Oleh: Firda Ainun
Editor: Agus S Efendi

Seiring dengan perkembangan kehidupan urban, pekerja rumah tangga (PRT) semakin berperan penting dalam melakukan kerja-kerja domestik, misalnya membersihkan rumah, memasak, mencuci dan mengasuh anak. Karena tiap tahun kebutuhan akan pekerja rumah tangga meningkat tidak mengherankan apabila kemudian PRT menjadi salah satu penyumbang lapangan tenaga kerja di Indonesia. Data ILO menyebutkan bahwa jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia ada sekitar 4 juta orang.[1] Kendati demikian, PRT seringkali mendapat beban kerja yang berat dan rentan mendapatkan kekerasan. Penyebabnya adalah selain tidak adanya standar kerja yang layak, pekerja rumah tangga juga belum memiliki aturan regulasi yang jelas.

Sejak tahun 2011 tanggal 16 juni telah ditetapkan oleh ILO sebagai hari pekerja rumah tangga dunia. Dalam rangka memperingati hari pekerja rumah tangga, artikel ini ingin membahas tentang kondisi pekerja rumah tangga yang rentan terhadap kekerasan. Pertama kita akan mendiskusikan apa tantangan yang dihadapi oleh pekerja rumah tangga saat ini. Kemudian kita akan membahas sejauh mana upaya advokasi pekerja rumah tangga di Indonesia. Artikel ini ingin menekankan bahwa kerja-kerja layak harusnya menjadi komitmen bersama dan negara harus memastikan itu dalam bentuk regulasi. Jika hal ini dilakukan maka PRT akan berkontribusi pada berjalannya fungsi ketahanan keluarga, atau bahkan berdampak pada kesejahteraan suatu negara.

Kondisi dan Tantangan PRT

Saat ini, keberadaan PRT sangat dapat mudah ditemukan pada hampir setiap rumah tangga, khususnya kelas menengah di perkotaan atau ‘rumah tangga muda.’ Pada umumnya mereka yang bekerja sebagai PRT berasal dari kampung atau daerah pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Hal ini terlihat jelas dari hasil riset Rumpun Gema Perempuan (RGP) tahun 2005 yang menyebutkan bahwa banyak di antara PRT yang hanya lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Dasar (SD) saja. Data Sakernas BPS juga menunjukkan hal yang sama bahwa 63,53% PRT di Indonesia berpendidikan di bawah SMP dan hanya 15 % yang sampai pendidikan SMA.[2] Dengan kata lain PRT adalah mereka yang gagal atau terhalang dalami mengakses pendidikan.

Tentu kegagalan dalam mengakses pendidikan akan membuat seseorang kurang terampil. Sebagai konsekuensi satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup adalah dengan bekerja di sektor informal dan domestik. Bagi mereka, bekerja sebagai pekerja rumah tangga di perkotaan adalah pilihan yang cukup rasional. Alasannya adalah selain gaji yang relatif lebih tinggi daripada di desa mereka juga tidak perlu khawatir tentang keperluan dasar selama mereka bekerja di rumah majikan.

Kondisi yang demikian membuat mereka yang bekerja di rumah majikan lebih disebut pembantu. Kalau kita telusuri istilah ‘pembantu’ sebenarnya mencerminkan suatu relasi yang timpang. Relasi kuasa yang terjalin antara majikan dan pembantu inilah yang memicu pihak yang satu lebih rentan untuk dieksploitasi. Maka daripada itu mengganti istilah ‘pembantu’ menjadi pekerja adalah upaya untuk membongkar relasi tersebut. Sementara itu, dalam pandangan umum masyarakat pembantu adalah jenis pekerjaan rendahan. Pandangan ini paling tidak telah menjadikan ‘pembantu’ mengalami apa yang disebut sebagai marginalisasi dalam kehidupan sosial.

Posisi yang tidak menguntungkan tersebut lantas membuat mereka lebih rentan mengalami kekerasan. Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dari tahun 2017-2022, lebih dari 2.600 kasus kekerasan yang dialami oleh Pekerja Rumah Tangga (PRT).[3] Tentu dalam kenyataan kasus PRT yang mengalami kekerasan ada lebih banyak lagi. Apalagi hampir 90 persen PRT adalah perempuan.

Tantangan yang dihadapi oleh PRT sebenarnya sudah tercatat dengan baik dalam naskah akademik RUU PRT. Di sana dijelaskan bahwa pekerja rumah tangga rentan mengalami; a) jam kerja panjang (tidak dibatasi waktu, b) tidak ada waktu istirahat, c) tidak ada hari libur, d) tidak ada jaminan sosial, e) menerima perlakukan buruk seperti intimidasi dan isolasi.[4] Artinya dalam menjalankan pekerjaannya PRT masuk dalam situasi pekerjaan yang tidak memiliki norma-norma hukum selayaknya pekerja formal, pengawasan dari instansi yang berwenang maupun belum adanya perjanjian kerja.

