Oleh: Agus S Efendi

Dalam Preambul Konvensi Hak-hak Anak (CRC) disebutkan bahwa anak, dengan alasan keterbatasan fisik dan mental yang belum dewasa, butuh perlindungan dan pelayanan khusus termasuk di dalamnya perlindungan secara legal, baik sebelum ataupun setelah ia lahir. Gagasan tentang perlindungan anak ini secara eksplisit bertujuan untuk menyiapkan anak agar memiliki suatu kehidupan individual di masyarakat dengan landasan nilai-nilai modernitas seperti perdamaian, martabat, toleransi, bebas, setara dan solidaritas.[1] Dengan kata lain CRC memuat visi untuk mengintegrasikan persoalan anak dalam diskursus yang bernama projek modernitas.

Projek modernitas lahir dari optimisme para pemikir abad pencerahan dalam menciptakan tatanan sosial yang lebih adil.[2] Oleh karenanya projek ini sering menjadikan negara-negara berkembang sebagai objek sasaran karena dipandang masih kurang mengakui hak-hak dasar warga. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana norma baru ini dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang plural dan kaya dengan tradisi komunal? Pertanyaan itu baru dapat dijawab secara memadai ketika kita melihat sejarah perkembangan hukum di Indonesia.

Sejarah Hukum Perlindungan Anak di Indonesia

Pada masa pemerintah kolonial Belanda, dualisme hukum diterapkan untuk memfasilitasi kepentingan orang Belanda di sektor-sektor modern dan untuk mengakomodasi otonomi hukum adat masyarakat tradisional.[3] Pola ini rupanya tetap dipertahankan setelah Indonesia merdeka yang mana daya jangkau pemerintahan modern di dalam masyarakat masih lemah. Sebagai konsekuensi aturan hukum formal sering tidak berjalan efektif karena dalam kenyataan masyarakat yang lebih berlaku adalah aturan informal atau norma adat.

Pada babak berikutnya, struktur hukum di Indonesia tidak hanya memuat nilai-nilai universal modern tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat, khususnya norma agama. Inilah yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang menganut asas pluralitas hukum.[4]

UU Perkawinan tahun 1974 adalah produk pluralitas hukum yang paling menarik. Di sana tercantum bahwa perkawinan yang didasarkan pada norma adat/agama diakui keabsahannya. Namun yang jelas pernikahan itu secara administratif masih harus dilaporkan kepada negara. Tentu kita tahu kalau undang-undang ini disahkan pada era rezim Orde Baru yang militeristik dan oleh karenanya mengandung corak patriarki yang kental. Hal ini tampak dari konstruksi peran suami dalam undang-undang tersebut yang diasumsikan dan diakui sebagai kepala rumah tangga. Sebaliknya istri hanya direpresentasikan sebagai ibu rumah tangga atau, lebih baik, sebagai manager rumah tangga. Dengan kata lain peran suami lebih dominan daripada istri.[5]

Undang-undang ini juga menjadi dokumen penting tentang isu perlindungan anak. Ada pasal yang menyebutkan bahwa batas minimal usia pernikahan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Sebenarnya persoalan ambang batas menikah ini telah diwacanakan sejak awal kemerdekaan oleh gerakan perempuan. Kowani (Kongres Wanita Indonesia) yang menjadi payung besar gerakan perempuan pernah mengusulkan bahwa usia ideal menikah untuk perempuan adalah 18 tahun dan laki-laki adalah 21 tahun.[6] Namun sayangnya usulan ini banyak ditentang oleh kelompok konservatif agama yang cukup berpengaruh di parlemen.[7]

Di era 90an, Indonesia telah menyaksikan gelombang kebangkitan LSM yang salah satu isunya adalah soal perempuan.[8] Beberapa tokoh intelektual publik pun menyoroti isu ini dengan menekankan pengakuan hak-hak perempuan dan keadilan gender. Misalnya adalah Masdar F Mas’udi yang mewacanakan hak reproduksi wanita. Di era ini, pusat kajian wanita juga mulai berkembang dan ikut meramaikan diskursus publik. Kendati demikian, masih sedikit orang yang menyuarakan perlindungan hak-hak anak.

