Penulis: Agus S Efendi
Suatu bangsa mengalami transisi demografi apabila angka kelahiran, angka harapan hidup dan angka kematian berubah. Bangsa yang maju biasanya memiliki program-program pembangunan yang inovatif. Program pembangunan sendiri sangat bergantung pada sumberdaya manusia. Untuk itu arah perubahan yang dikehendaki dari ketiga faktor tersebut adalah yang menuju efisiensi kebutuhan serta peningkatan produktivitas. Ini dapat dikatakan sebagai prasyarat utama dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Namun yang jelas membangun kesejahteraan juga memerlukan instrumen kebijakan yang disebut perencanaan keluarga (family planing). Kebijakan ini diambil untuk dua hal yaitu mengatur tingkat kelahiran dan mendesain struktur demografi.[1] Adapun fungsi utama dari perencanaan keluarga adalah membuat pemerintah lebih fokus dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia serta mempunyai ruang yang lebih longgar dalam menyiapkan infrastruktur sosial-ekonomi.
Jika kita mengamati trajektori perkembangan negara-negara di dunia, tidak ada satupun negara yang ekonominya maju tanpa kebijakan perencanaan keluarga yang efektif. Ambil contoh Jepang. Pada tahun 1950, tingkat kelahiran total negeri Sakura ini berada di angka 3,5 (setiap perempuan rata-rata melahirkan 3 sampai 4 anak). Namun pada tahun 1960 turun menjadi 2,1. Tingkat kelahiran yang rendah kemudian berdampak pada performa perekonomian Jepang yang tumbuh sangat pesat pada dekade-dekade selanjutnya.[2]
Trajektori China pun tidak jauh berbeda. Pada tahun 1970 angka kelahiran China mencapai 5,7. Pada periode ini China sering disebut mengalami ledakan penduduk. Tapi dua puluh tahun kemudian atau pada tahun 1990 angka kelahiran China sudah turun ke angka 2,3. Sejak itu, perekonomian China berkembang secara ajaib dan menjadikan negeri ini salah satu eksportir terbesar di dunia.[3]
Kendati demikian negara-negara maju ternyata memiliki satu persoalan yang serupa yaitu penuaan penduduk (aging population). Persoalan ini muncul sebagai konsekuensi logis dari penerapan kebijakan perencanaan keluarga yang memandang dan memperlakukan penduduk sebagai tenaga kerja yang produktif. Bagi negara, ini adalah satu-satunya jalan yang tersedia untuk membangun kesejahteraan. Sebaliknya bagi seorang pekerja, aspirasi untuk hidup sejahtera lebih merupakan sebentuk pertukaran (trade off)antara karier dan keluarga. Artinya penduduk usia kerja harus memilih untuk mengoptimalkan fungsi produktif atau fungsi reproduktif.[4] Namun dengan adanya persaingan dalam lapangan kerja, hal ini memunculkan suatu pilihan rasional bagi pekerja untuk menunda perkawinan dan membatasi jumlah anak. Secara struktural, tren ini menjadikan angka kelahiran penduduk turun yang kemudian mempengaruhi struktur demografi dalam jangka panjang.
Saat ini, dua negara maju yang telah disebutkan di atas tengah menghadapi penuaan penduduk. Krisis usia produktif di Jepang dan China bermula saat angka kelahiran berada di bawah tingkat pergantian (replacement level)penduduk yaitu angka absolut 2,1. Jepang telah mengalami itu selama 50 tahun terakhir sedangkan China baru sejak tahun 1992. Hal ini akan tampak jelas jika dilihat dari usia median penduduk dan porsi penduduk lansia. Berdasarkan data terakhir, usia median dua negara Asia Timur ini adalah 49 tahun untuk Jepang dan 39 tahun untuk China.[5] Dari situ tidak mengherankan apabila proporsi usia 60+ di Jepang mencapai 36 persen (40 juta lansia) sedangkan di China mencapai 20 persen (290 juta lansia).
