Penulis : Rindang Farihah
Editor : Tim Pusdeka
Lembata merupakan kabupaten baru, berasal dari pemekaran wilayah Flores Timur. Kabupaten Lembata yang terletak di Pulau Lembata ini diresmikan pada tahun 1999 oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur. Memiliki ibu kota bernama Lewoleba, nama sebuah kelurahan yang berada di kecamatan Nubatukan. Berdasarkan data statistik, persebaran populasi penduduknya sekitar 100 jiwa/km2. Landskap pegunungan dan laut membuat pulau ini sangat indah sebagaimana kepulauan di wilayah Flores lainnya.
Masyarakat Lembata dikenal dengan tradisi perburuan ikan paus. Tradisi perburuan ikan paus bisa dilihat dari koleksi dan tertuang dalam karya seni masyarakat Lembata. salahsatunya tertuang dalam corak/motif kain tenun khas Lembata. Wilayah Lembata yang berupa sebuah pulau dengan garis pantai yang panjang membuat masyarakat Lambada terkenal sebagai masyarakat nelayan. Pada musim tertentu mereka berburu ikan tuna, sehingga kegiatan mencari ikan melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lembata.
Di Lembata hidup beberapa suku, diantaranya suku Kedang dan suku Bajo. Sebagian besar penduduk Lambata menganut agama Kristen. Adapun penganut agama Islam merupakan minoritas di daerah tersebut. Di Lembata terdapat satu area yang menjadi tempat tinggal mantan warga Timor-Timor (sekarang bernama Timor Leste) yang beragama Islam. Di area penampungan mantan warga Timor-Timor tersebut terdapat bangunan masjid yang digunakan sebagai pusat kegiatan warga Muslim Timor-Timor. Di lokasi itu pula lah kegiatan fatayat NU dilakukan.
Salah satu fakta yang penting untuk diperhatikan di Lambada adalah angka perkawinan anak yang cukup tinggi. Hal ini terjadi karena beberapa persoalan seperti budaya kesukuan dan patriarki yang kuat serta masih minimnya akses informasi dan pendidikan. Kita ambil contoh suku Bajo. Orang-orang Bajo memiliki pandangan bahwa setiap anak yang sudah mampu menghasilkan uang sendiri maka dia diperbolehkan untuk menikah. Maka yang terjadi adalah banyak anak yang memutuskan menikah ketika merasa bisa mencari uang sendiri.
Fenomena tersebut muncul dalam suatu kondisi ekonomi di Lembata. Sebagai contoh, para nelayan yang melaut untuk menangkap ikan bisa menghasilkan uang sebesar 500 ribu sampai 1 juta per hari. Bahkan ketika musim ikan tuna datang mereka bisa menghasilkan uang belasan juta dalam sehari. Sehingga anak laki-laki yang berusia 13 tahun bisa menikah asalkan mampu ikut mencari ikan atau memiliki penghasilan sendiri. Meski demikian uang yang dapatkan dari melaut cepat habis dikarenakan tidak memiliki keterampilan mengelola keuangan. Oleh karena itu, apa yang mereka butuhkan tidak lain adalah pengetahuan tentang literasi keuangan.
Selain perkawinan anak ternyata angka kematian ibu dan bayi di Lambata juga tinggi. Hal ini mengindikasikan kerentanan lain seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga dan stunting pada balita. Sedangkan angka perceraian terbilang rendah karena masih kuatnya budaya lokal yang menjadi pegangan mereka, khususnya norma tentang mencegah terjadinya perceraian.
Budaya masyarakat Lambata yang masih kental justru berdampak negatif terhadap keselamatan ibu dan bayi. Ambil contoh budaya suku Kedang. Perempuan suku Kedang yang hamil tidak memiliki hak mengambil keputusan untuk kebaikan dirinya maupun bayinya. Dalam tradisi suku Kedang, waktu yang tepat untuk melahirkan harus menunggu keputusan keluarga setelah melakukan upacara ritual persiapan melahirkan. Dokter yang bertugas pun tidak berani melakukan penanganan medis ketika ritual masih berlangsung. Padahal jika seorang perempuan mengalami kehamilan bermasalah ia harus segera dibawa ke Rumah Sakit. Ritual tersebut tentu selain hanya akan memperlama si ibu menahan rasa sakit akibat kontraksi juga beresiko tinggi pada keselamatan ibu dan bayi yang pada terlambat mendapatkan penanganan medis.
