Oleh: Agus S Efendi
Pembukaan undang-undang dasar 1945 memuat sebuah frase yang menyatakan bahwa salah satu tujuan berbangsa dan bernegara adalah memajukan kesejahteraan umum. Frase ini menarik untuk diperhatikan bukan hanya karena memuat tujuan universal yang dapat diterima oleh siapa saja akan tetapi kesejahteraan umum juga memerlukan interpretasi bagaimana, dengan apa dan pada hal apa ia diwujudkan. Dengan pluralitas bangsa Indonesia dan keragaman budaya di dalamnya, interpretasi atas kesejahteraan umum kerap larut dalam perdebatan yang tidak membuahkan suatu konsensus. Meskipun demikian, satu hal yang mesti dilakukan adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam memajukan taraf kesejahteraan.
Sarana yang dapat digunakan untuk mendorong partisipasi masyarakat adalah wacana dan program kegiatan. Untuk yang pertama, yang menjadi fokus adalah penumbuhan kesadaran masyarakat. Yang terakhir lebih menekankan praktik-praktik yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Dari dua hal tersebut mungkin partisipasi masyarakat melalui program kegiatan menjadi pilihan utama karena selain mampu menggerakkan warga secara langsung juga praktik tersebut dapat menginspirasi yang lain.
Pada abad yang lalu pendekatan kesejahteraan yang populer di Indonesia lebih bersifat sentralistik. Pendekatan sentralistik merupakan cerminan dari kekuasaan yang otoriter dengan jajaran birokrasi yang gemuk. Hal ini dapat kita lihat dari program pemerintah seperti transmigrasi dan keluarga berencana. Memasuki milenium baru, khususnya setelah era reformasi, pendekatan itu mulai ditinggalkan dan digantikan dengan interpretasi kesejahteraan yang lebih kreatif dan inklusif. Pada masa ini peran masyarakat sipil sangat tampak jelas terutama pada inovasi wacana dan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Sebagai masyarakat mayoritas Muslim, proses inovatif tersebut telah membuka suatu diskursus tentang kesejahteraan dalam perspektif Islam. Hal ini merupakan jawaban atas kegelisahan Terrence H. Hull yang menyatakan bahwa hambatan terbesar dalam peningkatan taraf kesejahteraan di Indonesia adalah agama, budaya dan pendidikan. Interpretasi kesejahteraan melalui perspektif Islam akan memudahkan masyarakat Muslim Indonesia dalam memahami tuntutan kehidupan modern.
Kesejahteraan dan Keluarga
Sejauh ini, kesejahteraan (welfare) lebih dipahami dalam kerangka wilayah kedaulatan atau negara. Ambil contoh konsep negara kesejahteraan (welfare-state). Konsep ini dapat diartikan sebagai suatu pandangan [ideal] tentang tatanan masyarakat yang mampu menjamin kebutuhan dasar warganya serta menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan (public goods) dengan baik. Namun konsep yang berkembang di Barat ini mengandung suatu asumsi bahwa kesejahteraan harus diberikan kepada tiap-tiap individu warga negara. Dengan kata lain negara kesejahteraan (welfare-state) mempromosikan suatu pandangan individualistik. Tentu harus diakui bahwa konsep ini telah terbukti membawa bangsa Barat lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lain.
Data indikator kebahagiaan global mencantumkan suatu fakta yang menarik bahwa negara-negara Scandinavia merupakan negara yang paling maju dalam membangun kualitas hidup (well-being). Memang dari segi kebudayaan di negeri-negeri itu relatif seragam karena memiliki asal-usul yang sama. Di samping itu ketika menengok sejarah perkembangan mereka, bangsa-bagsa Nordik rupanya memiliki suatu kesepahaman dan apresiasi yang sangat besar terhadap warisan budaya. Mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa pendidikan di sana sangat inklusif dan kualitas hidup begitu tinggi.
Sejak tahun 1994, terutama setelah International Conference of Population dan Development (ICPD) di Cairo, banyak negara berkembang yang berupaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat mulai mengadopsi suatu pendekatan pembangunan yang mempertimbangkan dengan serius fungsi dan peran keluarga. Pada saat itu masyarakat internasional sedang gencar untuk mempromosikan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam pertemuan tersebut, ada beberapa isu yang menjadi sorotan seperti kesehatan reproduksi, akses pendidikan serta status dan peran perempuan. Untuk menyasar isu tersebut dengan tepat maka tidak mengherankan apabila keluarga kemudian dipandang sebagai kunci dalam pembangunan yang berkelanjutan. Namun yang menarik adalah kerangka pendekatan yang digunakan lebih bersifat integratif dan komprehensif. Kerangka ini diyakini akan meningkatkan kualitas hidup baik untuk seluruh penduduk dunia maupun untuk generasi mendatang.