Fakta itu membuat dua negara tersebut mengubah arah kebijakan perencanaan keluarga yang akan meningkatkan angka kelahiran. Kalau pemerintah China telah mencabut denda yang terkait dengan melahirkan lebih dari satu anak dan mulai membolehkan pasangan memiliki sampai 3 anak, pemerintah Jepang malah memberikan insentif yang cukup besar untuk setiap bayi yang lahir.[6] Tentu kebijakan seperti ini baru akan terlihat dampaknya dalam jangka panjang dan tidak mengatasi secara langsung persoalan-persoalan yang terkait dengan penuaan penduduk.
Apa yang paling dibutuhkan oleh para penduduk senior adalah sistem perlindungan sosial dan jaminan kesehatan. Kedua negara maju tersebut tampaknya tidak akan menghadapi kendala yang serius dalam menyelenggarakan perlindungan sosial dan layanan kesehatan untuk lansia karena memiliki stabilitas politik serta kapasitas intervensi yang cukup baik.
Lantas bagaimana dengan Indonesia yang baru mengalami penuaan penduduk pada tahun 2021? Apakah Indonesia akan memiliki trajektori yang sama dengan Jepang dan China? Apa strategi kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia dalam menghadapi penuaan penduduk?
Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan fenomena penuaan penduduk di Indonesia. Fokus analisa akan diarahkan pada tiga persoalan yaitu pilihan strategi kebijakan, fungsi jaminan sosial, serta peran pemerintah daerah dan komunitas masyarakat. Ketiga persoalan ini sangat terkait dengan kondisi pasar tenaga kerja Indonesia yang fleksibel. Penulis berargumen bahwa penuaan penduduk Indonesia dapat diminimalisir dampaknya apabila terdapat perbaikan tata kelola lapangan kerja dan terciptanya kolaborasi antara pemerintah lokal dengan komunitas masyarakat dalam menyelenggarakan layanan dan jaminan sosial untuk lansia.
Penuaan Penduduk Indonesia
Penuaan penduduk (ageing population) merujuk pada fenomena peningkatan porsi penduduk lanjut usia (lansia) di suatu wilayah tertentu. Lansia sendiri adalah sebutan untuk penduduk yang berumur 60 tahun lebih.[7] Secara formal, suatu wilayah dikatakan mengalami penuaan penduduk apabila porsi kelompok lansia lebih dari 10 persen dari total penduduk. Porsi 10 persen ini berfungsi sebagai indikator kebergantungan kelompok post-produktif terhadap kelompok usia produktif dalam struktur perekonomian. Di samping itu batas minimal usia lansia yang 60 tahun itu lebih terkait dengan rata-rata usia pensiun di sektor formal daripada kemampuan untuk terus bekerja.
Kapan Indonesia mengalami penuaan penduduk? Kita dapat menemukan jawabannya ketika melihat data struktur penduduk Indonesia. Data itu menyebutkan bahwa proporsi penduduk lansia Indonesia telah mencapai 10,8 persen pada tahun 2021. Jika penduduk Indonesia ada 272 juta maka di tahun itu jumlah lansia diperkirakan mencapai 29 juta jiwa. Ini merupakan jumlah yang cukup besar dan tren ke depan akan semakin meningkat. BPS memperkirakan bahwa pada tahun 2045 porsi penduduk lansia Indonesia berada di angka 20,31 persen atau berjumlah sekitar 72 juta jiwa.[8] Dengan demikian dalam dua dekade mendatang jumlah lansia akan bertambah lebih dari dua kali lipat.
Sejauh ini struktur demografi Indonesia dapat dikatakan relatif stabil. Ini merupakan modal besar bagi pemerintah untuk menjalankan program-program pembangunan. Stabilitas struktur demografi ini dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang berada di ambang batas wajar. Dalam 20 tahun terakhir, pemerintah Indonesia berhasil menekan angka kelahiran total di kisaran angka 2,1 sampai 2,6. Dengan tingkat reproduksi ini Indonesia akan memiliki pasokan sumberdaya manusia secara kontinyu. Ini akan membuat Indonesia relatif terhindar dari krisis tenaga kerja produktif yang sedang dialami negara-negara maju seperti Jepang, China dan Jerman. Kendati demikian data memproyeksikan bawa tren angka kelahiran Indonesia cenderung akan menurun. Kecenderungan ini tampak jelas di wilayah-wilayah yang perekonomiannya tumbuh pesat misalnya Jakarta dan Yogyakarta.