Praktek budaya patriarki yang masih kuat juga terlihat dari bagaimana masyarakat menempatkan perempuan di wilayah domestik. Di Lembata masih terdapat praktek menantu perempuan harus melayani seluruh penghuni rumah, utamanya suami dan mertua. Setiap hari perempuan harus menyajikan makanan untuk keluarga. Namun perempuan tidak berhak makan dalam satu meja bersama suami dan mertua. Para perempuan hanya diperbolehkan makan dengan makanan sisa dan ketika yang lain sudah makan.
Remaja adalah kelompok usia yang paling dinamis di Lembata. Mereka tengah menghadapi berbagai tantangan dan problematika sosial yang salah satunya bernama budaya mabuk. Budaya mabuk sendiri merupakan praktek yang biasa, sebagaimana masyarakat Flores pada umumnya. Mereka rela merogoh kocek jutaan rupiah demi pesta tuak/arak. Tuak atau arak sendiri dihasilkan dari pohon lontar. pohon lontar adalah satu dari sekian pohon yang tumbuh subur di kepulauan ini. Sangat mudah bagi kita menemukan keberadaan pohon lontar. Selain untuk perabotan rumah, atap dan produksi kerajinan tangan lainnya, lontar juga menghasilkan air nira yang dapat diolah menjadi gula merah.
Tantangan dan problematika remaja lainnya adalah tawuran, pergaulan bebas, perkawinan dini, narkoba, bunuh diri dan seterusnya. Kasus bunuh diri di kalangan remaja Lembata termasuk baru. Jika sebelumnya masyarakat Lambata melihat praktek bunuh diri ini hanya melalui media massa, namun sekarang kasus bunuh diri nyata terjadi di depan mata. Pada tahun 2024, kasus bunuh diri remaja yang ada di Lambata ada empat kasus dengan penyebab bunuh diri berbeda-beda. Satu kasus bunuh diri dilakukan remaja perempuan. Penyebabnya ia tidak tahan digosipkan hamil. Padahal remaja ini termasuk berprestasi di sekolahnya. Hasil visum pun menyebutkan bahwa korban tidak hamil. Kasus bunuh diri yang lain disebabkan putus cinta, dan ada juga yang malu karena beberapa kali dimarahi orangtuanya di depan umum (dihadapan teman-temannya).
Semua persoalan di Lambata tersebut harus dilihat dalam kerangka struktur sosial-ekonomi. Data Susenas tahun 2024 menyebutkan bahwa kemiskinan di Lembata mencapai 24,22 persen. Lembata sendiri masuk dalam kategori wilayah 3T. Untuk menjangkau ke wilayah tersebut hanya bisa dilalui dua moda transportasi menuju pulau tersebut, yaitu kapal laut dan pesawat udara. Namun, pada saat yang bersamaan Lambata memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Lantas, apa yang harus dilakukan masyarakat Lembata agar bisa lebih maju dan sejahtera?
Salah satu jawaban yang mungkin adalah mengeliminir persoalan kemasyarakatan seperti kasus tindakan bunuh diri, perkawinan anak dan kemiskinan. Itulah alasan mengapa program-program yang menyasar anak muda atau remaja penting untuk dilakukan. Misalnya adalah pengetahuan kesehatan mental, bimbingan perkawinan dan bimbingan remaja lainnya.
Referensi:
- Profil Kemiskinan Kabupaten Lembata, Maret 2024 – Badan Pusat Statistik Kabupaten Lembata. akses desember 2024
- Ibu Rima anggota Fatayat NU Lembata, 2024
- Ibu Yuni Ketua Fatayat NU Lembata 2024
- Wikipedia, akses desember 2024
Pada 11-16 November 2024 saya bersama paman Dodo melakukan perjalanan ke Flores Timur, tepatnya di kabupaten Lembata. Kunjungan kami berdua berkenan dengan kegiatan Bimtek fasilitator Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS), salah satu bagian dari program Pemberdayaan Masyarakat ‘Inklusi’ Lakpesdam PBNU. Kami berdua merupakan instruktur nasional Bina Keluarga Sakinah (BKS) Kemenag RI. Kegiatan BRUS di Lembata bekerjasama dengan Kemenag RI dalam hal penggunaan modul Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS).