Penulis: Agus S Efendi
Siapa yang tidak tahu kemiskinan. Istilah yang berkonotasi negatif ini kerap menghantui para pendukung pembangunan. Dalam pengalaman sehari-hari kita memahami betul kalau kemiskinan lekat dengan keterbatasan ekonomi. Kemiskinan sendiri dapat didefinisikan sebagai kondisi ketika seseorang tidak mampu memenuhi standar kebutuhan hidup. Tentu terdapat banyak hal yang membuat seseorang miskin. Misalnya ketimpangan struktural, akses pendidikan yang sulit, layanan kesehatan yang sulit hingga tidak memiliki peluang untuk bersaing dalam pasar. Semua hal tersebut telah menjadi tantangan umum dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Survey Ekonomi Nasional pada Maret 2023 menunjukkan bahwa angka kemiskinan ekstrem Indonesia adalah 1,12 persen. Artinya penduduk Indonesia yang memiliki daya beli paritas (purchasing power parity) di bawah $ 1.9 per-hari sekitar 3 juta jiwa. Jika kita tengok ke belakang ternyata angka kemiskinan ekstrem kita relatif tinggi yaitu 7.9 persen pada tahun 2014. Kendati demikian kita dapat mengatakan bahwa dalam satu dekade terakhir angka kemiskinan ekstrem Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Capaian tersebut tentu tidak bisa lepas dari komitmen pemerintah Jokowi. Dalam RJMN tahun 2019-2024 disebutkan bahwa angka kemiskinan ekstrem Indonesia pada tahun 2024 harus 0 persen. Sejak itu pemerintah menggelontorkan dana yang sangat besar untuk membiayai program-program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan. Di masa pandemi program pemerintah tersebut tetap berjalan. Namun kalau dilihat dari hasilnya tampak kurang memuaskan. Merespon hal tersebut, Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem pun dikeluarkan agar target kemiskinan ekstrem nol persen tercapai.
Berdasarkan hal tersebut kita tidak dapat mengatakan bahwa Indonesia berhasil menghapuskan kemiskinan ekstrem. Yang dapat kita katakan adalah Indonesia telah berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem sampai mendekati 0 persen. Pernyataan ini lebih tepat karena kalau kita perhatikan di level daerah angka kemiskinan ekstremnya cukup variatif. Dari 514 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, hampir separuhnya sudah di bawah 1 persen. Namun, masih ada 195 daerah yang memiliki angka kemiskinan ekstrem antara 1-5 persen dan 41 daerah dengan angka di atas 5 persen.
Jika kemiskinan ekstrem terhapus apakah Indonesia lebih sejahtera? Tentu saja tidak. Hal ini dapat kita lihat dari masih tingginya angka kemiskinan nasional. Perlu dicatat bahwa angka kemiskinan nasional memiliki kriteria yang lebih tinggi dari angka kemiskinan ekstrem. Garis kemiskinan nasional kita jika dikonversi dalam dollar adalah sekitar $2,5 per-hari. Jadi seseorang yang memiliki pengeluaran bulanannya kurang dari Rp535 ribu tergolong penduduk miskin. Data terakhir menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 26,3 juta jiwa.
Fakta tersebut membuat agenda pembangunan kesejahteraan menghadapi tantangan yang berat. Padahal saat ini Indonesia sudah berstatus upper-middle income country dan tengah bersiap untuk menjadi high income country. Bagi mereka yang bersikap realist, bayangan Indonesia Emas tahun 2045 pun tampak muram.
Mungkin beberapa dari kita tidak sepakat dengan hal tersebut karena melihat performa yang cukup baik dari perekonomian nasional dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022 pendapatan per kapita Indonesia mencapai $4.580 atau Rp 68,7 juta (1$ = Rp 15.000). Dengan kata lain, rata-rata pendapatan bulanan masyarakat Indonesia adalah Rp 5,7 juta. Hal ini memicu pertanyaan, berapa banyak penduduk Indonesia yang berpenghasilan sebesar itu? Apa yang musti dilakukan agar 26,3 penduduk miskin memiliki penghasilan sebesar itu?
Agenda kebijakan yang perlu didorong adalah membangun kesejahteraan sosial. Kunci utama kesejahteraan adalah produktivitas. Oleh karena itu sektor-sektor yang selama ini kurang produktif harus dikembangkan melalui inovasi teknologi dan industrialisasi. Bersamaan dengan itu sumberdaya manusia yang berkualitas juga perlu dipersiapkan. Talenta-talenta muda harus didorong untuk menggarap peluang-peluang bisnis usaha dari hulu sampai hilir. Pada akhirnya hal ini akan memobilisasi angkatan kerja untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi yang lebih produktif. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya penghasilan masyarakat. Dengan penghasilan yang relatif tinggi tentu masyarakat lebih memiliki kemampuan untuk mengakses kehidupan layak. Dengan kata lain kesempatan untuk merasakan kesejahteraan menjadi terbuka lebar.
Tawaran agenda ini memang terlalu abstrak. Selain perlu dirumuskan secara sistematis ia juga harus dijangkarkan dalam situasi dan kondisi perekonomian di Indonesia. Kendati demikian, tulisan ini ingin menekankan bahwa kemiskinan akan berkurang signifikan ketika masyarakat mampu beraktivitas ekonomi secara produktif. Ini adalah kelemahan utama design kebijakan ekonomi pemerintah Jokowi yang lebih mengutamakan strategi perlindungan sosial.