Oleh: Agus Effendi

Pernikahan merupakan fase kehidupan yang paling menarik dan dinamis. Fase ini dimulai ketika sepasang kekasih (laki-laki dan perempuan) memutuskan dan berkomitmen untuk hidup bersama. Momen penting ini biasanya dibarengi dengan pesta yang meriah sebagai bentuk deklarasi bahwa sebuah keluarga baru tengah terbentuk di masyarakat.

Dalam berbagai tradisi, upacara pernikahan dipandang sebagai sesuatu yang sakral karena mengandung nilai dan sederet makna kehidupan yang mendalam. Misalnya ritual ijab qabul. Ritual yang berkembang dalam tradisi Islam ini mengharuskan seorang laki-laki untuk menyatakan bahwa dirinya siap menerima amanah dan tanggungjawab dari wali perempuan yang dinikahinya. Tujuannya tentu sebagai janji bahwa ia akan setia dan selalu menyayangi. Untuk itu setiap laki-laki dan perempuan yang ingin menikah harus memahami bahwa pondasi relasi pernikahan tidak hanya mandiri secara ekonomi saja tetapi, yang lebih penting, matang secara mental-emosional.

Kematangan mental-emosional ini memiliki peran yang sangat besar terhadap bagaimana cara seseorang menyikapi keadaan. Bagi pasangan baru yang sedang beradaptasi dengan situasi yang ada, kematangan mental-emosional akan membantu mereka dalam merajut hubungan pernikahan. Dua insan yang mulai menjalani kehidupan rumah tangga itu harus menyikapi perbedaan kecenderungan baik itu dalam hal makanan, gaya hidup, cita-cita, karier, pembagian peran ataupun imaginasi masa depan. Jika salah satu pasangan kurang memiliki kematangan mental-emosional, perbedaan tersebut malah akan memupuk rasa tidak nyaman atau bahkan memicu kerenggangan hubungan.

Kita tahu bahwa kunci memiliki hubungan yang sehat adalah komunikasi. Kendati demikian, setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda tentang makna komunikasi. Tidak sedikit dari kita yang memaknai komunikasi sebagai membuka pembicaraan tentang keadaan masing-masing. Utamanya pada saat tidak bersama, menghadapi masalah atau memperoleh pengalaman baru. Menjalin komunikasi yang seperti ini selain akan menguatkan ikatan dengan pasangan juga akan memupuk rasa saling percaya.

Sebenarnya, memiliki pola komunikasi yang intens dengan pasangan saja tidaklah cukup dalam menjalin hubungan pernikahan. Ia harus disertai dengan kepekaan dan pengertian. Jika dua hal ini tidak ada maka pernikahan akan rentan terjebak dalam hubungan yang dangkal. Yang dimaksud kepekaan adalah kemampuan dalam membaca situasi batin (mood) pasangan. Sedangkan pengertian di sini merujuk pada memiliki sikap empatik dan selalu berupaya memperlakukan pasangan sebaik-baiknya.

Dari situ tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa salah satu prasyarat memiliki hubungan yang harmonis adalah memahami karakter dan kepribadian masing-masing. Pemahaman ini akan membantu setiap pasangan dalam mentolerir pembedaan, menerima kekurangan serta menjaga stabilitas kondisi mental-emosional. Artinya, dengan saling memahami kita tidak akan terlalu menuntut pasangan, mudah marah, serta gampang curiga.

Dalam merajut hubungan pernikahan apa yang dibutuhkan adalah tali yang kuat. Tali ini berfungsi sebagai pengikat hati agar tidak goyah dan mudah terbawa arus. Kekuatan tali yang kita miliki berasal dari keyakinan akan masa depan. Artikulasi yang sangat kaya tentang keyakinan akan masa depan ini dapat kita temukan dalam ajaran Islam. Misalnya adalah pernikahan kita di dunia akan terus terjalin hingga di kehidupan akhirat. Inilah yang membuat seseorang selalu memiliki harapan dan mampu bertahan dalam kesabaran.

Disamping itu tujuan menikah bukan lain hanya untuk mencari ridha Allah SWT. Sebagai manusia yang diciptakan dari segumpal darah dan kemudian diberi anugerah kenikmatan kita harus menjalani kehidupan ini dengan penuh rasa tanggungjawab. Dengan begitu jenis kesadaran yang kita bangun dalam menjalin hubungan pernikahan adalah kesadaran spiritual yang akan mewarnai semua perilaku kita terhadap pasangan dengan penuh kasih sayang sebagai wujud dari rasa syukur.

Tentu di tengah perkembangan masyarakat dewasa ini, tantangan dan godaan dalam kehidupan pernikahan sangatlah besar. Oleh karena itu, setiap pasangan selain perlu mempertebal keimanan juga harus pandai mengelola kondisi mental-emosional agar rajutan hubungan pernikahan semakin berkualitas dan menyuguhkan keindahan.

Malang, 17 Mei 2025