Membaiknya umur harapan hidup juga berarti penuaan penduduk akan berlangsung lebih lama. Saat ini umur harapan hidup saat lahir Indonesia mencapai 74 tahun. Jika kita menengok ke belakang ini merupakan capaian yang luar biasa karena pada era 90an angka harapan hidup masih 64 tahun.[9] Para ahli bahkan telah memperkirakan bahwa umur harapan hidup Indonesia pada tahun 2045 berada di angka 78 tahun. Singkatnya, para lansia Indonesia akan memiliki umur yang lebih panjang. Ini akan menjadi persoalan serius kalau para lansia memiliki kondisi kesehatan yang buruk dan tidak memiliki aktivitas sosial. Maka daripada itu hal yang harus disiapkan adalah mekanisme perlindungan sosial dan cakupan jaminan kesehatan.
Penuaan penduduk tentu tidak bisa dilepaskan dari distribusi penduduk. Dari 34 provinsi di Indonesia, yang telah memasuki fase penuaan penduduk ada 18 provinsi. Kita harus ingat bahwa hampir 60 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 140 juta orang yang hidup di Pulau Jawa. Fakta ini yang menjadikan Pulau Jawa sebagai pulau dengan kepadatan tertinggi di dunia. Pulau Jawa sendiri dibagi menjadi 6 wilayah provinsi. Keenam wilayah administrasi ini rupanya telah memasuki fase penuaan penduduk atau memiliki porsi penduduk lansia lebih dari 10 persen. Dari situ, tidak mengherankan apabila tiga wilayah dengan porsi penduduk lansia terbesar di Indonesia secara berturut-turut adalah DI Yogyakarta (16,02 persen), Jawa Timur (15,57 persen) dan Jawa Tengah (15,05 persen).[10]
Bagaimana kondisi para lansia dapat kita lihat dari dimana mereka tinggal. Secara umum para lansia di Indonesia lebih diakomodir oleh keluarga besar. Artinya mereka tergabung dalam rumah tangga anak atau saudara mereka baik dalam kapasitas membantu atau sekedar menumpang. Berdasarkan data Susenas, hanya sepertiga lansia yang tinggal sendiri atau bersama pasangannya. Mereka ini dapat kita sebut sebagai rumah tangga lansia yang mandiri. Beberapa karakteristik dari rumah tangga ini adalah memiliki sumber penghasilan tetap, jarang mengalami keluhan kesehatan, dan aktif secara sosial. Kendati demikian yang jelas rumah tangga lansia membutuhkan layanan asistensi untuk mengatasi keluhan-keluhan yang muncul pada usia lanjut.
Strategi Pemerintah Menghadapi Penuaan Penduduk
Pemerintah Indonesia merespon tren penuaan penduduk (ageing population) di atas dengan mengeluarkan Perpres Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan. Kebijakan ini sebenarnya lebih berfungsi sebagai acuan pemerintah pusat dan daerah serta para pemangku kepentingan dalam mewujudkan lanjut usia (lansia) yang mandiri, sejahtera dan bermartabat. Dalam dokumen ini terdapat satu poin menarik yang mana kelanjutusiaan harus diintegrasikan dengan pembangunan nasional dan daerah. Dengan kata lain persoalan penuaan penduduk harus selalu dipertimbangkan dalam membuat kebijakan dan menjalankan program-program intervensi pemerintah.