Pada masa reformasi, gerakan-gerakan perempuan baik yang beraliran sekuler maupun religius tampak lebih fokus pada isu perlindungan anak. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang menimpa Indonesia tahun 1997-1998. Dampak dari krisis itu rupanya telah membuat banyak anak-anak Indonesia putus sekolah, terpaksa bekerja membantu keluarga, menjadi korban kekerasan dan yang paling buruk menjadi objek eksploitasi.[9] Masalah ini kemudian mengemuka dalam diskursus publik dan menjadi bahan pembahasan DPR. Pada akhirnya DPR pun mengeluarkan produk hukum yang bernama Undang-undang Perlindungan anak yang disahkan pada tahun 2002.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, dekade pertama abad 21 telah menawarkan kebebasan politik yang sangat besar.[10] Aspirasi politik yang bermacam-macam bentuknya dapat mengemuka dalam ruang publik dan mewarnai dinamika politik nasional. Salah satunya adalah aspirasi untuk merevisi usia minimal pernikahan bagi perempuan. Para pendukung aspirasi ini berpendapat bahwa aturan batas usia minimal kawin bagi perempuan yaitu 16 tahun secara tidak langsung telah membuat banyak anak perempuan Indonesia tertinggal, putus sekolah dan dihadang peran publiknya. Mereka berpandangan kalau anak perempuan seharusnya diberikan kesempatan yang sama. Bagi mereka, ini adalah persoalan ketimpangan gender yang musti didekonstruksi.

Upaya tersebut baru membuahkan hasil pada tahun 2019 ketika UU perkawinan direvisi oleh DPR yang mana batas minimal usia kawin untuk perempuan adalah 19 tahun. Yang menarik, dalam undang-undang ini dicantumkan juga mekanisme pengajuan dispensasi pernikahan yang ketat dan harus mempertimbangkan pernyataan dari pasangan anak yang akan menikah. Namun kita harus mengakui bahwa adanya aturan tersebut ternyata masih belum bisa mencegah praktik kawin anak di beberapa wilayah Indonesia.

Praktik Kawin Anak di Indonesia

Kita tahu bahwa penetapan batas minimal usia kawin tidak lain diambil berdasarkan pertimbangan kematangan jiwa dan raga calon pengantin yang diharapkan akan mampu mewujutkan perkawinan yang baik dan mendapatkan keturunan yang sehat dan berkualitas.[11] Meskipun argumentasi ini tampak benar, kita perlu memahami kalau setiap anak yang akan menikah memiliki trajektori pengalaman yang unik. Artinya mereka memiliki tantangan perkawinannya sendiri-sendiri yang dibentuk baik oleh kondisi socio-kultural maupun struktural dimana mereka tumbuh.

Data survey terbaru menunjukkan bahwa satu dari delapan anak Indonesia kawin di usia kurang dari 18 tahun. Adapun provinsi di Indonesia yang paling besar prosentase kasus perkawinan anaknya adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Barat. Jika dilihat dari penyumbang kasus kawin anak terbanyak bertutur-turut adalah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.[12] Fakta ini kemudian mendorong para peneliti untuk memahami mengapa kawin anak terjadi, bagaimana praktik kawin anak di daerah-daerah itu dan apa saja faktor-faktor yang memicunya.

Dari segi legal memang kawin anak kerap dipandang hanya sebagai persoalan perdata. Namun praktik kawin anak dapat menjadi kasus pidana apabila terdapat unsur-unsur kekerasan di dalamnya. Sampai saat ini kasus kawin anak yang diproses secara pidana masih terbilang sedikit. Hal ini mungkin disebabkan pemahaman tentang kekerasan yang masih minim dan sulitnya proses pembuktian kekerasan dalam hukum.

