Penulis: Agus S Efendi
Bonus demografi adalah salah satu matra kehidupan publik hari ini. Meski tidak tampak dominan istilah bonus demografi sering dipakai sebagai alasan dalam mengarahkan atau bahkan mempercepat pembangunan nasional. Pembangunan nasional sendiri jelas berbeda dengan pembangunan bangsa karena lebih menekankan pada aspek kesejahteraan warga daripada kohesi dan solidaritas sosial.
Karena itu, ketika usia produktif lebih tinggi daripada usia non-produktif maka kesempatan dalam meningkatkan taraf kesejahteraan menjadi lebih besar. Logika ini lantas diartikulasi oleh para pengambil kebijakan untuk fokus dalam mempersiapkan generasi masa depan Indonesia.[1] Hal ini menjadikan sektor pendidikan dan bisnis menjadi prioritas sasaran kebijakan.
Optimisme pada gagasan bahwa taraf kesejahteraan dapat ditingkatkan secara makro melalui sektor pendidikan dan bisnis tentu dapat berubah menjadi sebuah mitos kalau tidak didasarkan pada konteks sosial-historis dan realitas perekonomian Indonesia. Indikator yang sering dijadikan acuan dalam menunjukkan tingkat kesejahteraan adalah penghasilan rata-rata perkapita penduduk yang mana angkanya telah mencapai Rp 71 juta pada tahun 2022.[2] Namun indikator ini tidak jarang mengaburkan gambaran rill kehidupan ekonomi masyarakat sehingga strategi kebijakan ekonomi yang diambil justru malah menimbulkan kesenjangan.
Artikel ini mendiskusikan tentang bagaimana potensi kesejahteraan yang muncul dari bonus demografi telah membentuk kebijakan pemerintah Indonesia dalam melahirkan generasi produktif dan inovatif. Kita mulai diskusi tentang struktur perekonomian Indonesia yang berubah karena revolusi teknologi informasi dan komunikasi.
Dampak dari perubahan itu rupanya telah membuat berbagai skill dan ketrampilan tampak kurang relevan dalam pasar tenaga kerja. Pada akhirnya institusi pendidikan didorong untuk mentransformasi diri dan beradaptasi dengan kebutuhan bisnis. Tetapi karena situasi dan kondisi yang ada tidak mengizinkan lahirnya inovasi dan meningkatnya produktivitas maka kemungkinan yang akan muncul adalah generasi masa depan Indonesia, meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Clifford Geertz, yang involutif.
Revolusi ICT dan Bonus Demografi
Bonus demografi yang tengah dialami Indonesia sampai satu dekade mendatang memiliki sebuah persoalan besar. persoalan ini muncul akibat revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang telah membentuk pola-pola bisnis baru dan sedang mendisrupsi perekonomian global.[3]
Di era ini perusahaan seperti Microsoft, Google, Apple dan Tencent menguasai pasar global karena mampu menyediakan teknologi digital yang membuat proses komunikasi lebih cepat dan informasi mudah diakses. Ini adalah kekuatan baru yang mentransformasi struktur perekonomian global dan mendorong kita semua untuk beradaptasi.
Revolusi ICT (Information and Communication Technology) atau lebih populer disebut sebagai revolusi industri 4.0 adalah bentuk lebih lanjut dari perubahan sosial-ekonomi yang dipacu oleh perkembangan teknologi. Carlota Perez mencatat bahwa sejak era industrial, negara-negara yang mampu memanfaatkan paradigma tekno-ekonomi akan menjadi negara-negara yang ekonominya lebih maju dan efisien.[4] Dari sudut pandang yang lain, tenaga kerja di negeri itu produktif dan inovatif.