Situasi yang jauh dari standar kerja layak ini kemudian menghadirkan banyak persoalan yang dihadapi oleh PRT. Absennya pengakuan sebagai pekerja dan tidak adanya mekanisme perlindungan membuat PRT sering mengalami beberapa hal seperti upah rendah, upah telat dibayar atau bahkan tidak dibayarkan, fasilitas dan aksesibilitas yang tidak menunjang keamanan bagi PRT, kesehatan dan keselamatan bekerja yang belum memadai, dan ancaman terhadap kekerasan fisik, psikis maupun pelanggaran HAM lainnya.

Advokasi Perlindungan Hukum untuk PRT

Kalau kita tengok ke belakang, gerakan advokasi perlindungan pekerja rumah sebenarnya sudah hadir sejak awal tahun 2000an. Pada tahun 2004, gerakan ini kemudian menyatukan diri dalam Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT). Salah satu upaya advokasi yang dilakukan oleh gerakan ini adalah pengusulan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Namun sejak saat itu RUU PPRT belum pernah menjadi tema pembahasan DPR, meskipun berkali-kali masuk dalam program legislasi nasional. Entah apa alasan dibalik mandegnya proses legislasi tersebut tapi yang jelas para pekerja rumah tangga sangat membutuhkan perlindungan atas hak-hak mereka.

Pada tahun 2011, ILO menyelenggarakan konferensi buruh internasional yang ke-100. Pertemuan tersebut juga menjadi ajang untuk mempromosikan konvensi tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.[5] Melalui konvensi ILO 189 pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sebenarnya dapat langsung meratifikasi sebagai langkah memperbaiki standar pekerja rumah tangga. Dalam forum itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan dukungan terhadap konvensi ILO 189.[6] Namun pemerintah Indonesia saat itu tampak masih belum cukup yakin tentang urgensi peraturan tentang pekerja rumah tangga. Alasannya adalah kajian dan riset tentang praktik pekerja rumah tangga di Indonesia belum cukup memberikan bukti yang cukup kuat.

 Di masa pemerintahan Joko Widodo yang kedua, RUU PPRT kembali masuk dalam program legislasi nasional. Ketika RUU PPRT ini menjadi prioritas pembahasan DPR pada tahun 2020, para aktivis gerakan advokasi pekerja rumah tangga seperti mendapatkan harapan baru.[7] Namun yang jelas mereka masih perlu mengawal proses legislasi di DPR. Situasi pandemi covid-19 yang semakin memburuk pada akhirnya memupuskan harapan itu dan membuat pembahasan RUU PPRT tertunda.

Pada tahun 2023 ini, RUU PPRT diusulkan oleh DPR untuk masuk lagi dalam daftar program legislasi nasional prioritas. Untuk sekarang status RUU ini masih dalam tahap penyusunan (satu langkah sebelum pembahasan).[8] Kabar terakhir mengatakan bahwa beberapa fraksi di DPR telah sepakat dengan draf RUU PPRT dan berkomitmen untuk segera mengesahkan dalam sidang paripurna. Tentu agar dapat menjadi produk undang-undang pemerintah perlu didorong untuk segera melakukan pembahasan.

Hari ini, 16 Juni 2023 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk terus mengawal RUU PPRT yang telah kita perjuangkan selama 19 tahun terakhir. Mari bersama-sama bersolidaritas untuk terus mendesak RUU PPRT menjadi payung hukum bagi pemenuhan hak-hak PRT, mengingat PRT memiliki peran strategis dalam keseimbangan berjalannya rumah tangga. Kita semua berharap di tahun ini UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga disahkan agar nasib para pekerja rumah tangga dapat diperbaiki dengan kepastian kerja layak.


[1] International Labour Organization, Pekerja Rumah Tangga Indonesia, (2015).

[2] Ari Yuliastuti, Profil Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia dan Strategi Perlindungannya, Jurnal Ketenagakerjaan (Vol. 12/No 2) 2017.

[3] Lihat Keterangan Pers KomNas HAM RI, Komnas HAM Mendukung Percepatan Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia. (2023)

[4] Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga, (2002)

[5] ILO, C189Domestic Workers Convention, 2011 (No. 189). Dokumen ini dapat dilihat dalam laman berikut https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C189

[6] Statement by H.E. Dr Susilo Bambang Yudhoyono, President of the Republic of Indonesia, at the 100th International Labour Conference (Juni, 2011). Dokumen dapat diakses melalui laman berikut https://www.ilo.org/ilc/ILCSessions/previous-sessions/100thSession/media-centre/speeches/WCMS_157638/lang–en/index.htm

[7] Nurhadi Sucahyo, Harapan Baru RUU PPRT Setelah 16 Tahun Mangkrak, 2020. Lihat dalam laman https://www.voaindonesia.com/a/harapan-baru-ruu-prt-setelah-16-tahun-mangkrak/5491336.html

[8] Status ini dapat dilihat di laman berikut https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/318