Penulis: Agus S Efendi
Beberapa minggu yang lalu sebuah daerah di utara Jawa menjadi sorotan publik karena kasus perceraian yang tinggi. Pengadilan Agama di daerah itu tercatat telah mengabulkan lebih dari 1000 gugatan perceraian dalam beberapa bulan terakhir. Perceraian memang bukan fenomena yang langka dan sejak dulu sudah terjadi. Akan tetapi, kita perlu bertanya mengapa perceraian semakin menjadi pilihan?
Kalau kita melihat data statistik, kasus perceraian di Indonesia dalam satu dekade terakhir menunjukkan tren peningkatan yang signifikan.[1] Dua belas tahun yang lalu kasus perceraian di Indonesia baru berkisar di angka 276 ribu. Pada tahun 2022 jumlah perceraian di Indonesia telah mencapai 516 ribu kasus. Jika dibagi 365 (jumlah hari dalam satu tahun) maka hasilnya adalah 1400. Dengan kata lain setiap hari seluruh pengadilan agama di Indonesia rata-rata memutus 1400 kasus perceraian.[2] Ini merupakan jumlah yang sangat fenomenal.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa perceraian adalah indikator menurunnya kualitas kehidupan keluarga. Hal ini biasanya dikaitkan dengan pudarnya norma dan nilai-nilai tradisional baik yang bersumber dari ajaran agama maupun kearifan lokal. Penjelasan yang demikian memang tidak sepenuhnya salah, namun kurang mampu melihat beberapa aspek penting seperti aspirasi sosial dan pola relasi dalam keluarga.
Dari segi hukum, pernikahan adalah pilihan dan kesepakatan untuk hidup bersama. Dalam praktik keabsahan hubungan pernikahan juga ditentukan oleh norma agama. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa agama merupakan landasan moral dalam menjalani kehidupan pernikahan. Tapi tradisi berkeluarga yang berkembang di Indonesia tampaknya kurang mengakui pernikahan sebagai suatu pilihan. Kita dalam melihat itu dari norma agama yang memberikan hak eksklusif seperti melamar dan bercerai kepada laki-laki. Pada akhirnya perempuan tidak memiliki pilihan dalam menentukan pernikahan yang akan ia jalani sendiri. Dari situ tugas perempuan adalah patuh meskipun ia tidak bahagia atau mendapat perlakuan buruk. Untuk mengantisipasi hal yang demikian, Undang-Undang Pernikahan telah mengatur bahwa perempuan juga berhak mengajukan permohonan cerai dengan alasan yang kuat.
Perlakuan yang setara di depan hukum itu lantas membuat kehidupan pernikahan menjadi dinamis. Implikasi dari hal tersebut adalah aspirasi kedua belah pihak harus selalu dipertimbangkan ketika menjalin ikatan pernikahan. Jika menengok data perceraian, ternyata gugatan cerai (istri) memiliki porsi yang dominan yaitu mencapai 70 persen lebih. Hal ini menunjukkan bahwa praktik hubungan pernikahan cenderung belum mengakomodir aspirasi istri sehingga mereka mengajukan gugatan cerai. Yang dimaksud aspirasi disini mencakup karier, tingkat kesejahteraan, peran sosial, pembagian tugas dalam rumah tangga, pandangan hidup, dan seterusnya.
Perceraian adalah pilihan yang berat khususnya bagi pasangan yang telah memiliki anak. Orang tua yang bercerai biasanya akan memiliki masalah dalam mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada anak. Hal ini kemudian akan membentuk kepribadian anak yang menjurus pada perilaku yang menyimpang. Kendati demikian tidak sedikit orang tua tunggal yang mampu membesarkan anak dengan baik.
Bagi pasangan yang belum memiliki anak, bercerai merupakan pilihan yang sulit karena akan membuat mereka berstatus janda atau duda. Status ini sering dipersepsi masyarakat sebagai orang yang gagal. Namun seiring dengan memudarnya norma tradisional dan diterimanya cara-cara baru dalam menjalin hubungan, harapan serta kesempatan untuk mendapatkan pasangan baru yang lebih baik menjadi terbuka lebar. Inilah salah satu faktor pendorong mengapa bercerai menjadi pilihan.