Hasil penelitian antropologis menunjukkan bahwa di beberapa wilayah Indonesia praktik kawin anak cenderung tidak dipandang negatif. Hal ini mengafirmasi pendapat bahwa realitas masyarakat Indonesia relatif belum beranjak norma tradisional dan menerima sepenuhnya norma-norma kewargaan. Atas dasar inilah kita dapat memahami mengapa aturan batas minimal usia kawin masih sering dilanggar. Salah satu jenis pelanggaran yang paling umum adalah dengan tidak segera mendaftarkan pernikahan ke KUA. Selain itu, fenomena aparatus negara di tingkat lokal yang menyalahgunakan wewenangnya untuk memanipulasi data usia anak agar perkawinan pasangan anak sah secara hukum juga masih sering kita dengar. Bahkan di tingkat prosedur hukum, 90 persen pengajuan dispensasi nikah telah dikabulkan oleh pengadilan agama.[13]

Penelitian Lies Marcoes tentang praktik kawin anak di lima wilayah di Indonesia menyimpulkan bahwa sebagian besar kasus kawin anak lebih disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan.[14] Dari situ kita tahu bahwa kasus kawin anak pertama-tama lebih dipengaruhi oleh pola hubungan seksual remaja bukan pada perjodohan yang dipaksakan oleh keluarga. Tentu kita harus ingat kalau dalam tradisi masyarakat komunal ketika seorang anak perempuan hamil di luar nikah maka orang tua cenderung akan menikahkan anaknya. Alasannya adalah selain untuk menjaga kehormatan keluarga juga untuk memastikan masa depan anak perempuan dengan bayi yang dikandungnya aman baik secara legal maupun sosial. Akan tetapi Lies Marcoes menekankan, pasangan yang melakukan kawin anak cenderung lebih rentan untuk cerai karena tidak siap secara mental dan finansial.

Dalam studinya atas masyarakat adat di Lombok, Maria Platt menunjukkan suatu fakta yang menarik tentang praktik kawin anak. Ia menemukan bahwa pasangan remaja akan melakukan kawin lari jika orang tua mereka tidak segera menikahkan meskipun mereka belum cukup umur. Ini adalah strategi para remaja sasak agar terkena norma adat yang mana ketika anak perempuan tidak pulang ke rumah dan menginap bersama pasangannya maka orang tua harus menikahkan mereka.[15] Dari kasus ini kita memahami kalau kawin anak bisa disebabkan oleh inisiatif dari pasangan remaja yang memanfaatkan norma adat sebagai jalannya.

Praktik kawin anak di Bali juga menunjukkan hal senada. Perubahan landscape kebudayaan di Bali yang disebabkan oleh industrialisasi pariwisata dan globalisasi telah menggeser norma relasi seksual diantara para remaja. Studi etnografis Hoko Horii menunjukkan hal itu dengan sangat jelas. Ia menggarisbawahi bahwa kawin anak merupakan solusi bagi para remaja Bali yang telah termodernisasi. Solusi ini hadir di tengah ambruknya tabu berhubungan seksual diantara para remaja perkotaan.[16] Dengan kata lain moralitas seksual remaja telah bergeser menjadi lebih liberal. Hal ini lantas membuat kasus remaja hamil dan aborsi naik dengan signifikan.

Sampai sini kita perlu mempertimbangkan kritik Houri tentang kecenderungan paternalistik dalam diskursus perlindungan anak. Ia berargumen bahwa praktik kawin anak tidak hanya didorong oleh norma tradisional tetapi juga merupakan inisiasi atau bahkan pilihan yang diambil oleh para remaja itu sendiri.[17]

Kendati demikian, pemahaman kita tentang kasus kawin anak menjadi lebih memadai apabila kita mengenal tiga bentuk pernikahan yaitu; perjodohan (arranged marriage), nikah karena cinta (love marriage), dan pemaksaan nikah (coerced marriage). Dari ketiga bentuk pernikahan itu yang dilarang oleh undang-undang adalah yang terakhir. Namun, dalam praktik kawin anak mungkin saja ketiga hal tersebut dapat muncul secara bergantian. Inilah tantangan terbesar dalam upaya memberikan perlindungan terhadap anak dan remaja.

Program Perlindungan Anak

Sejauh ini, upaya perlindungan anak di luar jalur legal dilakukan dengan cara membuat program-program sosial. Prosedur intervensi dalam program perlindungan anak biasanya menyasar kelompok-kelompok target yang dipandang berperan penting seperti keluarga, sekolah, komunitas remaja dan pemerintah daerah supaya memiliki kesadaran tentang hak-hak anak. Program yang seperti ini telah lama dilakukan oleh UNCEF yang memiliki visi untuk menjaga anak-anak agar aman dari kekerasan, penelantaran dan eksploitasi.

