Penulis : Zulfa Aryani (Mahasiswa Prodi PGSD UNU Yogyakarta)
Editor: Tim Pusdeka

Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup adalah isu global yang paling mendesak saat ini. Dari bencana alam hingga meningkatnya suhu permukaan bumi yang mengancam keseimbangan ekosistem merupakan penanda bahwa dampak krisis lingkungan hidup sudah terasa di seluruh dunia. Dalam perspektif keimanan, isu lingkungan hidup tidak hanya dilihat sebagai tantangan ilmiah tetapi juga sebagai panggilan moral dan spiritual. Berbagai tradisi keagamaan mengajarkan tentang pentingnya menjaga ciptaan dan merawat lingkungan hidup sebagai tanggung jawab manusia terhadap Tuhan dan sesama.

Semua ajaran agama, yang kemudian berkembang menjadi tradisi keagamaan, memandang bahwa alam adalah ciptaan Tuhan yang suci dan manusia harus menjaganya. Dalam ajaran Islam misalnya, peran manusia di bumi adalah sebagai “khalifah” yang bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Dalam ajaran Kristen, Tuhan menciptakan bumi dan mengamanatkan manusia untuk mengelola dan merawatnya. Dalam agama Hindu dan Buddha terdapat ajaran tentang harmoni dengan alam. Ajaran ini akan menekankan bahwa makhluk hidup memiliki perannya sendiri dalam ekosistem.

Tradisi-tradisi kepercayaan tersebut ternyata memiliki bangunan konsep yang sama. Yaitu konsep tentang hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam. Pandangan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan mengandung implikasi etis bahwa manusia harus melindungi dan memelihara lingkungan. Bukan mengeksploitasi atau merusaknya untuk keuntungan jangka pendek. Dengan kata lain, kerusakan lingkungan bukan hanya masalah teknis atau ilmiah, tetapi juga masalah spiritual dan moral. Apa yang disebut sebagai ketidakadilan ekologis, yang mana sebagian besar kerusakan lingkungan disebabkan oleh perilaku segelintir orang atau negara, merupakan cerminan dari ketidakadilan sosial yang lebih luas.

Dalam konteks perubahan iklim yang semakin mendesak, banyak pemimpin agama yang menyerukan tindakan kolektif untuk melestarikan lingkungan. Mereka menekankan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga masalah moral. Salah satunya Paus Franciskus sebagai pemimpin Gereja Katolik dunia. Ia mengajak umat Kristiani untuk memperhatikan masalah perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup yang akan berdampak signifikan pada masyarakat miskin dan rentan. Ia menekankan bahwa tanggung jawab ekologis juga merupakan tanggung jawab sosial dan moral. Dalam hal ini, agama mendorong kita untuk bertindak dengan empati dan solidaritas terhadap orang lain.

Iman dapat dikatakan sebagai energi untuk bertindak dalam menghadapi krisis iklim. Keyakinan pada agama akan membuat kita sadar bahwa manusia bukanlah pemilik bumi ini, melainkan hanya perantara yang dititipkan oleh Sang Pencipta. Perspektif keimanan menyiratkan pentingnya spiritualitas dalam hubungan kita dengan lingkungan. Dalam konteks ini, merusak lingkungan berarti merusak hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Sebaliknya, praktik-praktik yang mendukung keberlanjutan lingkungan seperti pertanian organik, mengurangi sampah, dan menggalakkan energi terbarukan dapat dimaknai sebagai bentuk pengabdian spiritual.

Isu lingkungan merupakan ujian moral dan spiritual bagi generasi zaman ini. Tindakan konkret, mulai dari perubahan gaya hidup pribadi hingga kebijakan global, harus didorong oleh keyakinan bahwa melestarikan alam merupakan bagian dari tanggung jawab kita sebagai makhluk beriman. Dalam menghadapi tantangan iklim global, banyak komunitas agama yang terlibat dalam gerakan lingkungan. Mereka melakukan kampanye pendidikan, protes, dan inisiatif hijau. Gerakan tersebut semakin kuat dengan adanya konferensi lintas agama tentang perubahan iklim yang mempertemukan para pemimpin agama untuk membahas solusi dan mendorong tindakan bersama. Melalui kolaborasi ini, iman akan menjadi landasan untuk membangun kesadaran dan mendorong perubahan positif.

Terakhir, iman mengingatkan kita bahwa bumi adalah warisan bagi generasi mendatang. Tidak ada generasi yang berhak merusak bumi tanpa memikirkan masa depan. Perspektif keimanan mengajak kita untuk tetap berharap, bahwa melalui kerja sama, kasih sayang, dan rasa tanggung jawab, kita masih dapat memperbaiki apa yang telah rusak dan menciptakan dunia yang lebih baik bagi seluruh ciptaan Tuhan.