Dari sisi pengambil kebijakan, penambahan jumlah penduduk lansia harus diantisipasi dengan membuat para lansia dalam keadaan sehat, aktif dan produktif. Cara ini memang sangat menarik namun tampak sedikit obsesif. Sebagai agenda kebijakan, hal itu akan dicapai melalui dua pendekatan. Pertama adalah pendekatan pemenuhan hak dasar dan iklusivitas. Yang terakhir pendekatan peningkatan kapasitas, produktivitas dan perlindungan lansia. Kedua pendekatan tersebut lantas dirumuskan dalam 5 strategi, yaitu:
- Peningkatan perlindungan sosial, jaminan sosial dan kapasitas individu
- Peningkatan kualitas kesehatan dan hidup lansia
- Pembangunan masyarakat dan lingkungan yang ramah lansia
- Penguatan kelembagaan pelaksana program kelanjutusiaan
- Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak lansia
Masing-masing strategi tersebut memiliki beberapa arah kebijakan yang disertai dengan indikator, target capaian serta lembaga yang bertanggungjawab. Dari segi pelaksanaan program, hal tersebut digunakan sebagai landasan dalam melakukan fungsi monitoring dan evaluasi. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa mesin birokrasi tidak akan berjalan tanpa adanya komitmen kelembagaan.[11]
Semenjak adanya desentralisasi politik, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih luas dalam menjalankan fungsi pembangunan.[12] Hal ini rupanya malah menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan program-program pemerintah pusat di daerah. Dengan keragaman infrastruktur, sumberdaya serta kapasitas kepemimpinan, tidak sedikit pemerintah daerah yang harus mengakui keterbatasan mereka dalam menjalankan program. Tentu fakta ini akan mempengaruhi efektifitas pelaksanaan program kelanjutusiaan di daerah. Salah satu implikasi terbesarnya adalah masalah-masalah yang terkait dengan lansia menjadi tidak tertangani.
Dari penjelasan di atas kita perlu memberikan tanggapan atas pendekatan dan strategi yang diambil pemerintah dalam menghadapi penuaan penduduk. Paling tidak ada tiga catatan kritis yang penting untuk dikemukakan. Pertama, skala yang dapat dicapai dari program kelanjutusiaan akan sangat terbatas jika tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil. Kedua, sistem perlindungan sosial untuk lansia menjadi kurang optimal jika tidak ada dorongan untuk berkontribusi dari kelompok produktif. Ketiga, skema pemberdayaan lansia akan minim dampaknya apabila peluang-peluang berbisnis tidak diperluas.
Program kelanjutusiaan akan memiliki dampak yang signifikan apabila didukung dengan data dan informasi yang kredibel.[13] Di sini peran institusi riset sangat penting tidak hanya untuk memetakan persoalan tetapi juga melakukan inovasi-inovasi perekayasaan sosial yang akan meningkatkan kesejahteraan lansia. Oleh karena itu upaya-upaya sinergis antara pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat perlu diintensifkan untuk mengakselerasi perbaikan kondisi dan layanan untuk kelompok lansia.
Lemahnya Sistem Perlindungan untuk Lansia
Menjadi lansia yang mandiri, sejahtera dan bermartabat merupakan dambaan bagi setiap pekerja. Setelah melalui masa produktif, mereka mungkin membayangkan akan menjalani hari-hari tua dengan aktivitas yang menyenangkan. Namun kehidupan lansia malah menjadi persoalan apabila selama menjadi pekerja mereka memiliki penghasilan yang rendah sehingga tidak mampu berinvestasi atau memiliki tumpuan pada saat dibutuhkan. Dengan kondisi lapangan kerja di Indonesia yang masih didominasi oleh sektor informal maka tidak mengherankan apabila produktivitas para pekerja menjadi terbatas. Keterbatasan ini lantas membuat mereka enggan untuk masuk dalam sistem pelaporan penghasilan dan berpartisipasi dalam skema perlindungan sosial.
Kita tahu bahwa persoalan yang sering dialami lansia adalah tidak produktif, memiliki keluhan kesehatan dan membutuhkan pendamping. Di negara-negara maju, persoalan ini diatasi dengan program perlindungan sosial untuk lansia. Program ini dijalankan dengan skema membayar iuran bulanan dalam jangka waktu tertentu yang akan diterima kembali ketika memasuki usia pensiun. Skema ini mungkin hanya bisa berjalan efektif di negara-negara dengan sektor formal yang kuat dan pendapatan per-kapita yang relatif tinggi. Logikanya, ketika masih produktif pekerja harus menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk membiayai kebutuhan hidup setelah pensiun.[14] Dengan demikian cara kerja jaminan sosial lebih sebagai asuransi hari tua.
