Sumber gambar: BBC

Oleh: Sarjoko S.

Ada sebuah lelucon tentang mana yang lebih berat menjadi perempuan atau laki-laki? Salah satunya adalah humor mengenai sunat dan melahirkan. Katanya, perempuan meski sakit melahirkan, toh banyak yang tidak kapok, malah nambah. Sementara sunat bagi laki-laki meninggalkan traumatis sehingga cukup sekali seumur hidup. Ada juga guyonan mengenai kematian perempuan akibat melahirkan dihitung sebagai syahid, sementara kematian akibat sunat dianggap malpraktek.

Tentu saja itu humor yang memiliki banyak pemaknaan. Ada yang menganggapnya seksis, ada juga yang justru melihatnya sebagai ironi. Terutama di daerah di mana perempuan juga mengalami ‘kewajiban’ untuk disunat. Saya juga baru tahu belakangan bahwa ada praktek sunat perempuan yang masih dilestarikan hingga saat ini.

Di sebuah grup WA, poster tentang adanya sunat perempuan massal di pondok pesantren ramai dibicarakan. Seorang aktivis yang tergabung di dalam grup tersebut bahkan menyebut sudah menanyakan langsung ke pihak pesantren. Sementara pihak pesantren berkilah bahwa agenda sunat massal itu sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Mereka bahkan mengaku bekerja sama dengan Puskesmas setempat agar proses sunat berjalan dengan baik.

Saya baru mengetahui adanya praktik sunat perempuan setelah mengikuti serangkaian persiapan Kongres Ulama Perempuan Indonesia II pada 2022 silam. Saat itu, menjelang kongres, ada beberapa kali diskusi mengenai hukum Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan (P2GP, atau Female Genital Mutilation/Cutting (FGMC), yang singkatnya disebut sunat perempuan. Ternyata, praktik ini banyak terjadi di belahan dunia, termasuk Indonesia.

Survei pengalaman hidup yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pada 2021 tercatat 55% perempuan berusia 15-49 tahun mengaku pernah menjalani sunat perempuan. Sebanyak 21,3 persen menjalankan praktik sunat perempuan berdasarkan tipe yang disebutkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni melakukan sunat perempuan berupa tindakan melukai dan memotong klitoris (Sunat Perempuan Tipe 1). Sementara 33,7 persen melakukan sunat perempuan secara simbolis.

Data UNICEF menyebut lebih dari 230 juta perempuan menjalani proses ini. Afrika menjadi negara dengan jumlah tertinggi (144 juta), disusul Asia (80 juta), dan Timur Tengah (6 juta).

Di Indonesia, sunat perempuan juga menjadi polemik. Majelis Ulama Indonesia pada 2008 mengeluarkan fatwa tentang sunat perempuan yang memiliki posisi yang setara dengan sunat laki-laki. Pada Fatwa No.9A Tahun 2008 terkait Fatwa menolak larangan Khitan bagi perempuan, MUI menyebut “Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Dan khitan terhadap perempuan adalah makrumah (kemuliaan). Pelaksanaannya sebagai ibadah yang dianjurkan.”

Berbeda dari MUI, pada 2022, KUPI mengeluarkan pandangan keagamaan bahwa sunat perempuan yang membahayakan tanpa alasan medis adalah haram. Dalam banyak kajian, sunat perempuan membawa banyak mudharat berupa komplikasi kesehatan, seperti rasa sakit, pendarahan, infeksi, serta kesulitan buang air kecil dan besar. Di banyak negara, praktik sunat perempuan bahkan bisa menyebabkan kematian.

Selanjutnya, pemerintah resmi menghapus praktik sunat perempuan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, pada Selasa 30 Juli 2024. Penghapusan tersebut tertulis dalam Pasal 102 Huruf (a).

Lalu mengapa sunat perempuan masih dilakukan? Dalam berbagai argumen yang beredar, salah satu alasan mengapa sunat perempuan dilakukan adalah untuk meredam gejolak seksual perempuan. Hal ini dimaksudkan agar perempuan tidak berpikir untuk berselingkuh. Selain itu, masyarakat yang melakukannya percaya bahwa vagina perempuan perlu dipotong dan perempuan yang belum menjalani sunat perempuan dianggap tidak sehat, najis, atau tidak layak.

Argumen-argumen itu seringkali menempatkan perempuan sebagai objek. Pendisiplinan melalui sunat menempatkan perempuan dalam posisi pasif dalam aktivitas seksual. Banyak perempuan juga mengaku mati rasa dan tidak memiliki gairah seksual sepanjang hidupnya. 

Alih-alih mencegah untuk berbuat selingkuh, tindakan sunat ini bahkan bisa menyebabkan aseksual yang membuat seorang perempuan tidak lagi memiliki pengalaman seksual yang ‘ideal’. Norma sosial juga tidak mengizinkan perempuan untuk proaktif sehingga ada stigma ‘nakal’ bagi perempuan yang menjadi subjek. Bukankah hal ini merupakan bentuk pengebirian terselubung? Tubuh perempuan hanya diperbolehkan menjalankan peran reproduksi tanpa disertai manfaat lahir dan batin bagi pengalaman hidup perempuan.

Kembali pada humor seksis di awal tulisan ini, ternyata untuk hamil dan melahirkan, perempuan seringkali tidak melewati fase yang dialami oleh laki-laki karena aktivitas yang sama, yaitu sunat. Bahkan ada taruhan nyawa karena proses sunat biasanya dilakukan saat perempuan masih bayi atau balita. Sementara laki-laki kerap menjalani di usia yang sudah cukup mukallaf.

Jika lelaki mendapat banyak manfaat karenanya, sebaliknya perempuan justru tidak. Mereka cenderung menjalani proses untuk hamil dan melahirkan sebagai sebuah peran sosial, tanpa pernah merasakan kenikmatan seksual. Fase-fase itu seringkali hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kapan menikah, kapan hamil, dan kapan punya anak lagi?

Kalau saja benar demikian, betapa jahatnya dunia bagi perempuan.

Sarjoko S., merupakan peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Saat ini menjadi mahasiswa doktoral Kajian Budaya dan Media UGM Yogyakarta.