Merespon hal tersebut, Indonesia lalu mengubah strategi pembangunan penduduk dari yang semula hanya menekankan pengontrolan angka fertilitas (program “keluarga berencana”) menjadi fokus pada penyediaan layanan bagi keluarga terutama untuk ibu dan anak (gerakan “keluarga sejahtera”). Isu terpenting yang muncul adalah tentang hak kesehatan reproduksi dan seksualitas. Tentu hal ini juga terkait dengan masalah persamaan hak dalam relasi berkeluarga. Bagi pemerintah Indonesia hak-hak ini tidak didasarkan pada keputusan individual namun lebih pada keputusan keluarga sebagai satu unit. Jadi prinsip kesejahteraan keluarga yang diterapkan Indonesia masih mempertimbangkan norma, nilai-nilai budaya dan agama.
Keluarga Maslahah
Salah satu wacana kesejahteraan yang berkembang dengan perspektif Islam adalah keluarga maslahah. Wacana ini pada dasarnya ingin mengajak kalangan Muslim tradisional untuk lebih sadar terhadap hidup yang berkualitas. Kalau kita amati memang kluster penduduk Indonesia yang jumlahnya cukup besar ini relatif tertinggal terhadap isu-isu kesejahteraan. Mungkin hambatan terbesarnya adalah pandangan hidup yang sangat mengakar pada tradisi Islam sehingga kurang begitu tertarik pada nilai-nilai kemodernan. Bagi Muslim tradisional, khazanah keislaman adalah sumber rujukan yang tidak tergantikan. Oleh karena itu untuk menumbuhkan kesadaran tentang kesejahteraan dibutuhkan term-term yang familiar dalam pemahaman mereka. Istilah keluarga maslahah sebenarnya memiliki arti yang sama dengan keluarga sejahtera (family wellbeing). Sebagai sebuah konsep, tentu keluarga maslahah mengandung muatan khusus dan memiliki sejumlah karakter tertentu.
Keluarga maslahah juga dapat dipahami sebagai produk dari pendekatan holistik dalam pembangunan. Pembangunan holistik tidak hanya menekankan pada peningkatan akses pendidikan dan kesehatan tetapi juga kesejahteraan keluarga sebagai dasar untuk menumbuhkan generasi masa depan Indonesia yang cerdas, beradab dan berpengetahuan. Menurut Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU), maslahah bermakna kebaikan dan kesejahteraan. Baik ke dalam keluarga, untuk seluruh anggotanya, laki-laki maupun perempuan, juga keluar ke tetangga, masyarakat yang luas, penduduk dunia, dan alam semesta. Dengan kata lain maslahah adalah upaya untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan manusia yang bersendikan pada prinsip menarik manfaat dan menolak kerusakan.
Dalam kerangka teoretik, keluarga maslahah memiliki keterkaitan dengan konsep maqosid shariah. Misalnya soal terpeliharanya kesehatan ibu dan anak, tersedianya pendidikan bagi anak dan terjaminnya kebutuhan dasar keluarga. Ketiga contoh tersebut mencerminkan prinsip melindungi nyawa (hifzdun nafs), melindungi keturunan (hifdzun nasl), melindungi akal (hifzdul ‘aql), dan melindungi harta (hifdul mal).
Alissa Wahid merumuskan tiga prinsip dasar dalam keluarga maslahah yaitu; keadilan (muadalah), kesalingan (mubadalah) dan keseimbangan (muwazanah). Ketiga prinsip ini baru bisa kokoh jika disertai dengan lima pilar keluarga maslahah. Yang pertama, pilar pasangan suami-istri (zawaj) yang menekankan kesejajaran status dan posisi dalam keluarga. Kedua, pilar perjanjian agung (mitsaqon gholidzho) yang mensakralkan ikatan dan komitmen perkawinan. Ketiga, pilar hubungan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf) yang mempertimbangkan kepatutan, kelayakan dan martabat keluarga. Keempat, pilar kerihaan (taradhin) yang menekankan sikap tidak gampang menuntut dan mampu mengendalikan diri. Terakhir, musyawarah sebagai sarana untuk mengolah dan menyambungkan keempat pilar di atas.
Dalam tataran praxis, Ida Fauziyah mengatakan bahwa keluarga maslahah dapat menjadi rujukan dalam pengembangan ketahanan keluarga. Terkait dengan hal ini keluarga maslahah merupakan upaya pengembangan keluarga yang bahagia, sejahtera dan taat kepada ajaran agama di lingkungan NU.
Referensi
Cohen, Susan A, and Cory L Richards, ‘The Cairo Consensus: Population, Development and Women’, Family Planning Perspectives, 26.6 (1994), 272–77
Hull, Terence H, ed., People, Population, and Policy in Indonesia (Jakarta: Equinox Publishing, 2005)
Palmier, Leslie H, ‘Centralization in Indonesia’, Pacific Affairs, 33.2 (1960), 169–80
Quadagno, Jill, ‘Theories of the Welfare State’, Annual Review of Sociology, 13 (1987), 109–28
UNFPA, Report of the International Conference on Population and Development (Cairo, 1994)
https://www.nu.or.id/wawancara/keluarga-unggul-indonesia-tercipta-dari-keluarga-maslahah-oLI6U
https://www.nu.or.id/nasional/keluarga-maslahah-ZNpa6