Reporter: Agus S Efendi
Dalam satu dasawarsa terakhir perkembangan teknologi sungguh sangat pesat. Para pakar menyebutnya sebagai era revolusi teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Di era ini hampir semua orang memiliki dan memanfaatkan perangkat komunikasi atau ponsel pintar. Berbekal alat komunikasi canggih mereka dapat tersambung dengan atau mendapat informasi tentang siapa/apa saja. Kekuatan yang sangat besar dari gadget ini rupanya tidak hanya menarik perhatian para remaja dan orang dewasa saja tetapi juga menjadi mainan yang menarik bagi anak-anak. Tentu penetrasi gadget dalam dunia anak-anak ini akan berpengaruh pada pola tumbuh kembang dan pola pengasuhan anak. Bagi para orang tua memberi akses dunia digital kepada anak-anak merupakan suatu dilema. Di satu sisi, dunia digital menawarkan materi ajar yang sangat bagus untuk perkembangan anak. Dan di sisi yang lain, anak-anak juga dapat menjadi kecanduan serta mengakses konten digital yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Untuk mengurai persoalan tersebut, Pusdeka UNU Yogyakarta dan UNICEF Regional Jawa berinisiatif untuk menyelenggarakan diskusi tentang “Digital Parenting.” Tema ini diangkat sebagai respons tentang bagaimana pola pengasuhan yang baik dalam menghadapi anak-anak yang mampu mengakses dunia digital. Mungkin cara pengasuhan lama yang diajarkan oleh para orang tua sudah banyak yang tidak relevan karena anak-anak kita tampak sangat aktif dalam memperoleh sesuatu yang baru. Acara diskusi ini, mengundang dua pembicara yaitu Mustamid (dosen prodi PGSD UNU Yogyakarta) dan Zubedy Koteng (ahli perlindungan anak UNICEF). Dan selaku moderator adalah Adelia Octora Pristisahida yang merupakan dosen FTI UNU Yogyakarta.
Diskusi pada sore hari ini dibuka oleh Rindang Farihah. Direktur Pusdeka ini menjelaskan bahwa sebagai orang yang lebih tua kita perlu mengubah cara mendidik anak-anak atau adik-adik kita. Perubahan pola asuh ini diperlukan untuk mengantarkan anak-anak kita membangun masa depan yang cerah dan terhindar dari hal-hal negatif dari penggunaan perangkat digital. Rindang juga mengatakan bahwa dunia digital itu memiliki efek baik dan buruknya sendiri. Namun para pengasuh harus sadar kalau tugasnya adalah memberikan rambu-rambu dan penyikapan yang proporsional.
Sebagai pembicara yang pertama, Mustamid mengajak peserta diskusi untuk melihat fakta penetrasi internet di dalam masyarakat kita. Berdasarkan survey APJII, 77,02 persen masyarakat Indonesia atau 210 juta orang telah menggunakan internet. Kalau ditelusuri tren penggunaan internet rupanya tiap tahun selalu meningkat. Hal ini paling tidak dipengaruhi oleh dua hal yaitu semakin mudah dan murahnya akses internet serta harga perangkat gadget yang ekonomis. Oleh sebab itu penggunaan gadget untuk akses internet di lingkungan tempat kita tinggal telah menjadi pemandangan yang umum. Bahkan kelekatan internet dengan anak terlihat dari anak-anak TPA yang sedang mengaji tidak pernah mau meninggalkan ponsel pintarnya di rumah.
Persoalan pengasuhan di era digital sering dikaitkan dengan identitas generasi. Generasi paling terdepan dalam soal akses digital adalah generasi milenial. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang hidup di era media cetak, generasi milenial dan setelahnya cenderung menyukai konten bergambar dan berwarna. Untuk itu cara belajar mereka juga berbeda. Bagi generasi milenial ke bawah, materi pelajaran tidak terbatas hanya pada tulisan teks, tetapi juga gambar, video, suara dan lain sebagainya. Inilah mengapa kalau ada cerita bahwa anak balita sekarang mahir berselancar di internet kita sudah tidak heran.
Melihat kenyataan yang demikian, mengetahui gaya-gaya pengasuhan anak mungkin akan sedikit membantu. Diana Baumrind, seorang psikolog perkembangan, mengidentifikasi ada 4 jenis gaya pengasuhan yaitu authoritarian, permissive, authoritative dan involved. Gaya pengasuhan yang otoriter terjadi ketika orang tua sangat menuntut pada anak dan tidak mengakomodir keinginan anak. Pengasuhan permisif adalah pengasuhan yang serba boleh dan ketika terjadi sesuatu orang tua bertindak responsif. Gaya pengasuhan authoritative merupakan pengasuhan yang selalu menegosiasikan kebutuhan dan keinginan baik bagi anak ataupun orang tua. Yang keempat gaya pengasuhan involved adalah gaya pengasuhan yang tidak memperdulikan perkembangan anak. Menurut Mustamid, dari keempat gaya pengasuhan itu yang paling baik adalah authoritative karena selain mengakomodir tuntutan juga bersifat responsif.
