Reporter: Tim Pusdeka
Pada Jum’at (1/12) Pusdeka UNU Yogyakarta bersama Bappeda Bantul mengunjungi kantor UP3 PLN Yogyakarta untuk mempresentasikan program inovasi desa wisata jamu. Kunjungan ini bermaksud untuk mengajak PLN Jogja berkolaborasi dalam pengembangan Desa Wisata Jamu Kiringan yang terletak di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Dalam kunjungan ini Direktur Pusdeka UNU Yogyakarta, Rindang Farihah, didampingi oleh Sunaji Zamroni (Kepala Staff Ahli LP3M UNU Yogyakarta). Adapun yang menjadi perwakilan dari Bappeda Bantul adalah Eni Kriswandari (Subkoordinator Kelompok Penelitian dan Pengembangan Inovasi Daerah).
Rombongan UNU Yogyakarta dan Bappeda disambut langsung oleh Wiwit Supriyadi yang menjabat sebagai Kepala Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) UPT3 PLN Yogyakarta. Ia kemudian mengantarkan kami menuju ruang meeting yang berada di lantai 3. Dari pihak PLN Jogja yang turut membersamai dalam meeting adalah Ibu Endang serta Ibu Rahma.
Meting pagi itu diawali dengan sesi perkenalan. Setelah itu, Eni Kriswndari mengatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Bantul telah berkomitmen untuk mengembangkan desa-desa wisata yang inovatif. Sejauh ini Pemerintah Bantul telah menetapkan 39 Desa Wisata. Namun sebagian besar desa wisata tersebut belum cukup berkembang. Salah satunya adalah Desa Wisata Jamu Kiringan. Oleh karena itu Bappeda Bantul bersama dengan UNU Yogyakarta mencoba untuk menyusun Program Inovasi Desa Wisata Jamu Kiringan. Eni berharap Desa Wisata Jamu Kiringan dapat berkembang pesat sehingga mampu menjadi desa wisata yang menarik untuk dikunjungi wisatawan.
Melanjutkan pemaparan, Rindang Farihah kemudian mempresentasikan gambaran besar Program Inovasi Desa Wisata Jamu Kiringan. Ia menjelaskan bahwa program ini bersifat holistik karena akan mengintervensi pada tujuh kluster pengembangan yaitu brand, kemasan, organisasi, SDM, produk, pasar dan nilai ekonomi. Adapun fokus sasaran program adalah produsen jamu dan pengelola desa wisata. Program intervensi ini akan diarahkan untuk meningkatkan skala ekonomi lokal secara berkelanjutan dan dapat berkontribusi dalam upaya penanggulangan stunting.
Melengkapi pemaparan, Sunaji Zamroni menekankan bahwa program ini menggunakan strategi public awareness (kesadaran publik) yaitu Jamu Kiringan itu memiliki sejarah dan telah diwariskan secara turun-temurun. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana produk tradisional ini dikembangkan secara kekinian dan dapat menggerakkan perekonomian desa. Ia menegaskan bahwa program ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prototype pemberdayaan pembatik Giriloyo yang fokus pada upgrade ketrampilan, kapasitas organisasi, dan kualitas produk. Dengan kata lain program ini hendak mengintegrasikan permodalan inovasi produk tradisional dengan desa wisata.
Wiwid Supriyadi kemudian menanggapi bahwa program TJSL PLN mengusung satu tema besar yang bernama “Desa Berdaya.” Ia kemudian mencontohkan program pengembangan Eduwisata Kampung Madu yang berada di Padukuhan Kedungpoh Lor Nglipir Gunungkidul. Selain itu ada juga program edukasi Sekolah Sungai Siluk yang telah memenangi beberapa penghargaan. Wiwid menekankan bahwa program pendampingan masyarakat PLN dilakukan minimal 5 tahun. Hal ini adalah komitmen PLN dalam mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Ibu Endang memberikan beberapa catatan terkait proposal program. Pertama soal isu stunting, ia mengatakan bahwa sejauh mana program ini dapat menanggulangi kasus stunting harus terlihat. Kedua soal cakupan program, ini seperti pemberdayaan terintegrasi tapi perlu ditambahi skala prioritas. Ketiga tentang desa wisata, mungkin akan lebih menarik jika diberi visualisasi lokasi agar bisa terkait dengan kawasan wisata yang lain. Selain itu perlu proposal juga belum disertai dengan rincian anggaran yang sesuai dengan standar biaya masukan.
Selanjutnya, Ibu Rahma menyoroti soal template proposal. Ia mengatakan bahwa PLN telah memberlakukan standar template untuk semua program pemberdayaan masyarakat. Karena PLN mengadopsi CSV (Creating Shared Values) maka dalam proposal harus disebutkan dampak untuk PLN, Pemerintah Bantul, penerima manfaat serta masyarakat umum. Rahma juga menegaskan, siapa yang akan dijadikan sebagai lokal hero dari program ini. Jika yang dijadikan lokal hero adalah perempuan pengrajin jamu itu akan sangat bagus karena menyinggung isu kelompok rentan. Di samping itu, soal riset pemasaran mungkin bisa menggandeng BRIN. Ini akan berpengaruh pada skala output desa wisata jamu.