Penulis: Agus S Efendi

Pada awal tahun 2022 lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan harga minyak goreng yang melambung tinggi. Kelangkaan minyak goreng pun terjadi dimana-mana. Beberapa kajian mengatakan bahwa ini terkait dengan kebijakan pasokan minyak kelapa sawit dalam negeri yang tidak jelas.[1] Sebagai negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia hal ini tentu mengundang pertanyaan selama ini apa peran pemerintah dan bagaimana perusahaan kelapa sawit menjalankan bisnis?

Ironi kelangkaan minyak goreng itu sebenarnya dipicu oleh keinginan pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan minyak kelapa sawit sebagai campuran bahan bakar (B30). Program yang dijalankan oleh Pertamina ini membeli pasokan minyak kelapa sawit dengan harga pasar internasional.[2] Tentu bagi perusahaan produsen minyak sawit hal ini akan lebih menguntungkan daripada menjual ke perusahaan minyak goreng dengan harga domestik. Pada akhirnya, harga minyak goreng di masyarakat pun melambung tinggi lantaran perusahaan minyak goreng tidak menerima pasokan bahan baku dengan normal sedangkan permintaan pasar tetap. Padahal pada tahun itu produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 48 juta ton.[3]

Sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan, separuh dari jumlah produksi minyak kelapa sawit di jual ke pasar internasional. Ini diperkirakan menyumbang penghasilan negara sebesar $ 38 milyar (590 triliun).[4] Angka yang fantastis ini tentu membawa efek pengganda yang berupa kesejahteraan untuk para petani sawit. Namun di luar itu masih ada sederet persoalan yang muncul di perkebunan sawit seperti kemiskinan, ketimpangan, akses kesehatan, tingkat pendidikan dan konflik sosial.

Artikel pendek ini ingin menyoroti dinamika industri kelapa sawit di era neo-liberal. Dalam situasi ini, konfigurasi tiga faktor produksi yaitu tanah, modal dan pekerja lantas membentuk wajah daerah pedesaan di pulau Sumatra dan Kalimantan. Penulis berargumen bahwa praktik ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dimulai sejak awal era 2000an hanya fokus untuk menghasilkan profit dari pengolahan lahan. Meski dalam kebijakan disebutkan dengan jelas bahwa perkebunan sawit harus mampu mengentaskan kemiskinan warga atau membuka lapangan kerja yang layak, cukup sedikit perusahaan yang memiliki komitmen serius dalam menunaikan hal tersebut. Maka daripada itu wajar apabila nasib para pekerja di perkebunan kelapa sawit sangat jauh dari kata layak. Sebagian dari mereka, khususnya kaum perempuan, harus bekerja ekstra demi mencari penghasilan tambahan agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ledakan Perkebunan Kelapa Sawit

Kelapa sawit adalah sumber minyak nabati yang berasal dari Afrika Barat. Pada mulanya tanaman ini lebih diperlakukan sebagai tanaman hias. Namun orang-orang Eropa mulai membudidayakan tanaman ini di wilayah jajahan untuk mengambil potensi minyak nabati yang dikandungnya.[5] Malaysia adalah negara pertama yang membudidayakan kelapa sawit secara besar-besaran sejak tahun 1960an.

Indonesia sendiri baru serius mengembangkan perkebunan kelapa sawit pada era 1980an melalui skema Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Skema yang terintegrasi dengan kebijakan transmigrasi itu mengatur proporsi lahan konsesi yang dapat dikelola perusahaan adalah 30 persen. Sedangkan sisanya harus dikembangkan untuk para transmigran.[6] Program ini dapat dikatakan cukup berhasil karena banyak transmigran yang mau menjadi petani sawit dan mereka mampu mengelola perkebunan secara produktif. Kendati demikian perlu diakui juga bahwa tidak sedikit transmigran yang gagal menjadi petani sawit karena penghasilan yang diperoleh dari berkebun sangat tidak mencukupi, khususnya pada masa-masa awal tanam. Beberapa kemudian memutuskan untuk menjual kebun sawitnya kepada transmigran lain yang tertarik.

Pada tahun 2001, luas perkebunan kepala sawit di Indonesia telah mencapai 4,7 juta hektar (sepertiga luas Pulau Jawa). Dari jumlah ini 55 persen dimiliki perusahaan swasta, 32 persen dikelola petani dan sisanya dimiliki perusahaan plat merah.[7] Dengan proporsi yang seperti ini perkebunan kelapa sawit telah menjadi sumber penghidupan bagi jutaan rakyat Indonesia.

