Oleh: Rika Iffati Farihah
It’s not about you; it’s about them.
Ini adalah tips dari Dr. Kartika Nur Fathiyah atau lebih akrab disebut Bu Ika saat mengisi pelatihan “Being A Great Lecturer” yang diselenggarakan pada Jumat, 31 Maret 2023 lalu oleh Klinik Konsultasi Keluarga dan Anak Muda (Klinik K2-Plus), salah satu lembaga di bawah Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga (Pusdeka) UNU Yogyakarta. Kebetulan, saat itu saya ditugaskan untuk mendampingi beliau memfasilitasi dosen-dosen UNU Yogyakarta yang ingin belajar mengenai kesehatan mental.
Tip ini sekilas terkesan sederhana. Namun ternyata makna dan uraiannya cukup panjang dan tidak semudah kelihatannya. Intinya, dosen sebagai sosok lebih dewasa seharusnya dapat menjadi panutan dan lebih berempati ketika menghadapi mahasiswa, termasuk mahasiswa yang dianggap bermasalah.
Masalah yang dihadapi mahasiswa saat ini juga semakin beragam. Bukan lagi sekadar stres akibat telat skripsi atau tidak bisa membayar biaya kuliah. Akhir-akhir ini mulai banyak pula mahasiswa yang mengalami masalah kesehatan mental. Beberapa kasus bahkan berujung pada kematian. Sejak tahun 2022 saja, tercatat ada beberapa kematian mahasiswa akibat bunuh diri dan masalah mental seperti yang menimpa mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Hasanuddin Makassar.
Oleh sebab itu, penting kiranya bagi para pendidik (dosen) untuk memiliki pengetahuan mengenai kesehatan mental dan cara-cara mendeteksi gangguan mental yang ada dalam diri mahasiswa. Dosen merupakan sosok orang dewasa yang cukup punya pengaruh bagi para mahasiswa. Apalagi mengingat sebagian mahasiswa tidak tinggal bersama orangtua saat menempuh pendidikan tinggi. Dosen bisa dibilang merupakan sosok pengganti orang tua.
Untuk menjadi dosen yang baik sebagaimana judul pelatihan ini, perlu ada upaya memahami mahasiswa dengan baik. Dosen perlu juga tahu bagaimana karakteristik perkembangan mereka. Pada umumnya, mahasiswa berada di tahap remaja akhir hingga dewasa awal (emerging adult) dan sedang mencari jati diri. Ini adalah tahap transisi dari fase anak-anak menuju fase dewasa. Di tahap ini, mahasiswa biasanya sedang mengalami Quarter Life Crisis, suatu krisis yang merupakan respons alamiah dari perubahan, ketidakstabilan, kebingungan, dan kecemasan yang mengiringi terbukanya berbagai jalan dan kesempatan hidup pada usia dewasa awal (Robbins & Wilner, 2001). Ciri-ciri krisis ini antara lain perasaan masih takut gagal, terjebak masa kecil, tidak tahu apa yang diinginkan dan sulit membuat keputusan. Inilah yang kerap membuat mahasiswa sering didera rasa ragu, putus asa, dan suka menunda-nunda tugas (prokrastinasi).
Krisis yang khas dalam tahap perkembangan mahasiswa ini dapat berujung pada munculnya berbagai permasalahan yang pada akhirnya mungkin membuat proses transfer ilmu pengetahuan dari dosen ke mahasiswa menjadi kurang optimal.
Strategi Pendidikan Kesehatan Mental Mahasiswa
Setelah memaparkan mengenai tahap perkembangan dan masalah-masalah yang mungkin menyertai, Dr. Kartika Nur Fathiyah memberikan tujuh strategi yang bisa dijalankan para dosen untuk membantu mahasiswa melewati krisis dan terhindar dari keputusan atau perbuatan yang dapat merusak masa depan mereka.
Pertama, dosen perlu memberi unconditional positive regard. Sebagaimana orangtua wajib memberikan cinta tak bersyarat pada anak-anaknya, dosen perlu memberi penghargaan positif tanpa syarat pada mahasiswanya. Dosen yang baik seyogianya mengakui dan menerima bahwa mahasiswa yang dihadapi memiliki nilai dan kebutuhan sendiri-sendiri, yang mungkin berbeda dengan mahasiswa lain atau berbeda dengan dosen itu sendiri.
Kedua, dosen perlu memiliki kemampuan melakukan deteksi dini problem kesehatan mental. Misalnya mereka perlu waspada ketika mahasiswa mengalami perubahan suasana hati atau perubahan perilaku yang tidak biasa. Mereka juga perlu tahu garis besar ragam gangguan mental yang lazim terjadi.
Ketiga, dosen perlu mengasah empati, alias kemampuan memahami perasaan/emosi atau dunia mahasiswa tanpa terlarut di dalamnya. Selain empati dalam bentuk memahami kondisi mahasiswa, penting juga dosen memiliki kemampuan empati dalam bentuk cara berkomunikasi yang menghargai kondisi mahasiswa yang mungkin berbeda dengannya.
Keempat, dosen perlu juga membangun relasi interpersonal positif dengan mahasiswa, bukan sekadar relasi impersonal yang semata memandang mahasiswa sebagai objek. Meski tugas dosen seakan-akan “sekadar” melakukan transfer ilmu, namun karena transfer itu dilakukan pada manusia, penting kiranya untuk menjalin hubungan yang positif dan komunikasi yang baik dengan mahasiswanya.
Kelima, dosen perlu membangun positivity pada diri mahasiswa. Mahasiswa perlu dilatih untuk mindful, yakni fokus dan mampu mengenali emosi dan perubahan fisiknya tanpa judgment, serta memiliki pola pikir yang positif, penuh syukur dan optimisme.
Terakhir, dosen perlu mengenali dan mengoptimalkan kelebihan/kekuatan mahasiswa yang dihadapi. Tak ada manusia yang sempurna. Mahasiswa pun demikian adanya. Dosen yang baik tidak hanya fokus mengkritik kelemahan mahasiswa, namun juga mengenali kekuatan atau kelebihan mahasiswa. Dengan demikian, ia nantinya dapat membimbing mahasiswa mengoptimalkan kelebihan tersebut. []