Penulis: Agus S Efendi

Dengan jumlah penduduk mencapai 275 juta jiwa, Indonesia kerap dipandang memiliki peluang yang sangat besar untuk naik kelas dari negara berkembang menjadi negara maju. Beberapa lembaga internasional pun memperkirakan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada tahun 2050.

Berbagai kalangan merespon hal tersebut secara positif karena Indonesia tengah memegang kunci pertumbuhan ekonomi yang bernama bonus demografi. Bagi pemerintah Indonesia, potensi bonus demografi perlu direalisasikan melalui kebijakan dan program intervensi yang mampu menyiapkan generasi muda Indonesia menjadi sumberdaya manusia yang sehat, kreatif dan produktif.

Secara umum, arah kebijakan pemerintah dalam memaksimalkan potensi bonus demografi fokus pada tiga hal. Pertama, menjaga kesehatan ibu dan anak serta memastikan balita bebas dari stunting. Kedua, mentransformasi pendidikan tinggi agar lebih terintegrasi dengan dunia bisnis dan industri. Terakhir, memacu produktivitas ekonomi dengan investasi dan fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Namun sayangnya dengan adanya pandemi covid-19 yang menyebabkan krisis kesehatan berbagai program-program pemerintah menjadi terhambat. Hambatan ini terjadi ketika pemerintah harus merealokasi anggaran belanja untuk penanganan krisis dan dalam pelaksanaan program harus menyesuaikan. Pada akhirnya ketiga kebijakan tersebut menjadi kurang berhasil, meski tidak bisa juga dikatakan sepenuhnya gagal, karena kapasitas intervensi yang terbatas.

Sejauh ini tampaknya wacana dan kebijakan terkait bonus demografi kurang mengundang perdebatan yang kritis. Kita tahu bahwa ada saja kelompok sipil yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, misalnya dalam penolakan Undang-undang Cipta Kerja, yang jelas sangat sedikit argumentasi yang meyakinkan tentang persoalan bersama serta strategi kebijakan yang akan menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat.

Bonus demografi sering dipahami secara simplistik yang mana ketika proporsi usia produktif lebih besar daripada usia non-produktif maka otomatis pertumbuhan ekonomi akan mengalami percepatan. Dari kacamata makro ekonomi pandangan ini memang tidak keliru. Tapi asumsi yang melandasi sangat problematik yaitu penduduk usia produktif mampu merealisasikan potensinya secara penuh. Dalam realitas, kelompok usia produktif (15-65 tahun) tidak memiliki potensi atau kapasitas yang sama. Adapun kapasitas produksi mensyaratkan seperangkat skill dan ketrampilan yang dimiliki.

Skill dan ketrampilan itu sendiri baru dapat terealisasi ketika ada infrastruktur yang menunjang serta terdapat peluang aktivitas ekonomi yang prospektif. Dua hal ini memang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sektor-sektor industri yang kemudian membentuk struktur perekonomian. Dengan demikian bonus demografi baru memiliki dampak yang signifikan ketika terjadi penyerapan tenaga kerja dalam kegiatan ekonomi yang produktif.

Jika kita melihat data ternyata sekitar 60 persen pekerja Indonesia beraktivitas di sektor informal. Sektor ini memiliki karakter yang khas misalnya skala bisnis yang kecil, manajemen yang lemah, dan penetrasi teknologi yang rendah. Dengan karakter seperti itu tidak mengherankan apabila sektor ini menjadi sangat fleksibel dan berada di luar jangkauan regulasi. Inilah yang membuat para pekerjanya sering diupah tidak sesuai standar, tidak memperoleh jaminan sosial, serta rentan menjadi pengangguran.

Saat puncak bonus demografi terjadi tetapi sebagian besar pekerja berada di sektor informal maka salah satu konsekuensi yang muncul adalah produktivitas yang rendah. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak dapat berjalan optimal. Pada akhirnya Indonesia akan gagal menjadi negara maju dan mengalami apa yang disebut middle-income trap (jebakan negara berpenghasilan menengah). Artinya Indonesia tidak mampu berkompetisi dengan negara-negara lain dalam menciptakan produk-produk yang memiliki nilai tambah ekonomi tinggi.