Indonesia yang tengah memulihkan diri dari hantaman krisis ekonomi lantas melihat perkebunan sebagai sektor yang potensial mendongkrak pendapatan negara. Bagi pemerintah, lahan hutan yang masih sangat luas harus dimanfaatkan untuk menggenjot perekonomian nasional. Hal ini dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang memberikan hak konsesi lahan kepada pengusaha perkebunan sampai 35 tahun. Sejak itu setiap tahun rata-rata setengah juta hektar kawasan hutan disulap menjadi lahan perkebunan. Dalam tempo kurang dari dua dekade, luas perkebunan sawit Indonesia berlipat hampir 4 kali atau mencapai 16,8 juta hektar. Kalau ditelusuri, penambahan luas perkebunan sawit yang paling mencolok ada di Pulau Kalimantan.

Ledakan perkebunan sawit rupanya juga dibarengi dengan praktik korupsi serta keengganan perusahaan untuk menaati aturan. Untuk yang pertama, deretan kasus suap izin konsesi dan korupsi telah terungkap dengan melibatkan para pejabat daerah. Salah satunya adalah kasus alih fungsi lahan yang menyeret Bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi dan Bupati Indragiri Hulu, Raja Tamsir Rahman. Kedua tersangka tersebut diperkirakan telah merugikan negara hingga 78 triliun.[8]

Terkait dengan yang kedua, perusahaan sawit kerap tidak bisa menunaikan kewajiban untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebesar 20 persen dari luas lahan yang dimiliki. Beberapa kajian kritis menyebutkan bahwa skema plasma tersebut jarang menguntungkan warga masyarakat. Tania Murray Li menjelaskan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia lebih banyak membawa relasi sosial yang ekstraktif. Hal ini tampak sangat jelas dari kecenderungan perusahaan-perusahaan kelapa sawit untuk mengeksploitasi lahan dan masyarakat lokal demi mendapatkan profit.[9]

Dalam studinya, Li mengungkapkan bahwa perusahaan kelapa sawit akan melakukan berbagai cara untuk merampas tanah-tanah warga lokal agar terintegrasi dengan kawasan perkebunan. Warga lokal itu dijanjikan akan mendapat lahan perkebunan yang produktif. Namun mereka harus membayar bea pengembangan.[10] Perusahaan tertarik untuk mengontrak pekerja dari luar wilayah karena dipandang lebih giat dan lebih murah. Mereka masih beranggapan bahwa pekerja lokal adalah orang yang malas.[11]

Dalam hitungan kasar, seseorang petani sawit akan bisa hidup secara layak jika memiliki luas lahan perkebunan sawit minimal 4 hektar. Dengan luas ini, setiap bulan petani sawit akan mengantongi penghasilan kotor sekitar 5-6 juta. Namun, sebagian besar petani sawit memiliki luas kebun rata-rata 2 hektar. Dalam kondisi yang demikian, wajar kalau untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka juga bekerja sebagai buruh sawit atau dengan berdagang.

Kelompok di luar petani sawit namun masih memiliki nasib baik adalah mereka yang masih memiliki ladang untuk dikelola. Dengan ladang ini mereka akan memiliki beberapa opsi bertahan hidup seperti menanam bahan pangan dan berbagai jenis sayuran. Bagi orang yang tidak memiliki lahan untuk digarap satu-satunya sumber penghasilan adalah menjadi buruh sawit. Penghasilan mereka tentu sangat bergantung pada upah harian yang hanya cukup untuk menyambung hidup.

Wajah Pekerja Perkebunan Sawit

Potret pekerja di perkebunan sawit akan dapat kita kenali karakternya dari data statistik kelapa sawit.Data terakhir menyebutkan bahwa jumlah petani sawit di Indonesia mencapai 2,65 juta. Adapun jumlah buruh atau pekerja yang mencari penghasilan di perkebunan sawit baik milik swasta maupun negara diperkirakan berjumlah 4,5 juta.[12] Sebagai catatan, mereka yang terhitung sebagai petani sawit atau pekerja sawit diasumsikan sebagai kepala keluarga. Jadi, apabila setiap keluarga memiliki 4 anggota keluarga maka industri sawit telah menghidupi 30 juta penduduk Indonesia.

