Reporter: Syamsul Ma’arif
Editor: Agus S Efendi

Pada Jum’at 14 Oktober 2022, Pusdeka menyelenggarakan Talk Series secara daring dengan tema “Kesehatan Reproduksi Remaja Putri dalam Perspektif Hak Anak Perempuan.” Kegiatan yang berlangsung antara pukul 15.30-17.00 sore ini ditujukan untuk memperingati hari anak perempuan sedunia yang jatuh tiga hari sebelumnya. Dalam kegiatan ini Pusdeka mengundang direktur perwakilan UNICEF wilayah jawa, Arie Rukmantara dan manajer knowledge manajement Rifka Annisa WCC, Nurmawati sebagai narasumber. Dan moderator dari kegiatan ini adalah Fadmi Rina, dosen UNU Yogyakarta.

Dalam pengantarnya, Rindang Farihah menyampaikan bahwa Talk Series kali ini diselenggarakan guna memberikan wawasan baru dan edukasi kepada masyarakat wabil khusus kepada para orang tua tentang hak anak. Direktur Pusdeka ini juga mengatakan bahwa peran orang tua dalam keluarga adalah pengampu madrasatul ula atau ruang pendidikan yang pertama. Hal ini menjadi urgen dilakukan karena masih banyak anak-anak perempuan yang rentan terhadap praktik-praktik kekerasaan. Dengan penyebaran wawasan tentang hak anak perempuan ini, harapanya paling tidak para orang tua akan lebih peduli dan sadar tentang persoalan yang dihadapi oleh putri mereka.

Rindang menegaskan bahwa orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan anak remaja. Orang tua disamping sebagai penentu masa depan anak remaja juga harus menanamkan nilai moral yang baik kepada anak. Salah satunya dengan cara menjeleskan kerugian yang ditimbulkan dari hubungan seksual pranikah, serta risiko hingga konsekuensi dari ketidaksiapan mental dalam memulai kehidupan berumah tangga akibat kehamilan yang tidak direncanakan.

Sebagai narasumber pertama, Arie Rukmantara pertama-tama memperkenalkan sepak terjang dan program kerja UNICEF dalam menciptakan perdamaian dunia. Di sela penjelasannya, Ia sempat memutarkan video klip legendaris berjudul We Are the World. Pesan penting dari video itu adalah semangat dan kesadaran untuk memperhatikan nasib anak-anak di seluruh dunia. Namun untuk konteks saat ini, Sekjen PBB Antonio Guteres mengatakan bahwa berinvestasi pada anak-anak perempuan merupakan langkah untuk membentuk masa depan bersama. Terkait itu, Arie menyoroti nasib 25 juta anak perempuan Indoneisa yang masih rentan karena menghadapi berbagai tantangan seperti pernikahan dini, rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dan kebersihan tubuh.

Arie kemudian menterjemahkan investasi pada remaja putri itu sebagai upaya untuk meningkatkan akses remaja putri dalam mendapatkan aktivitas pembelajaran skill yang dibutuhkan abad ini. Adapun tiga skill terpenting itu meliputi kreativitas, menghargai perbedaan dan kerja sama. Sayangnya, masih ada fakta yang mengatakan bahwa satu dari sembilan anak perempuan Indonesia menikah di usia sebelum 18 tahun. Apalagi anak perempuan cenderung lebih rentan terhadap praktik tradisional untuk segera mengawinkan anak daripada anak laki-laki. Ari menekankan bahwa persoalan ini perlu menjadi perhatian bersama dan membutuhkan strategi khusus untuk mencegahnya.

Nurmawati mengatakan bahwa perkawinan anak, selain melanggar hak-hak anak dengan memaksa mereka berhenti sekolah, juga mengakibatkan kemiskinan antar generasi, merusak pendidikan jangka panjang mereka, kemampuan untuk mencari nafkah dan ironisnya juga dapat bertambah jumlahnya. Dari pengalaman advokasi Rifka Annisa, kekerasan anak dan kekerasan berbasis gender akan cenderung menurun jika edukasi terhadap keluarga dan anak-anak intensif dilakukan. Metode edukasi yang efektif adalah dengan diskusi komunitas yang mempertimbangkan budaya lokal.

Selain itu, Nurmawati juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hak kesehatan reproduksi adalah sebuah keadaan sejahtera baik secara fisik, mental dan sosial yang utuh.  Tidak semata-mata terbebas dari penyakit. Ia menambahkan bahwa ada dua komponen utama dalam hak kesehatan reproduksi remaja. Pertama, hak kesehatan seksual yang mencakup bebas dari tekanan masing-masing gender, bebas diskriminasi, dan juga bebas menentukan pasangan. Kedua, hak reproduksi yang mencakup hak untuk mendapatkan akses pelayanan mengenai kesehatan reproduksi, hak untuk mendapatkan alat kontrasepsi, dan hak untuk mendapatkan pendidikan yang komprehensif tentang reproduksi.

Dalam sesi interaktif, seorang perserta menayakan tentang peran seorang bapak dalam praktik pernikahan anak. Pertanyaan ini direspon oleh dr Karina dari tim UNICEF dengan memberikan perspektif kesehatan. Ia mengatakan bahwa pernikahan anak memiliki beberapa resiko seperti kompetisi pertumbuhan ibu dengan janin (anak mengandung anak) dan kesiapan mental dalam mengasuh anak. Dari sisi psikologis, anak-anak yang hamil akan memutus kesempatan untuk lanjut sekolah, risiko kekerasan dalam rumah tangga, kemandirian ekonomi, dan risiko perceraian. Menaggapi hal ini, Nurmawati lalu menekankan bahwa kunci pencegahan kekerasan dan perkawinan anak adalah keluarga.