Redaksi: Tim Pusdeka

Rabu (29/5), Tim LP3M UNU Yogyakarta sampai di komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Bantul sekitar pukul 09.00 WIB. Sunaji Zamroni dan Rindang Farihan mendapatkan undangan untuk memandu FGD Pemetaan Awal Potensi Pengembangan Daerah Alirah Sungai (DAS) di Imogiri dan Jetis. Acara FGD ini merupakan agenda tindak lanjut dari kerjasama Pusdeka UNU Yogyakarta dan Bappeda Bantul terkait projek pengembangan kawasan yang mampu berkontribusi terhadap upaya-upaya pengentasan kemiskinan dan penanggulangan stunting.

Salah satu wilayah di Bantul yang menjadi kantong kemiskinan adalah Imogiri. Dalam beberapa tahun terakhir wilayah ini juga terkenal dengan kasus stunting yang tinggi. Pemerintah Kabupaten Bantul pun mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menekan hal tersebut. Namun intervensi yang telah dilakukan kurang memiliki dampak yang signifikan. Artinya di Imogiri jumlah penduduk kurang mampu masih tinggi dan angka prevalensi stunting sulit untuk turun. Memang selama ini strategi intervensi pemerintah terhadap kemiskinan dan stunting masih bersifat pemberian bantuan. Bukan fokus pada pemberdayaan untuk menguatkan sumberdaya manusia serta mendorong inovasi-inovasi baru dari warga masyarakat.

Sunaji Zamroni menyampaikan bahwa kemiskinan lebih merupakan masalah akses dan peluang. Cara pandang ini menekankan bahwa hal yang paling mendasar dari kehidupan masyarakat adalah strategi penghidupan (livelihood strategy). Menurut Robert Chamber penghidupan masyarakat akan berkelanjutan apabila mereka memiliki kapasitas dalam mengelola dan mengoptimalkan aset-aset yang ada di sekitar mereka. Ada lima jenis aset yang diperlukan seseorang dalam hidup yaitu; a) aset ketrampilan, b) aset alam, c) aset sosial, d) aset fisik, dan e) aset finansial.

Dalam konteks pengembangan DAS Opak-Oya, strategi penghidupan masyarakat Imogiri dan Jetis harus dikuatkan dengan inovasi pengelolaan aset (air sungai, lahan, dan destinasi wisata) yang lebih optimal. Badan Usaha Milik Kalurahan (BUMKal) adalah otoritas lokal yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam menghadirkan peluang dan akses tersebut. Sebenarnya praktik inovasi dan pengembangan strategi penghidupan telah dilakukan oleh masyarakat lokal. Ambil contoh Wisata Batik di Giriloyo, Green Village di Gedangsari dan Goa Pindul di Gunungkidul. Dari situ Sunaji mengajukan pertanyaan terkait perencanaan tata ruang, tata guna, pemanfaatan aset dan desain kelembagaan untuk mengelola sumber-sumber penghidupan di desa-desa dan kawasan pedesaan DAS Opak-Oya.

Rindang Farihah membahas hubungan stunting dan pangan lokal. Hasil FGD Penajaman Strategi Percepatan Penurunan Stunting di Yogyakarta menunjukkan bahwa baduta yang mengalami stunting adalah baduta yang mendapatkan pola pengasuhan yang buruk. Ini seringkali berdampak pada kurangya asupan nutrisi sehingga membuat pertumbuhan baduta terhambat. Oleh karena itu salah satu prioritas program intervensi adalah penguatan perilaku sadar nutrisi.

Potensi pangan lokal yang dapat dikembangkan untuk memasok asupan nutrisi selama 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK) sangat besar. Rindang menceritakan bahwa di Nusa Tenggara, kasus stunting bisa ditekan dengan mengembangkan pangan lokal seperti daun kelor, sorgum dan ikan laut. Beberapa jenis pangan lokal tersebut memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi sehingga bagus untuk kesehatan Ibu yang mengandung dan menyusui serta perkembangan baduta. Namun sayangnya masih belum banyak yang mengembangkan pangan lokal sebagai upaya penanggulangan stunting.

Potensi pangan lokal di kawasan DAS Opak-Oya dapat dikatakan cukup besar. Lahan pertanian yang subur dan tanah pekarangan sebenarnya dapat dikelola dan dioptimalkan untuk memproduksi beragam jenis sumber pangan bergizi. Menanam sumber pangan lokal sebenarnya juga dapat menjadi strategi penghidupan yang menjanjikan karena setiap orang membutuhkan asupan gizi yang seimbang.