Kita bisa ambil contoh Jepang dan Amerika yang terkenal dengan industri otomotifnya. Ford Motor Company selain menjadi produsen mobil terbesar di dunia pada awal pada awal abad 20 juga merupakan industri yang menopang kekuatan militer Amerika pada Perang Dunia II. Jepang sendiri juga demikian, pengembangan teknologi permesinan pada mulanya malah ditujukan untuk kekuatan militer. Namun karena Jepang kalah, industri berbasis teknologi kemudian diarahkan untuk bisnis komersial. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila di paruh kedua abad 20 Jepang telah memiliki perusahaan-perusahaan otomotif besar seperti Toyota dan Mitsubishi. Paradigma tekno-ekonomi yang dijalankan oleh Amerika dan Jepang ini telah membuat dua negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat.[5]
Di era 1980an, Indonesia sebenarnya telah mengembangkan paradigma techno-ekonomi dalam bidang penerbangan. Namun karena infrastruktur teknologi yang terbatas dan situasi politik-ekonomi tidak menghendaki maka paradigma itu hilang begitu saja.[6] Hal ini menjadikan perekonomian Indonesia kembali bertumpu pada tiga sektor industri yaitu perkebunan, pertambangan dan manufaktur. Padahal nilai tambah dari tiga sektor ini sangat kecil jika dibandingkan dengan industri berbasis teknologi maju. Ketika perusahaan-perusahaan di sektor tersebut hanya sanggup mengakumulasi profit namun tidak mampu berinvestasi pada teknologi yang lebih maju pada akhirnya struktur perekonomian Indonesia dipenuhi oleh industri ekstraktif.
Kuatnya industri ekstraktif terlihat jelas dari peran sektor pertambangan dan perkebunan dalam menghasilkan devisa negara. Komoditas unggulan Indonesia dalam pasar global secara berturut-turut adalah batu bara, minyak kelapa sawit dan besi/baja. Tentu kita mengakui bahwa Indonesia juga memiliki komoditas global lain seperti sepatu dan produk-produk kerajinan. Namun yang jelas, produk-produk itu mayoritas dihasilkan oleh perusahaan yang tidak kuat secara modal sehingga relatif tertinggal dalam persaingan global. Hal ini berimplikasi pada indeks daya saing global Indonesia yang hanya berada di peringkat 44 global pada tahun 2022.[7]
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana strategi pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi ketika struktur perekonomian nasional di satu sisi masih didominasi industri ekstraktif dan di sisi yang lain teknologi digital belum dikuasai cukup dalam. Mungkin sebagian orang akan menjawab investasi. Jika kita sepakat dengan jawaban ini maka pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang berinvestasi dan pada bidang apa.
Sebelum membahas hal itu, kita perlu menegaskan bahwa apa yang diperlukan negara dalam menghadapi era disrupsi adalah inovasi dan adaptasi. Bahkan Mariana Mazucatto menyarankan agar negara beroperasi selayaknya entrepreneur.[8] Tentu dalam tata pemerintahan yang sangat birokratis dan sentralistik, kedua hal itu akan sulit untuk dijalankan karena budaya meregulasi lebih dominan daripada melayani. Inilah yang menyebabkan para pengusaha sering mengeluh dalam memulai bisnis. Sementara itu indeks inovasi Indonesia pun masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand.[9] Konsekuensinya, para investor global lebih tertarik pada tiga negara tersebut daripada Indonesia.
Beberapa hambatan birokratis tersebut sebenarnya mau diurai lewat UU Cipta Kerja. Bagi pemerintah Indonesia, perekonomian dalam negeri akan berkembang pesat jika tersedia modal yang diinvestasikan. Disamping itu Indonesia juga memiliki persoalan koneksi antar wilayah yang masih lemah. Pemerintah pun memutuskan untuk lebih fokus berinvestasi pada infrastruktur daripada teknologi. Tentu dampak langsung dari pilihan ini adalah pesatnya perkembangan industri transportasi dan perdagangan. Dengan mobilitas yang semakin mudah maka geliat perekonomian daerah diharapkan akan semakin terasa.
Kalau kita menganalisa perkembangan sektor perekonomian di Indonesia, paling tidak ada tiga gejala yang tampak mencolok. Pertama, menguatnya sektor pertanian/perkebunan yang tidak diikuti oleh perbaikan tingkat upah. Kedua, diindustrialisasi sektor manufaktur karena rendahnya pendanaan riset dan pengembangan produk. Ketiga, berkembangnya sektor jasa yang dipicu oleh penetrasi teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam situasi yang demikian bonus demografi sebagai agenda dalam meningkatkan produktivitas nasional harus ditopang pula oleh pasar tenaga kerja yang efisien. Artinya antara kebutuhan tenaga kerja di suatu sektor industri dengan pasokan pekerja terampil bagaimana agar dapat terintegrasi.
Kegagalan Sistem Pasar Tenaga Kerja
Pada tahun 2022, BPS memperkirakan bahwa jumlah tenaga kerja Indonesia sebesar 137 juta jiwa. Dari jumlah ini hampir 50 persen berpendidikan terakhir SD. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja aktif Indonesia dapat dikatakan berketrampilan rendah.[10] Kluster tenaga kerja ini adalah pekerja dewasa yang dulunya terhambat dalam mengakses pendidikan.
Dengan ketrampilan yang minim tidak mengherankan apabila mereka tersingkir dalam bursa tenaga kerja di sektor-sektor industri modern. Namun pada saat yang bersamaan sektor informal dan pertanian tradisional adalah kanal yang menampung tenaga mereka. Tentu sebagian dari mereka ada yang mengupgrade skill dan ketrampilan dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan di Balai Latihan kerja (BLK). Dengan itu mereka biasanya terserap dalam industri skala mikro dan menengah.
Jika dilihat lebih dekat rupanya hanya 40 persen penduduk usia 15-24 tahun yang aktif bekerja.[11] Sisanya para pemuda/i ini kalau tidak bersekolah dapat dipastikan menganggur. Pada tahun 2020 sendiri pemuda/i Indonesia berjumlah 44 juta jiwa.[12] Dengan kata lain diperkirakan ada sekitar 17 juta generasi milenial yang telah bekerja. Kemungkinan besar jumlah itu didominasi oleh lulusan sekolah vokasi (SMK) yang memang siap bersaing dalam pasar tenaga kerja. Sayangnya para teknisi dan pekerja terampil ini belum mendapatkan dukungan pengembangan skill dan karier yang memadai sehingga daya produktifitas mereka cenderung stagnan.
Sejauh ini pemerintah Indonesia tampak kesulitan membangun sistem pengelolaan pasar tenaga kerja yang handal. Sistem yang dikembangkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan yaitu AyoKitaKerja sebagai solusi linking-matching dalam pasar tenaga kerja pada kenyataannya tidak optimal karena design fitur dan kapasitas yang terbatas.[13] Padahal tiap hari ada ribuan lowongan pekerja yang perlu segera diisi dan pada saat yang bersamaan ada puluhan ribu pencari kerja. Perusahaan-perusahaan yang butuh calon tenaga kerja dengan cepat lantas menyuburkan bisnis layanan iklan lowongan pekerjaan yang berbasis teknologi digital.
Kelemahan utama dari mekanisme itu terletak pada sisi suplai yang mana institusi pendidikan dan lembaga pelatihan kesulitan mendistribusikan calon pekerja yang telah mereka didik untuk masuk dalam dunia bisnis. Dampak tidak langsung dari masalah ini terlihat jelas dari tingginya lulusan perguruan tinggi yang bekerja di luar spesialisasi yang mereka miliki.[14]
Kegagalan sistem pasar tenaga kerja di Indonesia juga diperparah oleh pergeseran kebutuhan skill dan ketrampilan dalam dunia bisnis yang terdisrupsi oleh revolusi digital. Di negara-negara maju, revolusi teknologi mampu diantisipasi oleh dunia bisnis dengan menyediakan sarana upgrading skill dan pelatihan ketrampilan yang dibutuhkan. Beberapa jenis skill yang sekarang dinilai penting dalam mengorganisasi bisnis seperti berpikir kritis-analitis dan kreatif juga menjadi konsen para pemangku kepentingan dalam institusi pendidikan.[15]
Untuk Indonesia sendiri skill-skill yang tergolong high-order thinking tersebut masih sangat langka karena institusi pendidikan lebih menekankan cara mengajar didaktik bukan dialektik. Lebih fokus pada penguasaan materi ajar daripada model pemecahan masalah. Dengan kata lain pembelajaran tidak didorong untuk memicu pertanyaan atas suatu masalah tetapi sekadar transfer informasi.[16]
Sementara dalam lembaga-lembaga pelatihan, standar kualifikasi ketrampilan yang diacu masih cukup rendah dan itu pun banyak yang sudah tidak relevan dengan kebutuhan bisnis. Implikasi dari konfigurasi pasar tenaga kerja yang seperti ini kemudian membuat generasi masa depan Indonesia kehilangan peluang untuk menjadi lebih produktif dan inovatif.
Investasi SDM: Mentransformasi Institusi Pendidikan
Di bagian ini kita akan membahas transformasi institusi pendidikan tinggi dan vokasi dalam merespon mega-tren global. Mengapa pendidikan? karena ia adalah lembaga yang berperan besar dalam membentuk wajah generasi masa depan Indonesia.
Investasi sumber daya manusia (SDM) merupakan mekanisme pendisiplinan warga agar dapat mengorganisasi diri secara lebih efektif dan efisien. Dari sudut pandang ekonomi, efek dari mekanisme tersebut adalah tingkat kesejahteraan yang meningkat karena sebagian besar penduduk produktif, atau mampu menciptakan nilai lebih pada suatu barang atau jasa. Dan produktifitas sendiri tidak bisa dilepaskan dari penguasaan atas teknologi.
Selama ini institusi pendidikan di Indonesia terlalu fokus pada pengembangan kurikulum sehingga kurang mempertimbangkan konteks dan perkembangan perekonomian baik nasional ataupun global. Hal ini menyebabkan sektor informal membesar. Alasannya adalah pasokan tenaga kerja tidak mampu diserap oleh industri yang berkembang di Indonesia.
Dalam upaya mengatasi masalah ini, beberapa tahun belakangan pemerintah Indonesia melakukan transformasi institusional dengan cara mendekatkan proses pendidikan dengan dunia bisnis. Slogan “Merdeka Belajar, Kampus Merdeka” mengandung makna bahwa proses pendidikan haruslah membebaskan untuk memilih dan mampu menumbuhkan daya eksplorasi siswa.[17] Harapannya tentu selain untuk meningkatkan pemahaman juga untuk membentuk pengalaman.
Namun, praktik transformasi pendidikan itu tampak menimbulkan persoalan baru tentang lemahnya ketrampilan dalam penguasaan teknologi. Dengan kata lain transformasi ini cenderung hanya meminimalisir gap antara calon pekerja terampil dengan ketersediaan lapangan kerja. Padahal di era digital ini yang justru sangat dibutuhkan adalah para pekerja yang siap mengembangkan ekonomi pengetahuan (knowledge ekonomi).[18] Akibatnya kapasitas yang dimiliki oleh generasi muda masih terbatas pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk model-model bisnis baru. Mereka belum mampu menguasai elemen-elemen dasar dari teknologi digital tersebut secara berkelanjutan.
Konsekuensi logis dari pola transformasi yang demikian adalah generasi masa depan Indonesia lebih diarahkan untuk produktif daripada inovatif.
Spirit Entrepreneurship
Sampai sini kita dapat mengatakan bahwa untuk menumbuhkan generasi masa depan Indonesia yang inovatif hal yang perlu didorong adalah menguatkan spirit entrepreneurship. Peluang terbuka yang dibentangkan oleh revolusi ICT membuat sebagian orang termotivasi untuk menjadi digital entrepreneur.[19] Mereka ini berlomba dalam mengembangkan model-model bisnis baru dalam apa yang sekarang populer disebut sebagai startup (perusahaan rintisan). Tentu sebagai perusahaan digital yang fokus membuat layanan dan produk yang baru diperlukan etos berkolaborasi tetapi juga skill memecahkan masalah dan analisa data. Ini adalah sederet ketrampilan yang harus dimiliki seorang digital entrepreneur.
Indonesia sendiri memiliki beberapa perusahaan start-up besar seperti Gojek, Tokopedia, J&T Express dan sebagainya. Start-up tersebut rupanya telah berkontribusi dalam memperbesar sektor perdagangan dan transportasi di Indonesia. Yang dibidik oleh para pelaku digital socio/entrepreneurship itu adalah para pelaku ekonomi informal yang selama ini kesulitan dalam mengakses pasar. Karakter ini jelas membuat banyak UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) berkembang sangat pesat.
Namun karena sebagian besar dari mereka lebih berperan sebagai pedagang maka yang terjadi adalah Indonesia mengalami defisit produsen dalam negeri. Hal ini tampak jelas dari membludaknya komoditas buatan luar negeri dalam market-place Indonesia.[20] Artinya spirit entrepreneurship para pekerja di Indonesia di sektor hulu dapat dikatakan masih tertinggal dari negara-negara lain.
