Penulis: Agus S Efendi

Struktur demografi adalah cerminan atas situasi dan kondisi keluarga. Sebagai institusi, keluarga merupakan aktor utama proses reproduksi sosial. Dalam perkembangan sejarah proses reproduksi yang tidak terkendali akan menimbulkan permasalahan sosial seperti perebutan lahan subur yang seringkali berakhir pada peperangan. Di zaman modern, hal yang demikian jarang terjadi karena proses reproduksi telah cukup berhasil teregulasi baik melalui instrumen kebijakan maupun norma masyarakat. Perkembangan teknologi di berbagai bidang juga telah membuka banyak lapangan pekerjaan. Namun yang jelas, negara akan tetap mewaspadai peningkatan jumlah populasi dan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Tempo hari (15/5) kita memperingati hari keluarga sedunia. Peringatan ini dapat dikatakan spesial karena tepat pada akhir tahun lalu jumlah populasi umat manusia di dunia telah menyentuh angka 8 miliar jiwa. Tentu populasi yang besar ini dapat dipandang sebagai peluang ataupun tantangan. Bagi mereka yang optimis, populasi penduduk menyimpan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk membangun kesejahteraan. Tapi bagi mereka yang realis, populasi tampak seperti pedang bermata dua yang mana di satu sisi merupakan produsen tenaga kerja dan di sini lain adalah konsumen berbagai bentuk sumberdaya. Dari situ mereka menekankan jika keduanya tidak dapat berjalan secara berimbang maka yang terjadi adalah memburuknya tingkat kesejahteraan penduduk.

Pada tahun ini, hari keluarga sedunia mengusung tema “Tren Demografi dan Keluarga.” Tema ini diambil selain sebagai respon terhadap mega-tren populasi global juga sebagai titik pijak untuk menyambut peringatan hari keluarga sedunia yang ke 30, tahun depan. Kalau ditelusuri hari keluarga sedunia ada sejak tahun 1994. Pada saat itu salah satu komite PBB mendorong agar masyarakat dunia terutama para pemangku kepentingan publik agar lebih peduli terhadap isu-isu yang terkait dengan keluarga.

Artikel ini akan merefleksikan hal tersebut dalam konteks perubahan struktur demografi di Indonesia. Disamping itu kita juga akan membahas isu-isu utama dalam pembangun kesejahteraan keluarga.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia sangat konsen pada perkembangan struktur demografi Indonesia satu sampai dua dekade mendatang. Bonus demografi adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebut struktur demografi yang usia produktifnya lebih besar. Dalam upaya memaksimalkan potensi produktifitas maka tidak mengherankan apabila pemerintah Indonesia mengambil kebijakan perbaikan layanan kesehatan dasar dan mereformasi lembaga pendidikan. Dalam kesempatan ini kita tidak akan membahas hal itu, namun kita akan menyoroti apa saja tantangan struktur demografi di Indonesia.

Kita dapat berangkat dari data statistik yang menyebutkan bahwa hampir 60 persen penduduk Indonesia tinggal di kawasan urban. Urbanisasi di Indonesia (atau negara lain di dunia) terjadi karena hampir semua lapangan pekerjaan yang dianggap layak hanya dikembangkan di daerah perkotaan. Hal ini membuat banyak generasi muda yang lahir dan tumbuh di pedesaan menganggap kota adalah tujuan mobilitas sosial mereka. Ketika sudah mendapat pekerjaan tidak jarang mereka akan menetap dan membangun keluarga di daerah perkotaan. Keluarga pendatang ini lantas dikenal memiliki karakter sebagai keluarga yang hanya terdiri dari keluarga inti (nuclear family)– yaitu orang tua dan anak.

Komposisi keluarga yang minimalis sebenarnya adalah hasil akhir dari pola adaptasi dalam menjalani kehidupan perkotaan yang menekankan individualitas dan hubungan berbasis kepentingan, bukan ikatan kekerabatan sebagaimana ditekankan dalam masyarakat agraris. Dari situ muncul jenis-jenis pekerjaan dalam mengurus rumah tangga yang sebelumnya tidak pernah ada. Misalnya, pembantu rumah tangga dan pengasuh anak. Artinya, tugas-tugas domestik bukan lagi dikelola melalui pembagian peran antar pasangan tetapi dengan mekanisme profesionalitas. Tentu praktik yang demikian diambil karena berbagai alasan. Tapi yang paling menonjol adalah untuk efisiensi kerja dalam rangka memenuhi kesejahteraan keluarga, khususnya pasangan yang sama-sama produktif dalam kehidupan sosial.

Industrialisasi sektor-sektor ekonomi tampaknya juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kondisi keluarga. Bagi kelas menengah-bawah, aspirasi untuk hidup sejahtera dilakukan dengan bekerja keras. Tidak jarang mereka mengorbankan waktu dalam menjalani kehidupan keluarga demi memenuhi kebutuhan. Hal ini akan berdampak pada penurunan kualitas hubungan dalam keluarga. Selain itu, jika mereka memiliki anak, kapasitas pengasuhan mereka tidak akan berkembang karana terlalu fokus pada urusan kerja. Tidak mengherankan apabila fenomena yang kemudian muncul adalah perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kasus stunting anak.

Dari aspek geo-spatial, Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia, bahkan dunia. Yang menarik, masih banyak penduduk pulau Jawa yang berprofesi sebagai petani. Namun para petani di pulau Jawa sangat kesulitan untuk hidup layak karena lahan yang mereka garap terbatas. Sebagai strategi untuk bertahan hidup maka sebagian petani terpaksa mengalih fungsikan lahan untuk berbisnis. Fakta ini membuat banyak keluarga petani yang meninggalkan tradisi masyarakat agraris. Padahal dalam tradisi itu terdapat nilai-nilai atau norma penting yang menjaga kehidupan keluarga terus bermakna. Efek sampingnya adalah keluarga itu tidak mampu memberikan landasan yang stabil untuk tumbuh kembang generasi berikutnya.

Dengan naiknya angka harapan hidup namun pada saat yang bersamaan usia pensiun kerja relatif rendah, maka kebutuhan akan layanan lansia akan semakin tinggi. Sayangnya, saat ini Indonesia belum memiliki sistem jaminan usia lanjut (pensiun) yang dapat diakses secara luas. Hal ini menimbulkan suatu kekhawatiran bahwa populasi post-produktif akan menjadi beban bagi keluarga produktif. Apalagi sebagian besar usia lansia memilik catatan penyakit degeneratif yang membutuhkan perawatan ekstra.

Perubahan struktur demografi memiliki dampak yang multidimensional terhadap kondisi keluarga Indonesia. Pada akhirnya, kita tidak akan pernah mungkin meningkatkan kesejahteraan keluarga tanpa mempertimbangkan beberapa aspek kunci seperti; industrialisasi, urbanisasi, lapangan kerja, serta norma masyarakat.