Penulis: Agus S Efendi

Di abad 21 ini peradaban umat manusia terus berkembang. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi persoalan dasar manusia seperti pasokan pangan dan akses layanan kesehatan semakin dapat terjamin. Meski total populasi manusia telah mencapai 8 miliar jiwa secara umum kelaparan atau bahaya penyakit dapat diantisipasi.[1] Jika kita mempertimbangkan situasi saat ini, capaian peradaban global itu bisa saja direnggut oleh perubahan iklim. Untuk itu satu hal yang perlu dilakukan adalah meninggalkan paradigma pembangunan ekonomi yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Jika hal ini tidak mampu kita lakukan maka krisis ekologi akan membuat sebagian besar populasi manusia menjadi rentan dan tidak mustahil bencana kelaparan kembali terjadi.[2]

Tentu masing-masing dari kita memiliki respon yang beragam mengenai hal tersebut. Namun yang jelas, respon tersebut tidak akan memiliki dampak yang positif tanpa kita memiliki pemahaman tentang pola dan karakter pengorganisasian masyarakat global. Sejauh ini ada dua cara pengorganisasian masyarakat yang diterima secara luas yaitu sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik negara bangsa. Kedua sistem ini dapat disebut sebagai rule of the game konstelasi ekonomi-politik dunia.[3] Yang menarik, dalam konstelasi global itu kekuatan suatu negara beriringan dengan kemampuannya dalam membangun perekonomian. Dari situ tidak mengherankan apabila perbedaan mendasar antara negara maju dengan negara berkembang terletak pada produktifitas sumberdaya manusia.

Artikel ini akan membahas hubungan antara struktur demografi dengan kebijakan pembangunan ekonomi. Kita fokus untuk membandingkan tren demografi yang terjadi di negara maju dengan yang ada di negara berkembang. Karena pembangunan ekonomi selalu membutuhkan tenaga manusia untuk bekerja secara penuh di sektor-sektor produktif maka secara struktural kehidupan berkeluarga pun menjadi tersingkir. Ketika tingkat reproduksi penduduk turun, perekonomian pun lantas menghadapi krisis pasokan tenaga kerja. Inilah yang disebut paradox pembangunan ekonomi.

Ketimpangan Negara Maju dan Negara Berkembang

Modernisasi adalah proses historis yang membawa perubahan kehidupan manusia baik secara struktural maupun kultural. Proses ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari praktik kolonialisme yang berupaya mengeruk sumberdaya demi kesejahteraan bangsa penjajah sendiri.[4] Namun, ketika bangsa jajahan menyadari bahwa kolonialisme bukan hanya mendiskriminasi tetapi juga mengeksploitasi penduduk pribumi, mereka pun melancarkan gerakan perlawanan. Puncak dari gerakan ini biasanya ditandai dengan deklarasi kemerdekaan atau klaim menjadi bangsa yang berdaulat.

Pada saat itu prinsip yang diterima umum adalah suatu bangsa benar-benar berdaulat ketika mendapat pengakuan dari bangsa lain.[5] Kemerdekaan Indonesia misalnya, semakin kukuh setelah mendapat pengakuan dari negara lain seperti Mesir, Suriah dan India yang notabene adalah negara yang baru merdeka. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa dalam tatanan politik internasional yang ditekankan adalah diplomasi dalam upaya mencari resolusi dan menjaga perdamaian.

Tatanan politik yang baru itu rupanya tidak menghapus ketimpangan antara bangsa Barat dengan bangsa-bangsa yang baru merdeka. Hal ini terlihat jelas dari perbedaan skala industri dalam membentuk perekonomian nasional. Industrialisasi sendiri dapat lahir ketika terdapat modal yang cukup untuk investasi teknologi produksi. Tentu, bagi bangsa Barat, sebagian besar modal industrialisasi berasal dari surplus produk-produk yang diambil dari wilayah jajahan. Dalam proses ini mereka juga secara gradual memperbaiki institusi pendidikan sebagai upaya memasok sumberdaya manusia yang akan mengelola sektor-sektor industri yang berkembang.

Sebaliknya, bangsa yang baru merdeka tidak memiliki kemewahan seperti itu. Secara umum struktur sosial di sana juga belum mengalami modernisasi secara mendalam. Artinya, meski terdapat pabrik-pabrik pengolahan yang menjadi tulang punggung industri perkebunan dan tambang, bangsa yang baru merdeka belum memiliki kapasitas dam mengelola atau mengembangkan. Tentu saja alasannya adalah sebagian besar penduduk belum mengakses pendidikan.[6]

Akses terhadap pendidikan merupakan persoalan mendasar bagi negara yang baru merdeka untuk dapat berkembang. Bagaimanapun investasi pada institusi pendidikan perlu biaya yang tidak sedikit. Dari situ langkah pemerintah dalam modernisasi pendidikan adalah dengan mengembangkan sektor ekonomi serta yang tidak kalah penting mengeluarkan kebijakan perencanaan keluarga.

