Oleh: Agus S Efendi
Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga (Pusdeka) UNU Yogyakarta menggelar Nobar dan Bedah Film “ASA” pada Sabtu (20/5). Kegiatan ini bertujuan untuk menguatkan pemahaman kawula muda khususnya mahasiswa UNU Yogyakarta tentang kekerasan seksual dan peran keluarga dalam pemulihan trauma. Dengan film pendek sebagai media pengantar diskusi, tentu tujuan tersebut akan lebih mudah dicapai karena anak-anak muda zaman sekarang sangat menyukai tontonan video daripada media komunikasi lainnya. Disamping itu, kegiatan ini juga ditujukan untuk mengenalkan Klinik K2+ kepada mahasiswa UNU Yogyakarta. Adapun tema yang diangkat adalah “Merdeka dari Kekerasan Seksual.” Istilah merdeka di sini dapat dimaknai sebagai upaya pembebasan dari segala praktik kekerasan yang berbasis gender.
Kegiatan Nobar dan Bedah buku dimulai pada pukul 09.30 WIB. Acara pagi itu dibuka oleh Ainun Najwa selaku Manager Klinik K2+ Pusdeka UNU Yogyakarta. Dalam pembukaannya, Ainun mengatakan bahwa acara ini diselenggarakan untuk menyoroti pentingnya peran keluarga dalam pemulihan kasus kekerasan seksual. Sementara itu, dalam konteks di lingkungan kampus, mahasiswa yang tengah mengalami persoalan mental atau masalah hubungan dapat mengakses layanan konseling yang tersedia di Klinik K2+, ungkap Ainun. Acara kemudian dilanjutkan dengan nonton bareng. Para peserta yang berjumlah sekitar 30an mahasiswa dari berbagai jurusan tampak sangat antusias dalam menonton film yang berdurasi kurang lebih 21 menit ini. Sebagai gambaran umum tentang film ini berikut adalah ringkasannya.
Sinopsis Film ASA
Film “ASA” diangkat dari kisah seorang remaja usia sekolah yang hamil. Film ini menceritakan pengalaman remaja perempuan yang bernama Sinta dalam menghadapi kekerasan seksual serta bagaimana keluarga berperan penting dalam membantu memulihkan kondisi mental. Cerita dimulai dengan menampilkan adegan Sinta yang khawatir ketika tahu bahwa dirinya hamil. Setelah itu sang protagonis berpikir untuk meminta laki-laki yang menghamilinya untuk bertanggungjawab. Namun laki-laki itu malah mengelak setiap kali dihubungi. Dan pada akhirnya ia lari dari bertanggungjawab. Menghadapi hal tersebut Sinta tentu mengalami tekanan mental karena di satu sisi menyesal atas apa yang diperbuat dan di sisi yang lain tidak tahu apa yang musti dilakukan. Kendati demikian, ia tetap berjuang menjalani rutinitas sehari-hari seperti biasa sebagai remaja usia sekolah.
Ketika video hubungan intim tentang dirinya beredar, entah dilakukan secara sengaja ataupun tidak, Sinta pun langsung terguncang. Ia tidak kuat menerima cemooh dan pandangan negatif dari lingkungannya. Di samping itu ia juga dipandang sebagai aib bagi sekolah. Untuk menyelamatkan nama baik, pihak sekolah mengambil keputusan untuk mengeluarkan Sinta. Di dalam keluarga, Ibunya adalah orang yang paling kecewa terhadap perilaku tersebut. Yang menarik, sang Ayah justru berpandangan bahwa anaknya adalah korban. Oleh karena itu ia memutuskan untuk memproses kasus itu lewat jalur hukum. Meski pihak pelaku menawarkan opsi untuk berdamai, ia tetap kekeh menolak.
Salah satu momen kritis dari film ini adalah adegan sang Ibu yang memeluk Sinta dengan penuh haru. Pada saat itu ia sudah tidak lagi kecewa namun lebih kasihan terhadap nasib buruk yang menimpa anaknya dan seperti apa masa depannya kelak. Pada titik ini keluarga Sinta telah menerima apa yang telah terjadi. Akhir dari film ini memuat satu adegan apik yang mana Sinta mengutarakan permintaan maaf kepada Ayahnya. Bagi sang Ayah tidak ada jawaban yang lebih penting daripada bagaimana Sinta menata masa depan untuk dirinya dan anaknya.