Lantas dengan penjelasan di atas bukankah bonus demografi adalah mitos belaka. Sebuah kepercayaan yang tidak berbasis pada bukti dan nalar rasional. Tentu karena yang kita bahas di sini adalah sebuah visi atau horizon tentang masa depan maka generasi masa depan Indonesia yang produktif merupakan harapan yang harus diperjuangkan.
[1] Visi ini dalam Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 disebut Indonesia Emas 2024. Lihat dalam https://indonesia2045.go.id/
[2] Penghasilan perkapita adalah hasil dari nominal PDB (Produk Domestik Bruto) dibagi jumlah penduduk. Pada tahun 2022 BPS memperkirakan bahwa angka PDB Indonesia telah mencapai Rp 19.588 triliun dan jumlah penduduk Indonesia pada tahun yang sama sebesar 276 juta jiwa. Lihat dalam BPS, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2022 (Berita Resmi Statistik No. 15/02/th. XXII, 6 Februari 2023) melalui laman berikut https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/02/06/1997/ekonomi-indonesia-tahun-2022-tumbuh-5-31-persen.html
[3] Dale W Jorgenson and Khuong M Vu, ‘The ICT Revolution, World Economic Growth, and Policy Issues’, Telecommunications Policy, 40.5 (2016), 383–97.
[4] Carlota Perez, Technological Revolutions and Financial Capital (Edward Elgar Publishing, 2003).
[5] Aaron Forsberg, America and the Japanese Miracle: The Cold War Context of Japan’s Postwar Economic Revival, 1950-1960 (Univ of North Carolina Press, 2000).
[6] David McKendrick, ‘Obstacles to “Catch-up”: The Case of the Indonesian Aircraft Industry’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 28.1 (1992), 39–66.
[7] Lihat laman berikut https://worldcompetitiveness.imd.org/countryprofile/overview/ID
[8] Mariana Mazzucato, Entrepreneurial State: Debunking Public Vs. Private Sector Myths (Anthem Press, 2015).
[9] World Intellectual Property Organization (WIPO) (2022). Global Innovation Index 2022: What is the future of innovation-driven growth? Geneva: WIPO. DOI 10.34667/tind.46596
[10] Proposisi ini diajukan dengan pengandaian bahwa semakin lama seseorang menempuh pendidikan maka ketrampilan dasar dalam bekerja akan semakin kuat dan memiliki pemahaman yang baik tentang jenis pekerjaan yang dijalani.
[11] Indonesia Labour Market Profile 2020, (Danish Trade Union Development Agency & Mondiaal FNV).
[12] Lihat laman BPS berikut https://www.bps.go.id/indicator/6/715/2/jumlah-penduduk-usia-15-tahun-ke-atas-menurut-golongan-umur.html
[13] Mauro Testaverde, Josefina Posadas, and Ins Cho, ‘Toward a World-Class Labor Market Information System for Indonesia: An Assessment of the System Managed by the Indonesian Ministry of Manpower’, 2021.
[14] Lihat dalam laman https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-5793585/nadiem-ungkap-80-lulusan-tak-bekerja-sesuai-prodi-bagaimana-sisanya
[15] WEF, Future of Jobs Report 2023: Insight Report (May 2023). Dapat diakses melalui https://www.weforum.org/reports/the-future-ofjobs-report-2023/
[16] Bandingkan https://theconversation.com/terjebak-dalam-kebiasaan-lama-mengapa-guru-indonesia-masih-kesulitan-mengajarkan-kemampuan-berpikir-kritis-202082
[17] Merdeka Belajar Kampus Merdeka, ‘Buku Panduan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka’, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, 2020.
[18] Walter W Powell and Kaisa Snellman, ‘The Knowledge Economy’, Annu. Rev. Sociol., 30 (2004), 199–220.
[19] Peter M Bican and Alexander Brem, ‘Digital Business Model, Digital Transformation, Digital Entrepreneurship: Is There a Sustainable “Digital”?’, Sustainability, 12.13 (2020), 5239.
[20] Lihat misalnya https://www.cnbcindonesia.com/news/20210115141134-4-216306/10-barang-ini-paling-banyak-diimpor-ke-indonesia-apa-saja