Angka-angka tersebut mungkin tampak abstrak sehingga kurang bisa mencerminkan realitas sesungguhnya di lapangan. Namun yang jelas dengan angka tersebut kita dapat memperkirakan bahwa setiap 10 hektar lahan perkebunan sawit menyerap 2 sampai 3 tenaga kerja.

Kita mengakui bahwa ada perbedaan besar antara perkebunan yang dikelola oleh petani dengan yang dikelola oleh perusahaan besar, terutama dalam hal mekanisme kerja.[13] Di perkebunan sawit milik petani, mungkin kebutuhan tenaga kerja cukup dengan mengandalkan warga sekitar. Mereka dipekerjakan secara informal dan mendapatkan bayaran setelah hasil panen dijual ke pabrik.

Tapi bagi perusahaan besar yang mengelola ratusan bahkan ribuan hektar perkebunan sawit, kebutuhan tenaga kerja bisa tercukupi dengan mendatangkan buruh migran dari luar daerah. Oleh karena itu mereka akan diperlakukan sebagai pekerja kontrak harian. Beberapa perusahaan bahkan menerapkan sistem performa panen yang mana pekerja diupah menurut bobot kelapa sawit yang diangkut ke pabrik. Dengan mekanisme seperti ini maka tidak salah kalau perusahaan-perusahaan besar memiliki keuntungan yang besar karena ongkos produksinya sangat rendah.

Industri kelapa sawit yang pada awalnya didisain untuk memberantas kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat pedesaan telah berubah menjadi ladang bisnis basah. Bisnis kelapa sawit sekarang malah menimbulkan ketimpangan sosial. Tidak banyak perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang serius memperhatikan kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan mereka. Hal ini tercermin dari infrastruktur jalan di pedesaan yang masih belum terbangun. Akses layanan kesehatan yang sulit dijangkau dan tingkat pendidikan warga masih rendah.

Jika kita melihat index pembangunan manusia (IPM) di daerah-daerah yang memiliki lahan perkebunan sawit terluas ternyata angkanya relatif lebih rendah. Pada tahun 2022 IPM Kalimantan Barat berada di angka 68,63 dan Kalimantan Tengah sendiri ada di titik 71,63. Padahal IPM nasional sudah mencapai 73,77.[14]

Dalam satu dekade terakhir, sebagian pekerja perkebunan kelapa sawit menunjukkan wajah yang marah. Mereka adalah warga lokal yang berseteru dengan perusahaan kelapa sawit. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Tapi yang paling sering adalah konflik lahan. Warga lokal merasa tersingkir oleh kehadiran perusahaan kelapa sawit di kampung halaman mereka. Perusahaan cenderung lebih tertarik untuk menguasai lahan daripada memberdayakan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan keengganan beberapa perusahaan untuk memberikan 20 persen lahan perkebunan sawit untuk warga lokal. Pada akhirnya warga masyarakat melakukan aksi-aksi protes dan juga tindakan perlawanan untuk mengklaim hak-hak mereka.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) memperkirakan ada sekitar 4.000 konflik lahan yang terjadi di Indonesia. Dari situ Ward Berenschot bersama tim melakukan penelitian dan berhasil mendokumentasikan 150 konflik yang terjadi antara komunitas lokal dengan perusahaan-perusahaan kelapa sawit di empat provinsi. Ia menemukan bahwa salah satu sumber konflik adalah lemahnya penegakan hukum.[15] Hal ini sebenarnya dipengaruhi oleh praktik politik patron-klien yang ada di daerah. Para pengusaha perkebunan berkolusi dengan pejabat pemerintah di tingkat lokal untuk melancarkan kepentingan bisnis mereka. Bagi pejabat pemerintah sendiri, ini merupakan kesempatan untuk menumpuk kekayaan serta menjadi penguat daya tawar politik.[16]

Dalam iklim politik yang demikian, perlawanan warga untuk memperoleh hak-hak mereka tidak jarang direspon dengan represi. Para aktivis yang paling vokal dan menjadi pemimpin sering dikriminalisasi untuk meredam gelombang protes. Padahal, pada dasarnya mereka protes menuntut keadilan dan memperoleh penghidupan yang lebih layak.[17] Mereka butuh keadilan atas penyerobotan lahan yang telah dilakukan oleh perusahaan. Selain itu mereka juga butuh penghidupan yang layak karena selama ini perusahaan hadir hanya untuk mengeksploitasi lahan.

