Oleh: Agus S Efendi

Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia tetap berkomitmen dalam mengawal perbaikan SDM Indonesia terutama dalam bidang kesehatan dasar dan nutrisi. Hal ini tampak jelas dari Perpres No. 72 tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting. Adanya Perpres ini mengisyaratkan bahwa prioritas pemerintah dalam jangka panjang tetap tidak berubah meskipun krisis kesehatan tengah terjadi. Dengan kata lain pemerintah Indonesia masih menempatkan bonus demografi sebagai isu strategis nasional. Alasannya adalah peluang bonus demografi hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa dan implikasinya pada taraf kesejahteraan masyarakat juga sangat besar. Oleh karena itu intervensi dalam pemenuhan nutrisi untuk menurunkan angka prevalensi stunting sangat penting untuk diprioritaskan.

Disamping itu, Perpres itu dikeluarkan untuk memberikan arahan agar sumberdaya negara tetap fokus pada target angka prevalensi stunting yang pada tahun 2024 harus berada di angka 14 persen.[1] Mungkin bagi sebagian orang angka ini terlihat agak ambisius karena ketika target ini ditetapkan (tahun 2019), angka prevalensi stunting Indonesia masih berada di angka 27,67 persen.[2] Artinya tiap tahun pemerintah Indonesia harus bekerja keras untuk menurunkan angka prevalensi stunting paling tidak 2,7 persen. Padahal kalau menengok tren penurunan di periode sebelumnya (antara tahun 2013-2018) angkanya hanya sebesar 1,3 persen per tahun.

Lantas yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Indonesia memasang target penurunan angka prevalensi stunting yang cukup tidak realistis? Untuk menjawab hal ini kita harus membahas diskursus global tentang nutrisi dan posisi Indonesia di dalamnya.

Target SDG 2.2: Menghapus Semua Bentuk Malnutrisi

Di abad 21 ini, kehidupan bangsa-bangsa di seluruh penjuru dunia telah memasuki babak baru yang dipacu oleh globalisasi yaitu kooperasi internasional yang semakin penting. Dalam tatanan dunia yang demokratis dan relatif damai ini, apa yang menjadi acuan bersama adalah konsensus internasional. Salah satunya adalah SDG (Sustainable Development Goal) yang merupakan cetak biru kebijakan global untuk membangun perdamaian dan kesejahteraan untuk seluruh orang di bumi.[3]

Cikal bakal lahirnya rumusan SDG, kalau ditelusuri, tidak dapat dilepaskan dari konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tahun 2012.[4] Dalam forum tingkat tinggi ini, para pemimpin dunia yang hadir menyepakati suatu dokumen penting. Isi dari dokumen ini adalah promosi tentang pembangunan yang berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial ataupun lingkungan. Indonesia sendiri pada waktu itu diwakili langsung oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dokumen yang terdiri dari 283 poin pernyataan ini kemudian dijadikan dasar untuk merumuskan SDG tiga tahun setelahnya.

Sebagai rumusan yang holistik, SDG memuat 17 tujuan pokok yang dapat diacu oleh para pengambil kebijakan untuk membuat agenda program.[5] SDG juga menyebutkan target-target tertentu yang perlu dicapai pada tahun 2030. Untuk masalah nutrisi, target SDGnya adalah mengakhiri semua bentuk malnutrisi yang mencakup kurus (wasting) dan pendek (stunting) pada anak di bawah usia lima tahun.[6] Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur keduanya adalah prevalensi stunting dan prevalensi malnutrisi. Kedua indikator ini didasarkan pada standar pertumbuhan anthropometric anak yang dikeluarkan oleh WHO.[7]

Dalam dokumen World Health Assembly (WHA) tahun 2016 disebutkan bahwa target nutrisi global pada tahun 2025 diantaranya adalah: 1) mengurangi 40 persen angka balita yang stunting, 2) meningkatkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kelahiran sebesar 50 persen, 3) mengurangi dan menjaga wasting pada anak di bawah angka 5 persen.[8] Pada tahun itu, data angka prevalensi stunting global berada di angka 23,8 persen. Dan angka prevalensi stunting Indonesia sendiri masih berada di angka 36,4 persen (berdasarkan Riskesdas 2013). Akan tetapi di tahun 2018 angka tersebut turun jadi 30,8 persen.[9]

Response Pemerintah Indonesia

Angka prevalensi stunting yang cukup tinggi ini lantas membuat Indonesia menjadi perhatian dunia karena dianggap tertinggal dalam penanganan malnutrisi pada anak. Bahkan sebagian pengamat mengatakan bahwa sebagai negara dengan kapasitas perekonomian yang cukup besar, Indonesia belum mampu beranjak atau menjauh dari deretan negara dengan kasus malnutrisi tertinggi. Untuk memperbaiki hal tersebut tidak mengherankan apabila pemerintah Indonesia menetapkan stunting sebagai isu prioritas nasional.