Tentu sinopsis di atas sangat terbatas dalam memotret keseluruhan aspek dan muatan yang diusung oleh film ASA. Seperti adagium “sebuah gambar (apalagi film—gambar bergerak) memiliki nilai ribuan kata”, sinopsis itu hanya sebagai kerangka referensi untuk diskusi lebih lanjut. Namun, agar memperoleh gambaran yang utuh kita perlu menonton film tersebut secara saksama dan kritis.
Diskusi: Mengenal Kekerasan Seksual
Setelah nonton bareng selesai sesi diskusi pun memperoleh tempat. Pada sesi ini, yang menjadi pemandu acara adalah Greece Mutia (mahasiswi prodi PGSD UNU Yogyakarta angkatan 2021). Ia kemudian mengenalkan profil para pembedah film. Yang pertama adalah Budi Wulandari, S.Psi. yang telah lama menggeluti isu perempuan dan sekarang mengabdi di LKK PWNU DIY. Pembedah kedua adalah Hanif Muslim yang saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa prodi SII UNU Yogyakarta dan aktif di berbagai organisasi.
Ketika diberikan waktu dan tempat, Budi Wulandari pertama-tama mengajak para peserta untuk mengemukakan kesan mereka setelah menonton film ASA. Salah satu peserta yang bernama Andre dari prodi Akuntansi mengatakan bahwa film seperti ini tidak begitu asing. Ia lalu menyinggung bagaimana kekerasan seksual juga bisa terjadi di lingkungan pondok pesantren. Menurut Andre, kekerasan seksual tidak bisa dilepaskan dari standar moral. Mereka yang memandang pakaian tertentu sebagai hal yang wajar akan cenderung memiliki pikiran yang positif terhadap orang yang mengenakannya. Hal yang seperti ini jarang terjadi pada mereka yang memiliki standar moral yang berbeda.
Peserta yang lain mengungkapkan bahwa film ASA ini mampu memberikan solusi alternatif ketika kasus kekerasan seksual terjadi. Ia mengatakan, berbeda dengan kecenderungan budaya masyarakat kita, kehamilan di luar nikah yang dialami Sinta rupanya mampu dihadapi dengan pemulihan kondisi mental dan tanpa menggugurkan kandungan.
Dari situ, Wulan fokus untuk mendiskusikan dimensi kekerasan seksual pada Film ASA. Dua kunci utama untuk memahami kekerasan seksual adalah pemaksaan dan relasi kuasa. Dalam cerita di atas, Sinta disebut sebagai korban kekerasan seksual karena beberapa alasan. Yaitu: 1) berumur kurang dari 19 tahun, 2) kehamilan terjadi bukan atas kehendak dirinya, 3) penderitaan/kerugian yang muncul akibat disebarkannya video intim tanpa sepengetahuan dirinya. Mungkin sebagian dari kita akan bertanya apakah hubungan seksual dalam cerita Sinta terdapat persetujuan (consent). Kita dapat menjawab ada karena sepanjang film hubungan seksual tersebut tampak dilakukan secara sukarela. Artinya keduanya setuju untuk melakukan hubungan seksual tanpa adanya unsur pemaksaan. Kendati demikian, Wulan menekankan, karena melibatkan perempuan di bawah umur dan kehamilan tidak termasuk dalam persetujuan hubungan seksual tersebut, maka hubungan seksual tersebut secara hukum sudah terpenuhi status sebagai tindak kekerasan seksual. Untuk menambah pemahaman peserta, Wulan memaparkan definisi dan jenis-jenis kekerasan seksual.