Dengan begitu industri perkebunan kelapa sawit yang berkembang di Indonesia dapat dikatakan lebih terkonsentrasi pada akumulasi kapital. Perusahaan-perusahaan besar lebih mendahulukan kepentingan mencari profil daripada menjalankan pola-pola bisnis yang berkelanjutan. Mereka tidak mempedulikan fungsi ekologis lahan bagi masyarakat lokal dan mengacuhkan hak-hak pekerja yang layak.

Lantas apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi kerja di perkebunan sawit? Pertama, pemerintah Indonesia harus membuat kebijakan tentang standar kerja yang layak dalam industri kelapa sawit. Jika industri perkebunan sawit bisa dikembangkan dan diintegrasikan dengan industri pengolahan minyak sawit maka secara tidak langsung para pekerja akan mengalami perbaikan tingkat upah. Kita bisa ambil contoh kasus perkebunan di Malaysia yang tingkat upah pekerjanya bisa lebih tinggi dua sampai tiga kali lipat dari Indonesia.

Kedua, harus ada mekanisme pemerataan jangka panjang di sektor perkebunan. Di samping itu perusahaan sawit perlu menerapkan etika bisnis perkebunan yang berkelanjutan. Dengan kata lain warga masyarakat lokal harus dipandang sebagai partner bisnis yang akan berkontribusi dalam peningkatan nilai tambah produk.


[1] Muhammad Faisol Amir, Muhammd Nidhal, and Aditya Alta, Dari Larangan Hingga Percepatan Eskpor: Mengapa Intervensi Harga Minyak Goreng Tidak Efektif, Ringkasan Kebijakan (Jakarta: CIPS, Desember 2022).

[2] Ardi Afrizal and others, ‘Fenomena Kelangkaan Supplay Minyak Goreng Di Indonesia Tahun 2022’, Journal Development, 10.1 (2022), 28–33.

[3] ‘Kinerja Industri Minyak Sawit 2022’, Gapki.Id, 2023 <https://gapki.id/news/2023/01/25/kinerja-industri-minyak-sawit-2022/>.

[4] ‘Nilai Ekspor Sawit 2022 Akan Tembus Rp 592 Triliun,Tertinggi Sepanjang Sejarah’, Sawitindonesia.Com, 2022 <https://sawitindonesia.com/nilai-ekspor-sawit-2022-akan-tembus-rp-592-triliun-tertinggi-sepanjang-sejarah/>.

[5] Ian E Henson, ‘A Brief History of the Oil Palm’, in Palm Oil (Elsevier, 2012), pp. 1–29.

[6] Zahari Zen and others, ‘Interventions to Promote Smallholder Oil Palm and Socio-Economic Improvement in Indonesia’, The Oil Palm Complex: Smallholders, Agribusiness and the State in Indonesia and Malaysia. NUS, Singapore, 2016, 78–108.

[7] Direktorat Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2022 (BPS, November 2023).

[8] ‘Kalkulasi Kerugian Negara Kasus Duta Palma’, Koran.Tempo, 2023 <https://koran.tempo.co/read/nasional/479748/kerugian-negara-kasus-korupsi-surya-darmadi>.

[9] Tania Murray Li, ‘Indigeneity, Capitalism, and the Management of Dispossession’, Current Anthropology, 51.3 (2010), 385–414.

[10] Tania Murray Li, Social Impacts of Oil Palm in Indonesia: A Gendered Perspective from West Kalimantan (CIFOR, 2015), cxxiv.

[11] Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism (Routledge, 2013).

[12] Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2020-2022 (Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2021), pp. 1–84.

[13] Tania Murray Li, ‘Centering Labor in the Land Grab Debate’, The Journal of Peasant Studies, 38.2 (2011), 281–98.

[14] Indeks Pembangunan Manusia 2022 (Jakarta: BPS, Mei 2023).

[15] Ward Berenschot and Ahmad Dhiaulhaq, ‘The Production of Rightlessness: Palm Oil Companies and Land Dispossession in Indonesia’, Globalizations, 2023, 1–19.

[16] Ward Berenschot, ‘The Political Economy of Clientelism: A Comparative Study of Indonesia’s Patronage Democracy’, Comparative Political Studies, 51.12 (2018), 1563–93.

[17] Ward Berenschot and others, Palm Oil Expansion and Conflict in Indonesia: An Evaluation of the Effectiveness of Conflict Resolution Mechanisms (Leiden: Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia, 2021).