Dengan fokus pada pengembangan sektor-sektor ekonomi negara akan memiliki pendapatan dari operasi bisnis perusahaan negara ataupun pajak dari perusahaan swasta. Modal belanja ini digunakan pemerintah untuk membangun sekolah, perguruan tinggi serta menggaji guru. Tentu dengan cara yang demikian institusi pendidikan tidak berkembang dengan cepat. Konsekuensinya sektor-sektor perekonomian mengalami pelambatan industrialisasi. Inilah yang menjadi alasan mengapa negara yang baru merdeka disebut juga sebagai negara berkembang.

Modernisasi yang dijalankan oleh negara berkembang ternyata juga harus dibarengi dengan pengontrolan pertumbuhan penduduk. Dengan kata lain skema perencanaan pembangunan ekonomi menghendaki struktur demografi yang relatif stabil. Jika hal itu tidak dilakukan maka pemerintah akan kesulitan dalam mengorganisasi masyarakat. Selain itu, angka kelahiran tinggi akan menyebabkan banyak keluarga memiliki waktu yang lebih sedikit dalam meningkatkan skill dan ketrampilan.

Modernisasi sebagai Transisi Demografi

Salah satu pilar modernisasi adalah ide tentang progress atau kemajuan. Dalam konteks perekayasaan sosial, gagasan itu diterjemahkan menjadi apa yang disebut transisi demografi.[7] Teori ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi dapat optimal jika penduduk usia kerja (15-65 tahun) memiliki skill dan ketrampilan yang dibutuhkan sektor-sektor industri yang tengah berkembang. Oleh sebab itu pemerintah selalu dianjurkan untuk membuat kebijakan perencanaan keluarga yang mengatur dan mempromosikan batas usia minimal kawin, penggunaan alat kontrasepsi serta norma memiliki anak. Di Indonesia, hal ini kita kenal sebagai program Keluarga Berencana (KB) dengan jargon ‘dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja.’

Kalau dicermati, angka kelahiran dan pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi negatif yang kuat. Artinya jika angka kelahiran relatif rendah maka pertumbuhan ekonomi menjadi relatif lebih tinggi. Hal ini telah terbukti di beberapa negara maju dan negara berkembang yang mana ketika transisi demografi terjadi maka perekonomian akan menguat.

Ambil contoh Jepang dan China. Pertumbuhan ekonomi dua negeri di Asia Timur ini dalam setengah abad terakhir dapat dikatakan sangat pesat.[8] Meskipun dua negeri itu memiliki total populasi penduduk yang sangat jauh berbeda, yang jelas mereka telah berhasil menekan angka kelahiran pada skala yang cukup rendah. Pada tahun 1950an tingkat kelahiran total China dan Jepang masing-masing masih di angka 5,4 dan 3,4. Untuk tahun 2000an keduanya sudah turun drastis serta stabil di poin 1,6 dan 1,3.[9]

Model transisi demografi yang diterapkan untuk menguatkan perekonomian pada dasarnya adalah strategi mendesain struktur demografi dalam jangka panjang. Melalui strategi ini negara akan memiliki lebih banyak ruang untuk intervensi dalam meningkatkan mutu sumberdaya manusia. Jadi dalam tataran individu modernisasi dapat dikatakan sebagai upaya menanamkan etos kerja produktif.

Spirit itu paling tidak membutuhkan dua prasyarat utama yaitu akses pendidikan dan partisipasi kerja. Untuk yang pertama lebih terkait dengan mekanisme penguasaan teknologi dan pengasahan ketrampilan dalam rangka mencetak tenaga kerja. Untuk yang kedua lebih sebagai motivasi dalam merealisasikan diri atau wahana mobilitas sosial. Ketika dua hal ini mampu dipadukan secara efektif maka ia akan segera menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Sebagai konsekuensi taraf kesejahteraan penduduk pun secara tidak langsung akan meningkat.

Paradox Pembangunan Ekonomi

Di negara-negara maju konfigurasi angka kelahiran, kematian dan mobilitas telah membuat struktur demografi mengalami tren stagnasi dan mengarah pada penuaan penduduk. Secara teoretik hal ini akan menimbulkan persoalan tentang keberlangsungan produktivitas ekonomi dalam negeri. Dengan kata lain mereka diperkirakan akan menghadapi kekurangan input tenaga kerja untuk mengisi sektor-sektor bisnis.[10]

Kita bisa ambil kasus negara Jerman. Tahun lalu negeri ini berhasil mencatatkan PDB hingga $ 4.504 milyar atau sekitar 3 persen perekonomian global. Dengan total populasi mencapai 83 juta maka PDP perkapita negeri ini adalah $ 51,203. Pada waktu yang bersamaan angka kelahiran total berada di level 1,5 (artinya dua perempuan rata-rata melahirkan 3 anak selama ia hidup). Namun yang menarik tren pertumbuhan penduduk dalam beberapa tahun terakhir justru stagnan. Dengan kondisi yang demikian pemerintah Jerman pun membuat kebijakan pelonggaran imigrasi sebagai upaya untuk memasok kebutuhan tenaga kerja.[11] Pada tahun 2022 sendiri jumlah imigran yang masuk ke Jerman mencapai 2,6 juta orang. Berbeda halnya dengan Jepang. Karena negara ini relatif tertutup bagi kaum imigran, maka pemerintah pun mengeluarkan berbagai kebijakan insentif untuk pasangan atau perempuan yang mau memiliki anak.[12]

Mengapa penduduk di negara maju cenderung memiliki anak yang lebih sedikit atau tidak sama sekali? Tentu pertanyaan ini akan mudah kita jawab ketika melihat situasi dan kondisi kehidupan keluarga.