Tidak hanya di Indonesia saja, upaya mencegah perkawinan anak juga dilakukan di negara-negara berkembang yang lain tetapi tidak di negara-negara maju. Program pencegahan kawin anak ini perlu suatu pendekatan tertentu untuk bisa dikatakan berhasil. Para peneliti program intervensi sosial telah mengidentifikasi lima pendekatan yang sering digunakan dalam mencegah perkawinan anak.[18] Pertama, memberdayakan perempuan dengan informasi, skill dan jaringan bantuan. Kedua, mengedukasi dan memobilisasi para orang beserta anggota komunitas. Ketiga, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal untuk para remaja perempuan. Keempat, Memberikan bantuan ekonomi dan insentif untuk para remaja perempuan dan keluarga mereka. Terakhir, Menguatkan kerangka hukum dan kebijakan yang inklusif.

Setiap pendekatan tersebut sudah tentu memiliki keterbatasan ketika diimplementasikan dalam realitas masyarakat. Tapi, paling tidak dengan mengetahui hal tersebut kita akan dapat merumuskan pendekatan apa yang cocok dan sesuai dalam praktik kawin anak di suatu wilayah tertentu.


[1] Unicef, ‘Convention on the Rights of the Child’, 1989.

[2] Jürgen Habermas, ‘Modernity — an Incomplete Project’, in The Anti Aesthetic: Essay on Postmodern Culture, ed. by Hal Foster (Seattle: Bay Press, 1983), pp. 2–15.

[3] J.H. Boeke, Economics and Economic Policy of Dual Societies, as Exemplified by Indonesia (New York: International Secretariat, Institute of Pacific Relations, 1953).

[4] Ratno Lukito, Legal Pluralism in Indonesia: Bridging the Unbridgeable (Routledge, 2012).

[5] Agus Hermanto, ‘Rekontruksi Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia Dan Keadilan Gender’ (UIN Raden Intan Lampung, 2018).

[6] Susan Blackburn and Sharon Bessell, ‘Marriageable Age: Political Debates on Early Marriage in Twentieth-Century Indonesia’, Indonesia, 63, 1997, 107–41.

[7] Susan Blackburn, Women and the State in Modern Indonesia (Cambridge University Press, 2004).

[8] Women in Indonesia: Gender, Equity and Development, ed. by Kathryn May Robinson and Sharon Bessell (Singa: ISEAS, 2002), viii.

[9] Chris Manning, ‘The Economic Crisis and Child Labor in Indonesia’, ILO/IPEC Working Paper, 80 (2000).

[10] Marco Bünte and Andreas Ufen, Democratization in Post-Suharto Indonesia (Routledge, 2009).

[11] Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

[12] BPS, Pencegahan Perkawinan Anak, Percepatan Yang Tidak Bisa Ditunda (Jakarta, 2020).

[13] Mies Grijns and Hoko Horii, ‘Child Marriage in a Village in West Java (Indonesia): Compromises between Legal Obligations and Religious Concerns’, Asian Journal of Law and Society, 5.2 (2018), 453–66.

[14] Lies Marcoes and Fadilla Dwianti Putri, ‘Kesaksian Pengantin Bocah’, Jakarta: Rumah Kitab Kerjasama Ford Foundation, 2016.

[15] Maria Platt, Marriage, Gender and Islam in Indonesia: Women Negotiating Informal Marriage, Divorce and Desire (Routledge, 2017).

[16] Hoko Horii, ‘Child Marriage as a ‘Solution’to Modern Youth in Bali’, Progress in Development Studies, 20.4 (2020), 282–95.

[17] Hoko Horii, ‘Child Marriage as a Choice: Rethinking Agency in International Human Rights’ (Leiden University, 2020).

[18] Susan Lee‐Rife and others, ‘What Works to Prevent Child Marriage: A Review of the Evidence’, Studies in Family Planning, 43.4 (2012), 287–303.