Kondisi tersebut tentu akan membuat tingkat kesejahteraan penduduk merosot. Salah satu indikatornya adalah daya beli masyarakat yang menurun. Pada gilirannya hal ini akan memecetkan sistem perlindungan sosial yang dikelola oleh pemerintah. Malah apabila pemerintah tidak memiliki kebijakan serta mekanisme pendistribusian kekayaan yang efektif maka ketimpangan pasti akan meningkat. Efek samping dari ketimpangan ekonomi adalah angka pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas yang tinggi.

Pada saat ini struktur penduduk Indonesia telah mengalami penuaan. Penuaan penduduk (ageing population) sendiri terjadi ketika porsi penduduk usia 60 tahun ke atas mencapai 10 persen dari total jumlah populasi. Dengan melihat tren perkembangan penduduk tentu dalam satu-dua dekade mendatang porsi itu tentu akan mengalami peningkatan. Dalam estimasi BPS, pada tahun 2045 porsi penduduk lanjut usia mencapai 21 persen atau sekitar 72 juta jiwa.

Dari situ kita perlu mengajukan dua pertanyaan. Apa persoalan yang muncul ketika porsi penduduk lanjut usia membesar? Apa yang bisa dilakukan oleh para pengambil kebijakan di Indonesia dalam mengantisipasi penuaan penduduk?

Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa porsi penduduk lanjut usia yang besar bukanlah persoalan. Malah itu bisa menjadi peluang. Mereka memandang bahwa penduduk usia lanjut masih dapat menjadi sumberdaya yang produktif. Namun dengan melihat perkembangan teknologi serta kebutuhan skill dan ketrampilan dalam pasar tenaga kerja yang berubah drastis, penduduk lanjut usia dapat dipastikan tertinggal jauh produktivitasnya. Apalagi tingkat penetrasi teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia khususnya kelompok usia lanjut juga masih rendah. Oleh karena itu bonus demografi kedua yang bertumpu pada sumberdaya usia lanjut sangat sulit terjadi di Indonesia.

Ada dua masalah yang agak serius ketika penuaan penduduk terjadi di Indonesia. Masalah yang pertama berasal dari lemahnya sistem jaminan sosial. Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang ikut program Jaminan Hari Tua dan Jamina Pensiun sekitar 31 juta. Padahal jumlah penduduk bekerja pada tahun 2023 mencapai 139 juta. Artinya hanya 23 persen dari penduduk usia produktif yang relatif terjamin ketika menjalani hari tua. Masalah yang kemudian muncul adalah para lansia harus bekerja di sektor-sektor informal untuk memenuhi kebutuhan mereka. Saat mereka tidak mampu bekerja maka satu-satunya tumpuan mereka adalah keluarga. Akan tetapi jika keluarga mereka secara ekonomi kurang mampu, maka peran pemerintah daerah dan komunitas masyarakat harus diperkuat dalam inovasi skema jaminan sosial secara komunal.

Masalah yang kedua muncul dari ongkos perawatan kesehatan untuk para lansia. Saat ini angka prevalensi penyakit seperti diabetes, kanker dan stroke di kalangan lansia cukup tinggi. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh pola hidup yang tidak sehat. Pada masa usia produktif, para pekerja sering melupakan olahraga dan makan sembarangan. Inilah yang membuat kondisi fisik penduduk usia produktif menjadi kurang sehat dan oleh karena itu rentan terkena penyakit. Saat mengidap penyakit, tentu mereka butuh perawatan ekstra dengan ongkos yang tidak sedikit.

Meski Indonesia memiliki sistem jaminan kesehatan, namun cakupan dana yang tersedia tidak bisa mengcover semua pasien yang menderita penyakit. Untuk bisa berobat mereka lantas bergantung pada bantuan keluarga khususnya anak-anak mereka yang masih produktif. Artinya sebagian generasi yang lebih muda harus menanggung beban ganda. Ini akan membuat generasi muda Indonesia memiliki ruang yang terbatas untuk berinvestasi masa depan yang lebih baik.

Satu hal yang penting untuk ditekankan adalah wacana tentang Indonesia Emas 2045 harus menempatkan isu tentang penuaan penduduk di tengah perdebatan publik karena akan struktur demografi Indonesia sedang mengarah kesana. Ini akan menjadi persoalan yang kompleks apabila para pembuat kebijakan hanya fokus memaksimalkan potensi bonus demografi tapi melupakan apa yang akan terjadi setelah itu. Indonesia perlu kebijakan yang tidak hanya menyejahterakan tetapi juga memberikan jaminan dan perlindungan kepada kelompok usia lanjut.