Pada tahun 2018, isu prioritas nasional ini dirumuskan menjadi kebijakan melalui apa yang disebut strategi nasional percepatan pencegahan stunting pada anak. Yang mengkoordinasi pelaksanaan program strategis nasional ini adalah sekretariat wakil presiden bersama dengan kementerian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan. Karena stunting adalah isu yang kompleks maka program ini juga melibatkan 23 kementerian/lembaga pemerintahan.[10] Melalui pendekatan multi-sektor ini diharapkan program pencegahan stunting akan berjalan lancar. Untuk mendukung hal ini, sejak tahun 2019, jumlah anggaran pemerintah per tahun yang dialokasikan berkisar antara 25 sampai 40 Triliun.[11]

Kendati demikian, penggunaan dana sebesar itu dapat dikatakan belum efektif karena pada tahun 2021 angka prevalensi stunting di Indonesia masih berada di angka 24,4 persen. Artinya dalam 2 tahun angka prevalensi stunting hanya turun 3,27 persen atau 1,64 persen per tahun. Padahal target penurunan pemerintah per tahun adalah 2,7 persen. Dengan kinerja yang seperti ini, wakil presiden pun memberi instruksi agar angka prevalensi stunting pada tahun 2022 harus turun 3 persen.[12]

Intervensi Penurunan Angka stunting di Indonesia

Dari segi intervensi, pemerintah Indonesia telah membuat suatu skema penanganan dan penurunan angka stunting melalui pendekatan integratif. Pendekatan ini memperlakukan stunting tidak hanya sebagai masalah yang terjadi pada usia emas pertumbuhan janin dan bayi (1.000 HKL). Tetapi juga pada perilaku calon ibu, kondisi lingkungan serta pola asuh anak.[13] Oleh karena itu program percepatan penurunan angka stunting menetapkan dua kluster yaitu; 1) intervensi gizi spesifik 2) intervensi gizi sensitif.

Intervensi gizi yang pertama lebih menyasar penyebab stunting. Tentu kita tahu kalau penyebab utama stunting adalah malnutrisi baik pada bayi atau ibu. Dari situ kelompok sasaran yang menjadi target intervensi adalah ibu hamil, ibu menyusui dan anak 0-23 bulan, remaja putri dan wanita usia subur serta anak usia 24-59 bulan. Masing-masing kelompok tersebut dibuatkan program intervensi yang berbeda-beda.[14] Misalnya untuk remaja dan ibu mengandung ada program pemberian suplemen tambah darah. Selain itu untuk ibu menyusui dan anak baduta (bayi di bawah dua tahun) ada program konseling dan pemberian makanan tambahan.

Untuk intervensi gizi sensitif, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa program. Misalnya seperti peningkatan akses pangan bergizi, kesadaran pengasuhan, perbaikan kualitas layanan kesehatan dan penyediaan air bersih dan sanitasi. Dengan memprioritaskan intervensi pada beberapa kelompok sasaran dan program-program tematik diharapkan angka prevalensi stunting dapat turun dengan signifikan.

Tentu upaya intervensi ini memiliki keterbatasan dan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi prevalensi stunting di tiap wilayah. Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 menyebutkan bahwa angka prevalensi stunting di tingkat provinsi membentang dari yang terendah 10,9 persen (provinsi Bali) hingga yang tertinggi 37,8 (provinsi Nusa Tenggara Timur). Namun ketika kita melihat data di tingkat kabupaten/kota variasi angkanya sangat lebar. Di Pulau Jawa sendiri, deretan kabupaten/kota yang paling tinggi angka prevalensi stuntingnya adalah Bangkalan (38,9 persen), Pamekasan (38,7 persen), Pandeglang (37,8 persen), Bondowoso (37,0 persen), dan Garut (35,2 persen).[15]

Untuk wilayah luar Jawa, lima kabupaten/kota yang memiliki angka prevalensi stunting terparah adalah Timur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (48,3 persen), Mandailing Natal, Sumatera Utara (47,7 persen), Buton Selatan, Sulawesi Tenggara (45,2 persen), Gayo Lues, Aceh (42,9 persen), dan Seram Bagian Timur, Maluku (41,9 persen).