Berkaca pada film ASA, kekerasan seksual (kehamilan yang tidak dikehendaki lebih tepatnya) sangat mungkin diselesaikan dengan cara tidak menikahkan. Namun syarat utama dari solusi ini adalah dukungan dari keluarga. Hal yang seperti ini sangat jarang kita temui dalam praktik di masyarakat karena kuatnya budaya komunal. Artinya pihak keluarga akan lebih mengorbankan perasaan si anak daripada terus mendapat penghakiman dari masyarakat. Film ASA jelas menantang hal tersebut. Orang tua Sinta (terutama ayahnya) berani untuk berpihak pada perasaan anaknya dan mengacuhkan segala pandangan negatif dari masyarakat. Menurut Wulan, salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan ini adalah karakter keluarga Sinta. Ayah yang menderita sakit telah membuat si Ibu berperan sebagai tulang punggung keluarga. Dalam bahasa Wulan, fakta ini membuat ego sang Ayah menurun.
Dalam melanjutkan pemaparannya, Wulan menyinggung beberapa persoalan yang membuat kekerasan seksual sering terjadi. Salah satunya adalah pendidikan seks. Salah satu peserta lalu bertanya tentang kapan dan bagaimana pendidikan seks itu diberikan. Kalau soal kapan, Wulan menjelaskan, pendidikan seks itu diberikan sejak usia 3 tahun. Pada usia ini si anak mulai belajar untuk mengenali bagian diri tubuhnya. Dengan kata lain si anak perlu belajar membedakan batasan sentuhan tubuh untuk orang asing dan orang yang dipercayai (keluarga). Wulan juga menyoroti tentang perbedaan cinta dan hubungan. Namun sayangnya ia tidak menjelaskan lebih jauh dimana letak perbedaan itu.
Pembedah film kedua, Hanif Muslim, langsung menyoroti bagian film yang paling menarik. Hanif mengatakan bahwa film ASA ini sangat luar biasa. Jika kita memperhatikan alur cerita, Hanif menegaskan, momen yang paling ikonik adalah ketika Sinta menari hampir kehilangan kewarasannya. Ia memahami bahwa makna dibalik tarian itu bukan lain adalah ekspresi seseorang yang berada pada fase terendah kehidupannya. Bagi Hanif, perempuan yang lebih sensitif dalam perasaan membutuhkan ruang-ruang ekspresi untuk menumpahkan apa yang ia rasakan. Hal ini tercermin dari fakta bahwa perempuan menyukai obrolan tantang pengalaman perasaan. Dalam kasus Sinta ruang yang seperti itu tidak tersedia. Oleh karena itu ia berekspresi dalam apa yang tersedia yaitu gerakan.
Di luar itu, Hanif juga ingin merefleksikan cerita ASA berdasarkan literatur akademik yang pernah ia baca. Dari literatur psikologi, orang yang merasa terdesak akan cenderung bersikap defensif. Hal ini tampak jelas ketika Sinta memarahi sekelompok pemuda yang tengah mengobrol soal perempuan dengan nada merendahkan. Obrolan itu membuat dirinya bangkit untuk membela bahwa perempuan juga memiliki hak untuk diperlakukan secara layak. Akan tetapi dalam budaya patriarki perempuan sering diperlakukan sebagai—mengutip istilahnya Simone De Beauvoir—the second sex (kelamin pelengkap). Singkatnya perempuan tidak pernah dianggap benar-benar ada secara penuh, ungkap Hanif.
Karena Simone De Beauvoir terkait dengan lingkar pemikir Prancis, Hanif merasa perlu untuk menyinggung salah satu tokoh eksistensialis yaitu Jean-Paul Sarte. Ia lalu menggunakan pandangan eksistensialis untuk menjelaskan praktik kekerasan seksual. Dalam sudat pandang yang agak filosofis ini, kekerasan (seksual) ada karena setiap individu bertarung untuk menjadi dirinya sendiri. Menurut Hanif, pertarungan ini bukan lain adalah hasil dari proses aktualisasi diri. Dengan kata lain kekerasan pada dasarnya adalah personal ‘disparitas’ cara memandang orang lain dengan diri sendiri. Namun yang belum jelas di sini adalah bagaimana hubungan antara identitas diri dan norma masyarakat serta efek mental-emosional yang muncul dari relasi tersebut. Ketika hal ini tidak disinggung maka konsep marginalisasi dan domestifikasi menjadi kurang berguna.