
Oleh Wahyu Tanoto
Di tengah derasnya arus kehidupan yang serba digital seperti sekarang, masih ada tradisi yang bertahan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan menjadi ruang untuk mempererat silaturahmi. Salah satunya adalah Nyadran, sebuah ritual yang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa menjelang bulan Ramadan. Tradisi ini menjadi penanda akan adanya hubungan antara dunia yang terlihat dan yang tak kasat mata, antara mereka yang masih hidup dan mereka yang telah berpulang.
Merujuk pada kajian antropologi dalam Tradisi dan Budaya Jawa dalam Perspektif Islam, oleh Susanto (2020: 112) menjelaskan bahwa Nyadran merupakan hasil akulturasi budaya Hindu-Buddha dan Islam. Kata Nyadran sendiri berasal dari bahasa Sanskerta Śrāddha, yang berarti penghormatan kepada leluhur (Soekiman, 2000: 87). Bagi masyarakat Jawa, penghormatan ini tidak hanya berupa untaian rapalan bait-bait suci, tetapi juga dalam bentuk perilaku terpuji seperti membersihkan area makam dan menggelar upacara kenduri sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atau Sang Kekuatan yang Maha Mengetahui dan Maha Suci, serta kepada umat manusia-alam semesta.
Tradisi Nyadran umumnya diawali dengan ziarah ke makam keluarga. Para anggota keluarga berkumpul, membersihkan makam, menaburkan bunga, serta membaca do’a-do’a atau tahlilan. Bahkan dalam pandangan lain (Sutarto, 2015: 144) bahwa peristiwa membersihkan makam bukanlah sekadar ritual biasa, tetapi merupakan simbol penghormatan kepada mereka yang telah berjasa dalam kehidupan keluarga.
Rampung prosesi di area makam, biasanya masyarakat akan berkumpul untuk menggelar kenduri atau selamatan. Dalam tulisan Makna Simbol dalam Tradisi Nyadran di Jawa Tengah, Haryono (2018: 65) menyebutkan bahwa makanan yang disajikan dalam upacara kenduri memiliki makna spiritual. Misalnya, tumpeng melambangkan perjalanan manusia menuju Tuhan, sementara apem bermakna permohonan maaf dan harapan akan keberkahan dalam kehidupan, termasuk rezeki yang berlimpah.
Kenduri bukan hanya dimaknai tentang makan bersama, tetapi juga menjadi ajang untuk mempererat hubungan sosial. Dalam penelitiannya, Rahayu (2019: 53) menyatakan bahwa momen ini sering dimanfaatkan oleh keluarga yang sedang merantau untuk pulang kampung untuk bertemu dengan sanak saudara. Dengan demikian, Nyadran tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga menjadi sarana menjaga keharmonisan di tengah masyarakat sekaligus sebagai bagian dari pengakuan terhadap keragaman.
Seiring dengan perubahan zaman, tradisi Nyadran mengalami berbagai penyesuaian. Dalam penelitian Prasetyo (2023: 90) mengenai Dinamika Tradisi Nyadran dalam Era Digital, disebutkan bahwa banyak generasi muda yang mulai kurang terlibat dalam ritual ini. Kesibukan akan adanya tuntutan gaya hidup membuat mereka relatif lebih sulit meluangkan waktu untuk terlibat dalam tradisi keluarga.
Meskipun begitu, bukan berarti Nyadran akan hilang begitu saja. Masih banyak keluarga yang tetap melestarikan tradisi ini dengan cara yang lebih sederhana. Beberapa komunitas budaya dan pemerintah daerah bahkan mengadakan festival budaya untuk mengenalkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Nyadran. Wahyudi (2024: 110) dalam bukunya Festival Budaya sebagai Upaya Pelestarian Tradisi Nyadran menekankan bahwa upaya merawatnya sangat penting agar generasi sekarang tetap memahami akar budaya mereka.
Hemat penulis, tradisi Nyadran lebih dari sekadar ritual tahunan. Karena, Nyadran merupakan jembatan yang menghubungkan antara masa lalu dan masa kini, antara leluhur dan keturunannya. Di sana, pada setiap do’a yang dirapalkan dan ragam bunga yang telah ditaburkan, terkandung penghormatan kepada mereka yang telah lebih dulu kembali kepada-nya.
Akhirnya tidak bisa dimungkiri bahwa dalam kacamata saat ini, melestarikan Nyadran juga berarti menjaga identitas dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendahulu. Selama masih ada mantra-mantra suci yang dilafalkan kepada Sang Pencipta dan tangan-tangan lincah yang membersihkan makam, Nyadran akan tetap lestari. Seolah menjadi cahaya kecil yang menerangi perjalanan spiritual sebagian masyarakat Jawa.
Wahyu Tanoto merupakan Ketua Dewan Pengurus Mitra Wacana, NGO yang konsern pada isu transformasi informasi untuk kelompok marginal. Mitra Wacana saat ini aktif memberikan Pendidikan dan Pendampingan di 9 desa di Kulon Progo. Website: https://mitrawacana.or.id/