Oleh: Agus S Efendi
Satu dasawarsa terakhir, bonus demografi menjadi salah satu wacana publik yang paling sering diperbincangkan. Kalau diamati, diskusi ini tampak lebih menekankan segi optimisme akan potensi bonus demografi terhadap kesejahteraan ekonomi. Misalnya, dalam kebijakan pembangunan nasional disebutkan bahwa bonus demografi merupakan sebuah kesempatan yang harus dimanfaatkan untuk menyongsong Indonesia Emas.[1] Lalu yang menjadi persoalan adalah apa yang sebenarnya dimaksud dengan bonus demografi? Dan bagaimana hubungannya dengan kesejahteraan?
Untuk menjawab dua persoalan tersebut paling tidak kita harus melihat konteks apa yang memperlakukan penduduk sebagai objek administrasi. Konteks yang dimaksud disini bukan lain adalah bentuk pengorganisasian masyarakat dalam kerangka negara-bangsa (national-state). Karena kewajiban utama negara adalah menjamin keamanan dan kebutuhan dasar warga negara, maka tidak mengherankan apabila negara perlu melakukan administrasi penduduk.[2] Sensus penduduk merupakan upaya untuk memetakan karakteristik penduduk di suatu negara tertentu. Tujuannya tentu untuk memastikan keamanan dan menjamin kebutuhan penduduk tercukupi secara berkelanjutan. Hasil dari pemetaan ini kemudian lebih dikenal dengan struktur demografi yang menggambarkan berbagai fitur penduduk seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, rumah tangga dan lain sebagainya.
Dalam sejarah terdapat suatu fakta menarik yang menyebutkan bahwa perekonomian suatu negara dapat maju apabila mampu mentransformasi struktur demografi.[3] Hal ini tampak jelas dari negara-negara maju yang sekarang menikmati kesejahteraan. Di abad lalu mereka telah berhasil membuat suatu perencanaan yang efektif untuk mengatur jumlah dan persebaran penduduk serta mampu meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan. Logikanya adalah beban negara akan berkurang jika jumlah penduduk terkontrol dan karena itu negara bisa lebih berkonsentrasi pada perbaikan kualitas layanan publik. Atas dasar pengalaman itulah kaitan antara struktur demografi dan kesejahteraan mulai diperhatikan secara serius baik dari kalangan akademik maupun pemerintah.
Bonus demografi: Sebuah Peluang Membangun Kesejahteraan
Dalam literatur, bonus demografi (demography dividend) merujuk pada fenomena peningkatan pertumbuhan ekonomi yang bermula dari perubahan struktur usia penduduk akibat peralihan angka kelahiran dan kematian.[4] Pandangan konvensional ini mengandaikan bahwa struktur demografi yang stabil akan berimplikasi pada peningkatan produktivitas masyarakat. Sekilas asumsi ini memang masuk akal karena angka kelahiran yang terkontrol akan membuat proporsi antara kluster penduduk usia kerja (umur 15-65 tahun) dengan kluster anak-anak (umur 0-15 tahun) dan lansia (> 65 tahun) mengecil.
Hal itu juga berarti bahwa rasio ketergantungan (dependency ratio), yang membandingkan usia non-produktif dengan usia produktif, juga menurun. Dengan kata lain sebagian besar penduduk mampu bekerja. Inilah yang meningkatkan produktivitas yang nantinya akan mengantarkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun apakah pertumbuhan ekonomi pasti akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat? Jawabannya tentu tidak.
Untuk konteks Indonesia, periset terdepan yang menyoroti bonus demografi adalah Sri Moertiningsih Adioetomo. Dalam pengukuhannya sebagai guru besar bidang ekonomi penduduk, Ia menekankan bahwa rasio ketergantungan Indonesia yang menurun dalam tiga dekade terakhir merupakan sebuah peluang untuk memaksimalkan pembangunan ekonomi.[5] Adieoetomo mengatakan bahwa bonus demografi yang berlangsung di Indonesia antara tahun 2020 hingga 2035 harus menjadi perhatian semua pihak yang berkepentingan khususnya pemerintah.
Tentu peluang bonus demografi ini memiliki banyak dimensi baik yang secara langsung terkait maupun tidak dengan pembangunan ekonomi. Misalnya saja dalam dimensi sosial dan budaya, bonus demografi akan memiliki dampak yang signifikan pada pembangunan perekonomian jika pendidikan selain mudah diakses juga memiliki kualitas yang baik. Di samping itu tersedianya akses dan layanan kesehatan bagi ibu yang mengandung dan menyusui juga berperan penting dalam menjaga potensi generasi masa depan Indonesia.
Dalam diskursus akademik, beberapa peneliti menawarkan paradigma alternatif dalam melihat bonus demografi. Jika dulu yang menyebabkan bonus demografi adalah perubahan struktur usia penduduk, yang terbaru malah lebih menekankan konfigurasi tingkat pendidikan penduduk.[6] Pemahaman yang baru tentang bonus demografi ini menaruh perhatian yang sangat besar pada ketrampilan manusia (human capital).[7] Argumentasinya adalah tingkat fertilitas yang rendah sebenarnya bukan disebabkan oleh keberhasilan program perencanaan keluarga namun lebih dipengaruhi oleh tingkat partisipasi pendidikan yang membaik. Hal ini diperkuat dengan beberapa temuan yang menyatakan bahwa semakin tinggi pencapaian pendidikan seseorang perempuan maka ia akan cenderung untuk memutuskan memiliki lebih sedikit anak. Alasannya adalah peran sosial yang mereka bangun tidak terbatas hanya sebagai ibu rumah tangga namun juga sebagai pekerja yang mandiri. Kondisi yang demikian sedikit banyak berkontribusi pada peningkatan produktivitas masyarakat.