Di atas kita telah menyinggung bahwa negara yang maju secara ekonomi menghendaki penduduk usia kerja untuk ikut berpartisipasi dalam aktivitas produksi. Namun pada saat yang sama negara masih mengakui bahwa unit terkecil dalam perekonomian adalah rumah tangga/keluarga bukan individu. Hal ini menimbulkan konstruksi peran yang dimiliki oleh individu, baik sebagai anggota keluarga (laki-laki dan perempuan) atau sebagai warga negara yang produktif, berada pada tegangan terus-menerus.

Di negara maju tampaknya peran warga negara yang produktif yang lebih ditonjolkan. Norma yang diprioritaskan adalah baik laki-laki atau perempuan harus di dorong untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Singkatnya ikut serta dalam mengatasi masalah ekonomi-politik nasional dalam rangka mencapai kesejahteraan umum. Kita dapat melihat kecenderungan ini dalam indikator partisipasi angkatan kerja.

Di Jepang angka partisipasi kerja laki-laki pada tahun 2022 berada di angka 71 persen dan untuk perempuan sebesar 74 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Jepang cenderung lebih termotivasi untuk bekerja daripada laki-laki Jepang. Secara institusional, kondisi ini menyebabkan banyak perempuan dewasa cenderung menunda untuk memiliki anak.[13] Jika mereka memutuskan untuk hamil dan mengasuh anak maka karier pekerjaan akan terganggu. Tren yang demikian relatif menggejala di negara-negara maju yang lain.

Dari situ kita dapat mengatakan bahwa puncak pembangunan ekonomi yang tengah dialami oleh negara-negara maju memiliki paradoks struktur demografi. Paradox ini berasal dari konsekuensi yang tidak diinginkan dari kebijakan meningkatkan produktivitas penduduk. Ketika setiap penduduk didorong untuk menjalani ritme kehidupan yang produktif maka yang harus dikorbankan adalah keintiman kehidupan keluarga. Hal ini terlihat jelas dari tren angka kelahiran yang terus menurun di negara-negara yang paling sejahtera.

Apakah Indonesia sebagai negara berkembang yang tengah mencita-citakan kesejahteraan bagi semua penduduk akan menempuh jalan yang sama? Ini bergantung pada konstruksi norma dan sistem insentif yang tengah kita bangun.


[1] Lubov Zeifman and others, ‘A World of 8 Billion’, 2022.

[2] Martin Parry and others, Climate Change and Hunger: Responding to the Challenge (Intl Food Policy Res Inst, 2009).

[3] Proposisi generik ini dibuat dengan asumsi bahwa baik komunisme atau kapitalisme sama-sama mengakui pentingnya akumulasi kapital sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengambil manfaat dari perdagangan bebas. Yang membedakan keduanya adalah soal tingkat intervensi negara dalam pasar. Lihat Barry Buzan and George Lawson, ‘Capitalism and the Emergent World Order’, International Affairs, 90.1 (2014), 71–91.

[4] Bipan Chandra, ‘Colonialism, Stages of Colonialism and the Colonial State’, Journal of Contemporary Asia, 10.3 (1980), 272–85.

[5] Avishai Margalit and Joseph Raz, ‘National Self-Determination’, The Journal of Philosophy, 87.9 (1990), 439–61.

[6] Junsen Zhang and Tianyou Li, ‘International Inequality and Convergence in Educational Attainment, 1960–1990’, Review of Development Economics, 6.3 (2002), 383–92.

[7] John C Caldwell, Demographic Transition Theory (Springer, 2007).

[8] Dua negeri ini dikenal sebagai keajaiban ekonomi Asia yang mampu secara konstan menumbuhkan perekonomian lebih dari 7 persen selama beberapa dekade.

[9] Tingkat kelahiran total (total fertility rate – TFR) adalah rata-rata jumlah kelahiran anak yang dialami oleh wanita sepanjang ia hidup.

[10] Peter McDonald and Rebecca Kippen, ‘Labor Supply Prospects in 16 Developed Countries, 2000–2050’, Population and Development Review, 27.1 (2001), 1–32.

[11] Simon Green, ‘Germany: A Changing Country of Immigration’, German Politics, 22.3 (2013), 333–51.

[12] Li Ma, ‘Social Policy and Childbearing Behavior in Japan since the 1960s: An Individual Level Perspective’, 2021.

[13] Larry L Bumpass and others, ‘The Institutional Context of Low Fertility: The Case of Japan’, Asian Population Studies, 5.3 (2009), 215–35.