Penulis: Agus S Efendi
Buruh adalah nama kelas sosial yang terbentuk dari proses industrialisasi. Industri sendiri merupakan suatu mekanisme peningkatan produktivitas serta sarana akumulasi kapital. Di mana terdapat konsentrasi kapital di situ buruh berperan menciptakan apa yang disebut Karl Mark sebagai nilai lebih yang melekat pada komoditas.
Di negeri kita ini, minyak kelapa sawit telah menjadi komoditas unggulan pasar global. Ekspor minyak kepala sawit menghasilkan devisa negara yang mencapai ratusan triliun tiap tahunnya. Dengan kata lain industri perkebunan sawit merupakan salah satu sektor strategis dalam perekonomian Indonesia. Dari situ ekspansi perkebunan sawit sama artinya dengan menjadikan industri sawit lebih besar dan kuat.
Namun pada kenyataannya industri sawit di Indonesia jauh dari kata inklusif. Hal ini tampak dari kesenjangan antara pengusaha perkebunan dengan buruh pekerja sawit. Sebagai catatan, yang dimaksud pengusaha perkebunan di sini adalah mereka yang memiliki lahan lebih dari 25 hektar dan yang kurang dari itu lebih tepat disebut petani sawit. Sedangkan buruh adalah orang yang menjual tenaganya dalam proses produksi sawit.
Sejauh ini level kapasitas produksi dalam industri sawit belum diinventarisir dengan baik. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau pemerintah kesulitan menerapkan aturan tentang pengelolaan sawit. Misalnya adalah aturan tentang tenaga kerja.
Secara umum pekerja di perkebunan sawit berstatus sebagai buruh harian lepas (BLH). Buruh sawit ini hanya menerima upah harian dari jenis-jenis pekerjaan seperti menanam, memupuk, menyemprot, merambet dan memanen buah. Mereka bukanlah pegawai yang menerima gaji secara reguler, yang beban tugasnya jelas, memiliki hak cuti serta mendapat jaminan hidup. Jika seorang buruh tidak bekerja sesuai target harian maka ia tidak akan mendapat upah penuh. Dengan demikian, bagi pengusaha/perusahaan perkebunan sawit, satu-satu kepentingan bisnis yang paling diutamakan adalah meningkatkan keuntungan bukan yang lain. Pola relasi yang seperti ini menunjukkan bahwa industri sawit bersifat ekstraktif.
Dari situ kita dapat memahami bahwa industri sawit berkembang pesat tanpa disertai oleh sistem pengelolaan yang baik. Achmad Surambo (Direktur Sawit Watch) menilai bahwa pengembangan industri sawit malah melahirkan praktik informalisasi hubungan kerja. Bagaimana mungkin industri yang mengelola 17 juta hektar lahan (setara dengan 1,5 kali luas pulau Jawa) dan menghasilkan pendapatan tahunan ratusan triliun tapi tidak mampu mengakui buruh sawit secara formal sebagai bagian dari usaha bisnis.
Pada tahun 2023, Litbang kompas menemukan bahwa tiga permasalahan utama buruh di perkebunan sawit adalah sistem pengupahan, kesejahteraan dan keselamatan kerja. Inilah yang menjadi alasan mengapa transisi pengelolaan sawit yang berkeadilan penting untuk didukung.
Upaya transisi tersebut tentu akan memiliki dampak yang signifikan ketika melibatkan buruh perempuan di perkebunan sawit. Selama ini buruh sawit perempuan menanggung beban ganda karena disamping mengurus tugas domestik, mereka juga harus bekerja untuk menambal kebutuhan keluarga. Dalam industri perkebunan sawit, buruh perempuan cenderung mengerjakan pekerjaan-pekerjaan perawatan. Yang dimaksud pekerjaan perawatan adalah pekerjaan yang fokus menjaga pohon sawit tetap sehat dan produktif. Misalnya dengan melakukan pemupukan dan penyemprotan pestisida.
Dua jenis pekerjaan ini memang tidak seberat memanen yang dilakukan oleh buruh laki-laki. Akan tetapi risiko kesehatan ketika melakukan penyemprotan pestisida jauh lebih tinggi. Apalagi para buruh perempuan sawit tidak dibekali dengan peralatan yang memadai seperti masker dan baju khusus. Karena itu mereka rentan mengalami masalah kesehatan.
Ironisnya, ketika mereka sakit merekalah yang menanggung biaya perawatannya sendiri. Pengusaha/perusahaan enggan menanggung biaya kesehatan dan keselamatan pekerja. Dengan upah rata-rata harian yang hanya Rp 75.000 tentu mengakses layanan kesehatan untuk berobat adalah tindakan yang membutuhkan banyak perhitungan. Pada akhirnya, tidak sedikit buruh sawit perempuan yang mengalami infeksi dan mengidap berbagai penyakit kronis.
Di area perkebunan sawit, keluarga pekerja cenderung memiliki kehidupan yang lebih baik saat memiliki lahan yang bisa diandalkan. Dengan lahan mereka bisa menanam tanaman pangan dan sayur. Hal ini relatif akan menjamin kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Bagi keluarga yang tidak memiliki lahan, kebutuhan pokok baru akan terpenuhi jika memiliki uang. Artinya mereka harus beli. Ini mendorong mereka untuk bekerja di perkebunan sawit. Menjadi buruh sawit adalah satu-satunya pilihan yang tersedia dalam menghasilkan uang.
Dalam kondisi demikian, saat perusahaan menyodorkan beban kerja yang berat serta berisiko namun dengan upah yang kurang layak mereka tetap mau menerima demi menghidupi keluarga. Apabila upah suami tidak cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, maka istri yang akan didorong untuk menutupi dengan menjadi buruh sawit perempuan.
Jika kita menggunakan perspektif gender, mungkin benar kalau buruh perempuan sawit kerap dimarginalkan oleh norma patriarki. Buruh perempuan sawit dianggap kurang berkontribusi pada penciptaan nilai dalam proses produksi. Artinya kerja-kerja perawatan seperti memupuk dan menyemprot pestisida dihargai lebih murah daripada kerja-kerja yang lain di industri sawit. Ini lantas menimbulkan ketimpangan upah antara buruh laki-laki dan buruh perempuan.
Permasalahan yang dihadapi buruh sawit perempuan di atas harus diurai melalui perjuangan dalam mengakui hak-hak pekerja dan peningkatan kesejahteraan. Aspirasi politik kaum buruh di perkebunan sawit, khususnya buruh sawit perempuan perlu untuk terus disuarakan dalam ruang-ruang perbincangan publik. Melalui wacana transisi sawit yang berkeadilan, kita membangun narasi bersama guna mengubah arah kebijakan industri sawit di Indonesia.