Skema seperti itu tidak akan dapat berjalan di Indonesia yang sebagian besar tenaga kerja beraktivitas di sektor ekonomi informal. Di sektor ini mereka kerap menerima gaji atau upah di bawah standar yang berlaku. Meski data menunjukkan bahwa penghasilan per-kapita Indonesia mencapai 75 juta ($ 4.919)[15] tapi sangat banyak pekerja yang penghasilan rata-ratanya di bawah 4 juta dalam satu bulan. Oleh karena itu tidak salah kalau mayoritas para pekerja Indonesia merasa terbebani ketika ikut dalam program jaminan sosial.
Sebagai pengelola program jaminan sosial, BPJS Ketenagakerjaan memiliki beberapa skema yang menarik seperti Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Data menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang aktif mengikuti skema-skema jaminan tersebut ada 36 juta.[16] Jika total angkatan kerja di Indonesia mencapai 147 juta artinya program jaminan sosial hanya diakses oleh seperempat pekerja Indonesia. Hal ini menunjukkan dua fakta penting. Pertama, sistem jaminan sosial untuk lansia di Indonesia sangat lemah. Kedua, para pekerja Indonesia akan mengalami kerentanan ketika mereka berusia lanjut.
Berdasarkan fakta tersebut, ada dua hal penting dilakukan dalam menghadapi fenomena penuaan penduduk yaitu mengoptimalkan peran pemerintah lokal dan menguatkan layanan lansia secara komunal. Ini diharapkan akan menciptakan suatu mekanisme perlindungan lansia yang berakar pada masyarakat sekitar.
Peran Pemerintah Lokal dan Komunitas Masyarakat
Indonesia adalah negara yang memiliki modal kultural paling kaya di dunia. Modal kultural ini tercermin dari perilaku warga yang suka membantu dan berbagi.[17] Sikap-sikap altruistik ini tetap mencolok karena sebagian besar masyarakat masih menjaga tradisi komunal. Pada level tertentu tradisi ini memang tampak kontraproduktif karena kerap memperlambat tumbuhnya budaya sipil yang menjunjung tinggi aturan hukum dan menghargai kesetaraan hak. Terlepas dari itu, karakter komunal masyarakat Indonesia sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai mesin pendorong program kesejahteraan, khususnya yang terkait dengan lansia.
Pemanfaatan modal budaya tersebut tentu membutuhkan suatu pola pengorganisasian yang didukung oleh partisipasi aktif masyarakat. Pemerintah lokal adalah pihak yang memegang otoritas untuk menjalankan pola-pola pengorganisasian masyarakat secara langsung. Namun mereka sering kali tidak memiliki visi kesejahteraan dan tidak tahu bagaimana caranya mengoptimalkan sumberdaya yang ada. Ini merupakan persoalan kapasitas kelembagaan yang hanya dapat diselesaikan dalam jangka panjang.
Kendati demikian program-program kesejahteraan untuk lansia masih dapat dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan kolaborasi antar sektor. Program kolaborasi ini harus diarahkan disamping untuk memperkuat peran pemerintah lokal juga meningkatkan partisipasi masyarakat. Satu studi menemukan bahwa pemerintah lokal yang menerapkan strategi kolaborasi dan partisipasi memiliki layanan lansia yang lebih banyak dan beragam.[18] Namun, program kesejahteraan yang kita bahas di sini lebih ditujukan untuk mendorong komunitas masyarakat mampu menyelenggarakan layanan dan jaminan yang dibutuhkan lansia.