Jika dulu orang menikah dengan cara dijodohkan untuk sekarang orang menikah karena menemukan orang yang dicintai. Dua metode mencari pasangan ini memiliki kelemahan dan kelebihannya sendiri-sendiri.
Untuk yang pertama, pernikahan cenderung diperlakukan sebagai peristiwa sosio-kultural yang mana pasangan suami istri dikukuhkan sebagai anggota komunitas etik. Kehidupan pernikahan merupakan jalan untuk meraih harmoni antara aspirasi individu, keluarga dan komunitas. Artinya pilihan perceraian hampir tertutup karena seluruh anjuran etik selalu menekankan untuk saling berbagi, mengasihi, dan memenuhi kewajiban masing-masing. Jika pasangan suami-istri memiliki persoalan maka mereka akan berkonsultasi dengan keluarga atau meminta solusi kepada orang yang dianggap bijak di dalam komunitas.
Metode mencari pasangan secara romantik memiliki logika yang agak berbeda. Model ini memperlakukan pernikahan sebagai ikatan dua orang yang saling mencintai. Tanpa adanya cinta pernikahan menjadi tidak berarti. Cinta memiliki sifat seperti tanaman yang tumbuh dalam subjektivitas personal. Ia dapat layu atau bahkan mati jika tidak pandai dirawat. Oleh sebab itu hubungan yang romantik disamping perlu komunikasi yang intense juga butuh rasa saling percaya. Namun kedua hal tersebut kerap dilupakan ketika persoalan rumah tangga muncul. Hal ini biasanya terjadi pada pasangan muda yang kurang memiliki kedewasaan mental sehingga hubungan yang terjalin menjadi kurang harmonis. Ketika pernikahan tidak harmonis maka keputusan untuk bercerai akan semakin terbuka.
Berdasarkan putusan pengadilan agama, ada tiga alasan utama mengapa pasangan yang telah menikah memutuskan untuk bercerai yaitu pertengkaran terus menerus, ekonomi dan ditinggal salah satu pihak. Dalam suatu kasus perceraian kedua faktor yang pertama mungkin tidak dapat disahkan atau saling mempengaruhi. Seseorang (istri) cenderung akan mengajukan gugatan cerai ketika pasangannya tidak mampu memenuhi standar kebutuhan dalam mengelola rumah tangga. Jadi kita dapat mengatakan bahwa perceraian sesungguhnya memiliki kaitan yang erat dengan aspirasi dan kemampuan dalam meraih kesejahteraan.
Di beberapa wilayah Indonesia taraf kesejahteraan masih perlu peningkatan. Hal ini tercermin dari nominal upah minimal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang rendah. Sebagai acuan upah, hanya perusahaan menengah dan besar yang mampu menerapkan hal tersebut. Sementara usaha kecil dan mikro hanya mampu mengupah pekerja di bawah standar tersebut. Karena itu pilihan yang tersedia bagi pekerja untuk meraih kesejahteraan adalah dengan berwirausaha. Sayangnya tidak semua orang berminat dan mampu berwirausaha. Akibatnya mereka terpaksa bekerja serabutan untuk menghidupi keluarga mereka.
Jika ditarik ke pola relasi dalam rumah tangga, pasangan yang cukup sabar dan supportif akan menjadi pemupuk harapan untuk membangun keluarga maslahah. Sebaliknya, jika salah satu tidak kuat menanggung itu semua maka yang menjadi pertaruhan adalah ikatan perkawinan.
[1] Di sini istilah ‘kasus’ kita gunakan karena setiap perceraian yang sah secara legal harus memiliki putusan dari pengadilan.
[2] Jumlah total Pengadilan Agama di Indonesia ada 417 unit yang terdiri dari 4 kluster tingkatan.