Berdasarkan data tersebut, strategi intervensi pemerintah Indonesia adalah dengan memprioritaskan kabupaten/kota dengan angka prevalensi stunting tertinggi. Ketika program ini dimulai (yaitu tahun 2018), pemerintah hanya menargetkan intervensi stunting di 100 kabupaten/kota.[16] Namun untuk sekarang program ini sudah mencakup 514 kabupaten/kota yang ada di Indonesia.

Progres Intervensi Stunting di Daerah

Dengan membandingkan data status gizi tahun 2019 dan 2021 kita dapat melihat seperti apa tren angka prevalensi stunting. Seperti yang telah kita singgung di atas bahwa selama dua tahun itu secara nasional angka prevalensi stunting turun 3,27 persen. Angka ini merupakan hasil agregat dari penurunan di tingkat provinsi. Beberapa provinsi di Indonesia yang penurunan angka prevalensi stunting paling signifikan adalah Lampung (7,8 persen), Jawa Tengah (6,8 persen), Sulawesi Barat (6,6 persen) dan Nusa Tenggara Barat (6,5 persen). Namun yang mengejutkan ada enam provinsi yang angka prevalensi stuntingnya malah meningkat. Yaitu Papua Barat, Kalimantan Utara, Jambi, Kepulauan Riau, Banten, Sulawesi Selatan dan Papua.[17] Dengan kata lain, kinerja keenam provinsi ini dalam upaya pencegahan dan penurunan stunting perlu menjadi sorotan bersama.

Sampai di sini, kita dapat mengatakan bahwa strategi penurunan stunting di level daerah masih perlu penguatan komitmen. Pemerintah daerah juga butuh mendapat dukungan dari berbagai pihak. Artinya, para pemangku kebijakan di daerah harus didorong untuk membuat program-program intervensi gizi yang lebih tepat sasaran. Serta lebih efektif dalam mengubah perilaku masyarakat.


[1] Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting, 2021.

[2] Doddy Izwardy, ‘Studi Status Gizi Balita Terintegrasi Susenas 2019’ (presented at the Rakerkesnas, Jakarta, 2020).

[3] Jeffrey D Sachs, ‘From Millennium Development Goals to Sustainable Development Goals’, The Lancet, 379.9832 (2012), 2206–11.

[4] Raymond Clémençon, ‘Welcome to the Anthropocene: Rio+ 20 and the Meaning of Sustainable Development’, The Journal of Environment & Development, 21.3 (2012), 311–38.

[5] Lihat dalam laman https://sdgs.un.org/goals

[6] Nandini Ramanujam and Sarah Berger Richardson, ‘Ending Child Malnutrition Under SDG 2: The Moral Imperative for Global Solidarity and Local Action’, Social Alternatives, 37.1 (2018), 18–24.

[7] Mercedes De Onis and Jean-Pierre Habicht, ‘Anthropometric Reference Data for International Use: Recommendations from a World Health Organization Expert Committee’, The American Journal of Clinical Nutrition, 64.4 (1996), 650–58.

[8] Endang Achadi and others, Global Nutrition Report 2016: From Promise to Impact: Ending Malnutrition by 2030 (International Food Policy Research Institute, 2016).

[9] Kemenkes, Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 (Jakarta, 2018).

[10] Elan Satriawan, ‘Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024’, Jakata: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018.

[11] Lihat dalam laman https://dashboard.stunting.go.id/perkembangan-alokasi-anggaran/

[12] https://stunting.go.id/tahun-2022-angka-prevalensi-stunting-harus-turun-setidaknya-3/

[13] Andrew M Prentice and others, ‘Critical Windows for Nutritional Interventions against Stunting’, The American of Clinical Nutrition, 97.5 (2013), 911–18.

[14] Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Periode 2018-2024 (Jakarta: Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, 2018).

[15] Kemenkes, Hasil Studi Status Gizi Indonesia Tingkat Nasional, Provinsi Dan Kabupaten/Kota Tahun 2021 (Jakarta, 2021).

[16] 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting) (Jakarta: TNP2K, 2017).

[17] Kemenkes, Hasil Studi Status Gizi Indonesia Tingkat Nasional, Provinsi Dan Kabupaten/Kota Tahun 2021.