Terakhir, tulisan ini ingin menekankan bahwa dalam menghadapi penuaan penduduk pemerintah Indonesia harus fokus pada dua hal. Pertama adalah upaya meningkatkan kualitas SDM dan memperbaiki tata kelola perekonomian, khususnya dalam lapangan kerja. Ini akan berimplikasi pada kemampuan tenaga kerja Indonesia dalam mengakses program perlindungan sosial. Terakhir, yang tidak kalah penting juga, mengakselerasi program-program kolaborasi yang akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan layanan dan perlindungan lansia. Jika tidak Indonesia harus siap menaggung beban persoalan Generasi Perak.
[1] Warren C Robinson and John A Ross, ‘Family Planning: The Quiet Revolution’, The Global Family Planning Revolution, 2007, 421.
[2] Mikiko Oliver, ‘Population Ageing and Economic Growth in Japan’, International Journal of Sociology and Social Policy, 35.11/12 (2015), 841–63.
[3] Fei Wang, Liqiu Zhao, and Zhong Zhao, ‘China’s Family Planning Policies and Their Labor Market Consequences’, Journal of Population Economics, 30 (2017), 31–68.
[4] Gianpiero Dalla Zuanna, ‘Social Mobility and Fertility’, Demographic Research, 17 (2007), 441–64.
[5] Rong Chen and others, ‘China Has Faster Pace than Japan in Population Aging in next 25 Years’, Bioscience Trends, 13.4 (2019), 287–91.
[6] Stuart Basten and Quanbao Jiang, ‘China’s Family Planning Policies: Recent Reforms and Future Prospects’, Studies in Family Planning, 45.4 (2014), 493–509; Chigusa Yamaura, ‘The Cultural Politics of Childcare Provision in the Era of a Shrinking Japan’, Critical Asian Studies, 52.2 (2020), 248–69.
[7] Sebagai catatan: beberapa literatur statistik penduduk menerapkan batas lansia adalah 65 tahun. Biasanya ukuran ini digunakan untuk mengukur kelompok usia produktif (15-65 tahun) dan menghitung rasio ketergantungan penduduk. Ini akan lebih terkait dengan angka partisipasi kerja. Namun penerapan batas usia 60 tahun sebagai lansia akan sangat berguna dalam perumusan kebijakan tentang perlindungan sosial dan jaminan kesehatan.
[8] BPS. Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050 Hasil Sensus Penduduk 2020. (Jakarta: 2023).
[9] Nafsiah Mboi and others, ‘On the Road to Universal Health Care in Indonesia, 1990–2016: A Systematic Analysis for the Global Burden of Disease Study 2016’, The Lancet, 392.10147 (2018), 581–91.
[10] BPS, Statistik Penduduk Lanjut Usia 2023. Vol. 20 (Jakarta: 2023)
[11] Linda C Dalton and Raymond J Burby, ‘Mandates, Plans, and Planners: Building Local Commitment to Development Management’, Journal of the American Planning Association, 60.4 (1994), 444–61.
[12] Bert Hofman and Kai Kaiser, ‘Decentralization, Democratic Transition, and Local Governance in Indonesia’, 2006.
[13] George Kudrna, Trang Le, and John Piggott, ‘Macro-Demographics and Ageing in Emerging Asia: The Case of Indonesia’, Journal of Population Ageing, 15.1 (2022), 7–38.
[14] Karl Hinrichs, ‘The German Welfare State System: With Special Reference to the Old-Age Pension System’, in The Routledge International Handbook to Welfare State Systems (Routledge, 2017), pp. 276–89.
[15] Lihat https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/02/05/2379/ekonomi-indonesia-triwulan-iv-2023-tumbuh-5-04-persen–y-on-y-.html
[16] Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa jumlah peserta Jaminan Hari Tua (JHT) ada 17,5 juta sedangkan peserta Jaminan Pensiun ada 14 Juta. Untuk lebih lengkap lihat Laporan Pengelolaan Program BPJS Ketenagakerjaan Tahun 2022.
[17] Lihat https://filantropi.or.id/en/indonesia-returns-as-the-most-generous-country-in-the-world/
[18] Mildred E Warner and Xue Zhang, ‘Serving an Ageing Population: Collaboration Is Key’, Local Government Studies, 47.3 (2021), 498–517.