Oleh: Agus S Efendi

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia tampak sangat serius dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal ini paling tidak didorong oleh dua hal. Yang pertama amanat undang-undang dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan yang kedua adalah cita-cita para pemimpin bangsa yang merumuskan satu abad Indonesia (di tahun 2045) sebagai era generasi emas. Indikatornya, Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-5 di dunia.[1] Tentu dengan melihat struktur demografi Indonesia pada saat ini sebagian orang akan cenderung optimis. Namun, kalau kita mempertimbangkan seperti apa tingkat produktifitas penduduk atau kualitas SDM Indonesia maka sikap optimis itu segera memudar.[2]

Pengembangan SDM Indonesia pada dasarnya ditempuh dengan dua jenis pendekatan yaitu kesehatan dan pendidikan. Untuk kesehatan, pemerintah Indonesia telah mengupayakan dan memastikan agar generasi masa depan Indonesia dapat tumbuh dengan sehat dan aman. Hal ini tampak sangat jelas dari program prioritas nasional tentang pencegahan stunting.[3] Adapun untuk pendidikan, angka partisipasi sekolah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan. Namun dari segi kualitas di tiap tingkat pendidikan masih banyak yang perlu diperbaiki. Artikel ini akan fokus pada peningkatan kualitas SDM di bidang kesehatan khususnya pada persoalan pemenuhan gizi. Argumentasinya, pemenuhan gizi merupakan pre-kondisi untuk manusia Indonesia yang produktif.

Kemunculan Isu Stunting di Indonesia

Kalau ditelusuri, masalah pemenuhan nutrisi (gizi) di Indonesia sebenarnya sudah menjadi perhatian pemerintah sejak lama. Di masa Orde Baru, publik Indonesia sangat sering menggunakan istilah busung lapar untuk menyebut masalah kekurangan gizi akut. Biasanya hal ini disebabkan oleh kemiskinan dan absennya jaring pengaman sosial.[4] Pada saat itu intervensi pemerintah masih sangat terbatas dan data tentang status kesehatan nasional juga belum terkelola dengan baik. Hal ini lantas membuat tingkat prevalensi gizi buruk yang tersebar di wilayah Indonesia tidak dapat diukur. Dari situ wajar apabila program pemerintah terhadap penanganan gizi buruk menjadi tidak efektif.

Kendati demikian, kita tetap harus mengakui bahwa program kesehatan seperti Posyandu sangat krusial dalam meningkatkan kualitas gizi ibu dan balita. Program yang sangat populer di era 90an ini paling tidak telah berhasil meningkatkan kesadaran sebagian penduduk tentang pentingnya pemenuhan gizi.[5]

Memasuki milenium baru, Indonesia mencoba untuk memperkuat program intervensi pemerintah dengan cara memperbaiki data kesehatan nasional. Hal ini mulai diimplementasikan lewat survei kesehatan nasional (Surkernas).[6] Di era ini perhatian publik internasional tengah tertuju pada kampanye pemenuhan hak kesehatan dasar yaitu nutrisi untuk tumbuh kembang anak.[7] Di samping itu penelitian kesehatan telah menemukan bahwa tidak optimalnya pertumbuhan anak karena malnutrisi akan berdampak pada kesejahteraan si anak di masa depan.[8] Temuan ini sebenarnya ingin menekankan bahwa kualitas SDM di masa depan juga sangat dipengaruhi oleh asupan gizi di masa awal pertumbuhan anak. Inilah yang menjadikan pola tumbuh kembang balita menjadi fokus organisasi internasional.

Masalah kekurangan asupan gizi sering diidentifikasi lewat pengukuran anthropometric yaitu berat dan tinggi/panjang badan yang sejalan dengan umur anak. Jika terdapat kasus bahwa berat badan balita dengan umur tertentu lebih rendah dari rata-rata seusianya maka si balita akan disebut kurus (wasting). Di Indonesia persoalan balita kurus merupakan masalah malnutrisi yang bisa disembuhkan dengan memberikan asupan makanan yang bergizi dan cukup. Adapun jika panjang/tinggi balita dengan usia tertentu lebih pendek dari rata-rata maka ia akan berpotensi mengalami stunting. Di Indonesia masalah balita pendek merupakan isu yang baru dikenal dalam dua dekade terakhir. Karena itu, sebagai sebuah konsep tentang malnutrisi, stunting juga kerap disalahpahami oleh sebagian penduduk.[9]

Salah satu akselerator terpenting dari isu stunting adalah gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) yang diluncurkan WHO pada tahun 2010. Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan akses ibu dan balita pada pangan dan gizi.[10] Indonesia sendiri ikut dalam gerakan ini pada tahun 2011. Salah satu kampanye dari gerakan ini adalah pemenuhan gizi pada Seribu Hari Pertama Kehidupan (1.000 HPK). Pemerintah Indonesia pun mengadopsi hal tersebut sebagai gerakan nasional.[11] Akan tetapi ketika hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 muncul, data menunjukkan bahwa kasus stunting di Indonesia malah meningkat. Hal ini kemudian membuat 1000 HPK dimasukkan dalam program prioritas nasional.

