang justru menjadikan iklim politik dalam komunitas Muslim di Indonesia berlangsung dinamis. Perbedaan interpretasi terhadap hukum keluarga Islam dapat diakui sebagai proses politik. Yang menarik, proses ini menyuguhkan perdebatan publik yang berharga sehingga komunitas Muslim mengenal demokrasi. Hal ini membuat gerakan-gerakan sosial dalam komunitas Muslim Indonesia tumbuh begitu subur. Keseluruhan proses ini mengantarkan Indonesia memiliki apa yang disebut Robert W. Hefner sebagai Civil Islam (kewargaan sipil Islam).[19]


[1] Benedict R.O’G. Anderson, Imagined Communities: Reflections on The Origin and Spread of Nationalism, Revised (New York: Verso, 2006).

[2]  David Boucher and Paul Kelly, The Social Contract from Hobbes to Rawls (Routledge, 2003).

[3] J.H. Boeke, Economics and Economic Policy of Dual Societies, as Exemplified by Indonesia (New York: International Secretariat, Institute of Pacific Relations, 1953).

[4] Daniel S Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959 (Equinox Publishing, 2009).

[5] Rex Mortimer, ‘Class, Social Cleavage and Indonesian Communism’, Indonesia, 8, 1969, 1–20.

[6] Grace Leksana, ‘Collaboration in Mass Violence: The Case of the Indonesian Anti-Leftist Mass Killings in 1965–66 in East Java’, Journal of Genocide Research, 23.1 (2021), 58–80.

[7] Singgih Nugroho, Menyintas Dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 Di Pedesaan Jawa (Syarikat, 2008).

[8] Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, and Aris Ananta, Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape (Institute of Southeast Asian Studies, 2003).

[9] Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order (Leiden University Press, 2006).

[10] Mark Cammack, ‘Legal Aspects of Muslim–Non-Muslim Marriage in Indonesia’, Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, 2009, 102–38.

[11] Daniel S Lev, ‘Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State’, in Legal Evolution and Political Authority in Indonesia (Brill Nijhoff, 2000), pp. 13–31.

[12] Daniel S Lev, Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions (Univ of California Press, 1972).

[13] Mujiburrahman.

[14] Nani Soewondo, ‘The Indonesian Marriage Law and Its Implementating Regulation’, Archipel, 13.1 (1977), 283–94.

[15] Arskal Salim, Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia (University of Hawaii Press, 2008).

[16] Suhadi Cholil, ‘THE POLITICO-RELIGIOUS CONTESTATION Hardening of the Islamic Law’, Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, 2009, 139.

[17] Mujiburrahman.

[18] Ratno Lukito, ‘The Enigma of Legal Pluralism in Indonesian Islam: The Case of Interfaith Marriage’, Journal of Islamic Law and Culture, 10.2 (2008), 179–91.

[19] Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (New Jersey: Princeton University Press, 2000).