Tantangan Bonus Demografi di Indonesia
Sebuah laporan analisa terhadap bonus demografi Indonesia mengatakan bahwa produktivitas masyarakat akan maksimal jika pasar kerja mampu menyerap angkatan kerja yang berlimpah.[8] Tapi, kalau kita perhatikan seperti apa kondisi pasar kerja serta kualitas angkatan kerja di Indonesia tampaknya banyak hal yang masih perlu dibenahi. Hal ini tampak dari data BPS terakhir yang melaporkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia masih di angka 6 persen.[9] Di samping itu melebarnya sektor informal di perkotaan menunjukkan bahwa kondisi pasar kerja di Indonesia kurang terkelola dengan baik. Akibatnya tidak sedikit angkatan kerja yang gagal merealisasikan potensinya untuk produktif.
Sayangnya instrumen kebijakan yang diambil pemerintah untuk merespon ledakan jumlah tenaga kerja adalah dengan memberlakukan pasar kerja yang fleksibel. Produk hukum dari hal ini adalah undang-undang cipta kerja atau yang sering disebut sebagai Omnibus Law. Undang-undang ini menjadi begitu kontroversial karena dipandang akan membuat sebagian besar pekerja menjadi lebih rentan.[10] Mungkin bagi pemerintah, hal ini adalah kebijakan yang paling tepat untuk mencegah instabilitas sosial dan politik yang disebabkan oleh tidak terserapnya angkatan kerja dalam struktur perekonomian. Meskipun demikian hal ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius dalam membangun kesejahteraan sosial yang mana perekonomian dalam negeri kesulitan dalam memperbesar pasar tenaga kerja.
Disamping itu tantangan lain yang perlu disoroti adalah simpanan atau jaminan finansial di masa depan. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi pembesaran porsi penduduk usia tua dan memastikan mereka untuk memperoleh perlindungan secara finansial.
Adapun tantangan terbesar dalam memaksimalkan bonus demografi adalah membangun sumberdaya manusia. Cuaresma mengatakan bahwa pendidikan merupakan kekuatan utama dari bonus demografi.[11] Dengan kata lain bonus demografi akan memiliki dampak yang besar pada kesejahteraan masyarakat jika pendidikan digarap dan dikembangkan dengan serius. Di sini, pendidikan lebih dipahami sebagai upaya peningkatan ketrampilan manusia (human capital). Kalau kita melihat data pendidikan nasional memang akses pendidikan di Indonesia tampak sudah baik. Tapi sayangnya kualitas pendidikan di Indonesia masih kalah dengan negara tetangga. Hal ini tampak jelas dari kualitas pendidikan di daerah-daerah yang masih tertinggal dan belum merata.
Terakhir, soal tantangan layanan kesehatan tampaknya dijawab pemerintah Indonesia dengan lebih sigap. Dalam satu dekade terakhir pemerintah telah mengupayakan layanan kesehatan universal yang disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain itu penggalakan program kesehatan reproduksi juga diambil oleh pemerintah untuk memastikan bahwa generasi masa depan Indonesia bebas dari stunting.
[1] Kemenko PMK, Menyongsong Indonesia Emas, Menko PMK: Manfaatkan Momentum Bonus Demografi (Siaran Pers Nomor: 230/Humas PMK/IX/2022).
[2] Max Weber, ‘Bureaucracy’, in Weber’s Rationalism and Modern Society New Translations on Politics, Bureaucracy, and Social Stratification, ed. by Tony Waters and Dagmar Waters (New York: Palgrave Macmillan, 2015), pp. 73–128.
[3] Sang-Chul Park and others, ‘Demographic Transition and Its Impacts in Asia and Europe’ (Asian Development Bank Institute, 2021).
[4] Jeffrey G Williamson, ‘Demographic Dividends Revisited’, Asian Development Review, 30.2 (2013), 1–25.
[5] Sri Moertiningsih Setyo Adioetomo, Bonus Demografi: Menjelaskan Hubungan Antara Pertumbuhan Penduduk Dengan Pertumbuhan Ekonomi (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005).
[6] Wolfgang Lutz and others, ‘Education Rather than Age Structure Brings Demographic Dividend’, Proceedings of the National Academy of Sciences, 116.26 (2019), 12798–803.
[7] Wolfgang Lutz and Samir Kc, ‘Global Human Capital: Integrating Education and Population’, Science, 333.6042 (2011), 587–92.
[8] Adrian Hayes and Diahhadi Setyonaluri, ‘Taking Advantage of the Demographic Dividend in Indonesia’, A Brief Introduction to Theory and Practice, 2015.
[9] BPS, Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2020, (Berita Resmi Statistik No. 86/11/Th. XXIII, 5 November 2020).
[10] Adnan Hamid, ‘Analysis of the Importance of Omnibus Law Cipta Kerja In Indonesia’, International Journal of Scientific Research and Management, 8 (2020), 236–50.
[11] Jesus Crespo Cuaresma, Wolfgang Lutz, and Warren Sanderson, ‘Is the Demographic Dividend an Education Dividend?’, Demography, 51.1 (2014), 299–315.