Kalau kita lihat dari sudut yang lain, gerakan ini tampak berpretensi untuk memonitor dan mengevaluasi perkembangan anak di seluruh dunia melalui suatu standard yang dianggap universal. Namun kita tahu kalau struktur anthropometric tiap ras bangsa di dunia ini tidaklah sama. Misalnya soal postur tubuh, bangsa Eropa relatif lebih besar dan tinggi dibandingkan dengan bangsa Asia. Dari situ kita perlu melihat lebih jauh tentang bagaimana standard pertumbuhan linier anak itu diformulasikan.

Standard Perkembangan Linier Anak

Sekitar akhir era 90an, sekelompok peneliti yang terdiri dari ahli biologi dan statistik mencoba untuk membuat formula atau standar anthropometrik untuk anak yang tumbuh dengan optimal. Kelompok ini tergabung dalam Multicentre Growth Reference Study (MGRS) yaitu lembaga riset milik WHO yang bertugas untuk meneliti kondisi anak sehat yang mampu merealisasikan potensi pertumbuhan genetik mereka dengan penuh. Untuk mencapai tujuan ini, mereka kemudian menerapkan suatu skema penelitian yang sangat ketat untuk mengetahui rekaman anthropometric anak.[12]

Dalam pemilihan sampel penelitian, mereka memilih anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak merokok dan berasal dari rumah tangga yang memiliki hambatan pertumbuhan minimal. Latarbelakang keluarga yang sehat dan sejahtera ini diasumsikan akan membantu tingkat akurasi anak yang berkembang secara maksimal. Disamping itu, mereka juga mengambil sumber sampel dari enam negara yaitu Brazil, Ghana, India, Norwegia, Oman and Amerika untuk mengurangi variasi pertumbuhan linier anak antar negara.[13] Pemilihan sumber sampel yang demikian ini didasarkan pada pertimbangan perbedaan etnik (ras), variabel genetik serta budaya mengasuh anak. Meskipun demikian, kita dapat mengajukan kritik bahwa sumber sampel dari negara lain mungkin memiliki perbedaan pola perkembangan linier anak yang cukup signifikan.

Berdasarkan data hasil survey, Mercedes de Onis mengatakan bahwa kemiripan pertumbuhan pada balita di seluruh populasi manusia konsisten dengan perbandingan genetik diantara kelompok sosial yang memiliki tingkat homogenitas yang tinggi.[14] Dengan kata lain anak yang lahir dan tumbuh sehat diseluruh dunia memiliki karakteristik yang mirip dan tercermin dari pertumbuhan linier angka anthropometric. Dari situ standar anthropometric balita sehat yang dibuat oleh MGRS dipandang dapat berlaku diseluruh dunia.

Apa yang menarik dari standar anthropometric ini adalah perbedaan antara baduta laki-laki dan baduta perempuan. Angka pertumbuhan linier panjang tubuh baduta perempuan berbeda 0,8 sampai 1,4 cm di bawah pertumbuhan panjang tubuh baduta laki-laki. Tapi saat berusia lima tahun perbedaan ini mengecil menjadi 0,7 cm. Di samping itu menurut standard ini bayi perempuan yang lahir sehat memiliki panjang tubuh 49,1 cm. Sedangkan untuk bayi laki-laki yang baru lahir dan dikatakan sehat memiliki panjang tubuh 49,9 cm. Jika bayi tersebut berada di bawah -2 standard deviasi (SD) maka bayi itu mengalami stunting yang mana untuk bayi laki-laki panjang tubuh 46,1 cm dan bayi perempuan 45,4 cm.