Mustamid menutup pemaparannya dengan menggarisbawahi bahwa literasi digital sangat penting untuk disosialisasikan. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan generasi alpha dari berbagai bentuk risiko digital. Cakupan literasi digital di Indonesia sudah cukup baik namun dari segi keamanan masih sangat buruk.
Sebagai pembicara kedua, Zubedy Koteng ingin agar diskusi sore itu berjalan lebih interaktif. Oleh karena itu ia hanya menyinggung beberapa hal yang penting dalam pengasuhan digital. Poin pertama yang ia berikan adalah semua peserta yang hadir adalah pengasuh. Artinya mereka sudah bukan anak-anak lagi dan berkewajiban untuk memahami pola pengasuhan. Kita, ia melanjutkan, harus mengetahui apa yang termasuk hak-hak anak di ranah daring dan bagaimana upaya untuk melindungi hak tersebut.
Data dari salah satu lembaga internasional menyebutkan bahwa 41 persen anak dan remaja di Indonesia menyembunyikan usia sebenarnya di dunia maya. Di sini Zubedy menyoroti bagaimana akses digital di Indonesia sangat sulit untuk dikontrol. Ia mengaitkan hal ini dengan hak anak untuk mendapatkan informasi. Pada dasarnya setiap informasi ada klasifikasi usia konsumsi dan batas kematangan mental. Karena di Indonesia tidak ada regulasi yang jelas untuk mengatur itu maka tidak mengherankan apabila banyak anak dan remaja yang mengkonsumsi konten tidak sesuai dengan usianya atau bahkan yang bermuatan negatif. Implikasinya adalah kasus kekerasan dan perundungan pada anak di dunia digital menjadi cukup tinggi.
Point kedua Zubedy adalah soal model respon nasional terhadap arus digital, yaitu kebijakan, tata kelola, sistem hukum, mekanisme penanganan serta keterlibatan masyarakat, yang perlu diperkuat. Model ini ditujukan untuk memperkuat lingkungan yang aman dan ramah bagi anak. Program UNICEF yang menangani masalah ini bernama SAFE4C. Dan program untuk perlindungan anak dari eksploitasi dan pelecehan seksual online bernama OCSEA. Kedua program ini telah dilauncing di beberapa daerah dengan sasaran penduduk desa lewat kebijakan, layanan, bukti serta keterlibatan. Tentu sebagai sebuah program aksi skalanya masih sangat terbatas. Dan yang perlu dilakukan ke depan adalah memperluas cakupan dengan kerjasama dan kolaborasi.
Dalam sesi interaktif, ada beberapa pertanyaan dan tanggapan dari peserta yang memicu diskusi yang menarik. Yang pertama, berasal dari Nugraheni (mahasiswa UNU Yogyakarta) yang menanyakan bagaimana fasilitator atau guru mendidik murid agar lebih fokus dalam memahami pelajaran di era digital. Pertanyaan ini direspon oleh Mustamid dengan menekankan jawaban pada literasi digital yang materinya sudah banyak tersedia.
Kedua, tanggapan dari Binta Faitur Rohman (mahasiswa PGSD UNU Yogyakarta) yang mengatakan bahwa anak-anak sekarang sangat pandai mencari celah pembatasan digital. Ia sharing pengalaman adiknya sendiri dan bertanya tentang bagaimana pola pengasuhan yang tepat. Mengenai hal ini Zubedy sepakat dengan Mustamid yang mengatakan bahwa anak yang sudah terlanjur mengakses konten negatif tidak perlu dimarahi tapi diajak diskusi. Ia menambahkan, sebagai pengasuh kita harus belajar membangun kebijaksanaan dalam memberikan pemahaman pada anak tentang konsekuensi-konsekuensi dari apa yang dilakukannya. Dengan kata lain pengasuh menemani anak untuk mampu menyaring sendiri informasi yang berguna dan yang tidak.
Pertanyaan ketiga berasal dari Khairul Ihsan (dosen prodi SII UNU Yogyakarta). Ia mengkritik bagaimana era digital ini disambut dengan gegap gempita oleh sebagian orang. Padahal di era ini kemerosotan generasi juga tidak bisa disembunyikan. Menanggapi hal ini Mustamid mengatakan bahwa pandangan yang berasal dari salah satu hadis nabi ini memang sering digunakan oleh umat Islam untuk bersikap regresif (berorientasi ke masa lalu) daripada progresif (berorientasi ke masa depan). Dan arti kemerosotan di situ juga masih bisa diperdebatkan apakah dalam hal moral, ilmu pengetahuan, kesalehan atau yang lainnya.
Terakhir, pertanyaan dari Andik Hariawan (seorang aktivis yang konsen pada isu anak) yang mengkonfirmasi apakah ada pengetahuan yang bersifat aplikatif dan praktis, misalnya buku saku, untuk orang tua dan penggerak lapangan. Ia juga menggarisbawahi kalau anak-anak yang berasal dari kelompok marjinal lebih rentan ketika mengakses dunia digital. Berkaitan dengan hal ini, Zubedy mengatakan bahwa para orang tua pengasuh perlu dikenalkan dengan aplikasi monitor akses digital anak. Ia juga menekankan bahwa pengasuhan digital adalah mendidik orang tua agar lebih bijak. Bukan untuk mengontrol anak tetapi untuk membimbing anak.