Standar pertumbuhan linier WHO tersebut kemudian diadopsi oleh kementerian kesehatan untuk mengukur prevalensi stunting di Indonesia. Akan tetapi standard yang berlaku di Indonesia lebih sederhana yang mana perbedaan pertumbuhan linear antara anak laki-laki dan perempuan ditiadakan.[15] Sebagai konsekuensi, angka prevalensi stunting di Indonesia menjadi relatif lebih tinggi. Disamping itu standard deviasi untuk kategori stunting juga bersifat absolut yang mana bayi yang lahir dengan panjang tubuh kurang atau sama dengan 48 cm disebut sebagai stunting. Dalam tahap perkembangan linier anak, tidak jalas apakah ambang batas stunting di Indonesia sepenuhnya mengikuti standar WHO atau menerapkan standar baru. Hal ini akan berpengaruh pada penerapan di lapangan yang menghasilkan angka prevalensi stunting

Stunting dan Stunned

Sebagai sebuah kondisi, malnutrisi pada anak dalam jangka waktu tertentu akan berakibat pada pertumbuhan yang kurang optimal. Adapun usia yang paling krusial untuk tumbuh kembang anak adalah di bawah lima tahun (balita). Menurut data tumbuh kembang anak, rentang anak dengan usia 0-24 bulan memiliki rata-rata pertumbuhan panjang tubuh mencapai 1,5 cm per bulan. Untuk usia 25-59 bulan rata-rata pertumbuhannya hanya 0,6 cm per bulan. Dengan demikian tidak mengherankan apabila anak baduta yang kekurangan gizi atau terkena infeksi penyakit dalam waktu yang relatif panjang akan berakibat pada pertumbuhan anak yang tidak optimal. Dengan kata lain anak tersebut berpotensi mengalami stunting jika tidak segera ditangani.

Dari situ kita perlu membedakan penggunaan istilah stunting dan stunned. Kalau stunting merujuk pada kondisi malnutrisi yang terjadi pada usia emas tumbuh kembang anak yaitu antara 0 sampai 59 bulan. Pada kasus stunting satu-satunya treatment yang bisa dilakukan adalah mencegah dan sangat sulit untuk dipulihkan. Yang menjadi kekhawatiran para ahli nutrisi adalah stunting atau kekurangan gizi akut tidak hanya akan berdampak pada kondisi fisiologis tetapi juga perkembangan mental kognitif.[16] Adapun stunned adalah kondisi anak bertubuh pendek karena riwayat gizi yang buruk dalam jangka waktu yang lama.


[1] Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional and Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, ‘Visi Indonesia 2045’ (presented at the Orasi Ilmiah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Jakarta, 2017).

[2] Indikator Kesejahteraan Rakyat 2022, ed. by Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik, 51 (BPS, 2022).

[3] Elan Satriawan, ‘Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024’, Jakata: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), 2018.

[4] Irianton Aritonang and Endah Priharsiwi, Busung Lapar: Potret Buram Anak Indonesia Di Era Otonomi Daerah (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006).

[5] SL Leimena, ‘Posyandu: A Community Based Vehicle to Improve Child Survival and Development’, Asia Pacific Journal of Public Health, 3.4 (1989), 264–67.

[6]  Tim Surkesnas, Survei Kesehatan Nasional 2001 (Jakarta, 2001).

[7] Geok Lin Khor, ‘Update on the Prevalence of Malnutrition among Children in Asia’, Nepal Med College Journal, 5.2 (2003), 113–22.

[8] Ana Lydia Sawaya and others, ‘Long-Term Effects of Early Malnutrition on Body Weight Regulation’, Nutrition Reviews, 62.2 (2004), S127–33.

[9] Lihat https://cegahstunting.id/stunting/

[10] Untuk lebih lengkap lihat dalam lawan berikut https://scalingupnutrition.org/

[11] ‘Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi’ (Pemerintah Pusat, 2013).

[12] Mercedes De Onis, Cutberto Garza, and others, ‘The WHO Multicentre Growth Reference Study: Planning, Study Design, and Methodology’, Food and Nutrition Bulletin, 25.1 (2004), S15–26.

[13] WHO Multicentre Growth Reference Study Group and Mercedes de Onis, ‘Assessment of Differences in Linear Growth among Populations in the WHO Multicentre Growth Reference Study’, Acta Paediatrica, 95 (2006), 56–65.

[14] Mercedes De Onis, Adelheid W Onyango, and others, ‘Measurement and Standardization Protocols for Anthropometry Used in the Construction of a New International Growth Reference’, Food and Nutrition Bulletin, 25.1 (2004), S27–36.

[15] Trihono Trihono and others, Pendek (Stunting) Di Indonesia, Masalah Dan Solusinya (Lembaga Penerbit Badan Litbangkes, 2015).

[16] Benjamin T Crookston and others, ‘Impact of Early and Concurrent Stunting on Cognition’, Maternal & Child Nutrition, 7.4 (2011), 397–409.