Oleh: Agus S Efendi

Dalam dua dasawarsa terakhir teknologi telah berkembang sangat pesat. Kalau dilihat skalanya, tidak mengherankan apabila sebagian orang menyebut hal itu sebagai revolusi. Lebih tepatnya revolusi teknologi informasi dan komunikasi.[1] Tentu revolusi yang tengah berlangsung ini telah membuat beberapa aspek dalam kehidupan sosial mengalami perubahan. Jika dulu informasi hanya tersedia lewat lembaga pendidikan dan media cetak, sekarang hampir semua orang dengan mudah mengakses informasi dalam internet. Bahkan di era digital ini setiap orang juga dimampukan untuk memproduksi serta mendistribusikan informasi dengan bebas. Artinya dengan adanya media baru ini telah menggeser perilaku berkomunikasi masyarakat.

Artikel ini akan menganalisa dampak teknologi digital terhadap pola komunikasi dan cara berinteraksi dalam masyarakat, khususnya yang terkait dengan kondisi mental. Sebelum mendiskusikan hal tersebut, kita perlu menyinggung soal gelombang industrialisasi sebagai titik tolak. Industrialisasi tidak hanya melahirkan kelas pekerja tetapi juga menciptakan pola interaksi sosial yang baru.[2] Dalam kaitannya dengan kondisi mental, industrialisasi telah mendorong munculnya keterasingan (anomie). Dari situ kita akan mendiskusikan perkembangan teknologi digital dan efek yang ditimbulkan dalam pola interaksi dan komunikasi. Terakhir artikel ini akan menyorot masalah kesehatan mental yang muncul di puncak era digital misalnya seperti kecemasan, depresi dan kecanduan.

Industrialisasi dan Anomie

Mungkin kita kerap mendengar dan menerima begitu saja bahwa sekarang adalah era industri 4.0 (era teknologi generasi ke 4) yang ditandai dengan kemudahan dalam berkomunikasi dan akses informasi secara digital.[3] Namun, kita jarang bertanya seperti apa era industri sebelumnya dan apa perubahan sosial apa yang telah dibawanya. Periodisasi era industri ini sebenarnya didasarkan pada kemunculan suatu teknologi yang membuat proses produksi dan mobilitas bisnis menjadi lebih cepat dan efisien. Artinya setiap peralihan era industri ditandai dengan semakin ekonomis proses pembuatan dan distribusi suatu produk.

Era industri 1.0 bermula ketika mesin uap ditemukan. Sedangkan era industri 2.0 ditandai dengan penemuan model produksi manufaktur dan energi listrik. Kedua era ini dalam literatur sejarah dikenal sebagai proses industrialisasi yang bermula dari Inggris.[4] Adanya teknologi produksi yang lebih efisien ini kemudian menarik sebagian besar penduduk untuk bekerja di pabrik-pabrik yang berada di kawasan perkotaan. Mereka adalah kelas pekerja yang dalam pandangan Marxisme dieksploitasi tenaganya oleh kelas kapitalis (pemilik modal).

Namun, E.P Thompson menjelaskan bahwa terbentuknya kelas pekerja di Inggris tidak bisa lepas dari hubungan kompleks antar kelompok-kelompok kepentingan yang tengah menghadapi revolusi industri. Bagi Thompson, kelas pekerja bukanlah produk dari struktur sosial yang kapitalis, namun sebagai proses pergumulan pengalaman orang-orang yang memiliki aspirasi, sistem nilai dan tradisi.[5] Dari situ dapat dikatakan bahwa industrialisasi telah mendorong proses transformasi tatanan norma masyarakat.

Dalam tatanan masyarakat industrial terdapat suatu prinsip yang disebut pembagian kerja. Emile Durkheim menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mampu menemukan fungsi yang optimal dalam masyarakat industrial akan cenderung merasa terasing (anomie).[6] Misalnya, para buruh pekerja yang berpenghasilan rendah akan lebih sering merasa terasing dalam kehidupan perkotaan karena hanya kebutuhan dasar hidup saja yang dapat terpenuhi. Mereka tidak bisa melakukan hal lain seperti menikmati waktu luang atau sekadar mengekspresikan diri. Singkatnya, mereka mengalami peminggiran.

Tapi, karena pada saat itu masih terdapat partai buruh yang berperan sebagai kanal aspirasi politik, perasaan anomie masih bisa dibendung. Yang menarik adalah ketika aspirasi partai buruh tidak diakomodir, mereka mampu bertindak radikal seperti melakukan pemogokan dan sabotase. Bagi aparat penegak hukum tindakan ini dianggap sebagai tindakan menyimpang.

Sebenarnya keterasingan (anomie) yang muncul dalam masyarakat industrial juga bisa bersifat kasuistik. Ketika menganalisa kasus-kasus bunuh diri, Durkheim menemukan bahwa seseorang akan lebih rentan melakukan bunuh diri ketika ia tidak memiliki ikatan atau hubungan yang kuat dengan orang lain.[7] Tentu hal ini terkait dengan etos individualisme yang mana kesuksesan individu dianggap sebagai nilai tertinggi dalam masyarakat industrial. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa kesehatan mental seseorang paling tidak dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural, kualitas interaksi sosial yang dimiliki serta motivasi diri. Kondisi sosio-kultural mempengaruhi kesehatan mental pada saat seseorang dituntut untuk mengambil peran tertentu. Untuk kualitas interaksi sosial, berkaitan dengan investasi emosi-emosi positif dalam mengekspresikan diri. Yang terakhir soal motivasi diri lebih berhubungan dengan harapan akan masa depan.

Digitalisasi, Budaya Layar dan Perubahan Perilaku

Di sini, istilah digitalisasi merujuk pada proses pemanfaatan teknologi digital dalam kehidupan sosial. Saat ini hampir setiap orang menggunakan perangkat elektronik seperti ponsel dan laptop serta mampu mengakses internet dan media sosial. Dengan hadirnya teknologi digital ini, seseorang bisa dengan mudah berkomunikasi dengan siapapun, kapanpun dan dimanapun. Dan hanya berbekal layar orang pun dapat dengan mudah memperoleh informasi terbaru tentang apapun bahkan secara real-time dari berbagai penjuru dunia.

Digitalisasi melahirkan apa yang disebut budaya layar (screen culture).[8] Budaya ini dapat dikatakan telah memperluas dan memperkaya ruang-ruang interaksi sosial. Dalam ruang digital perbedaan antara realitas maya dan realitas konkret menjadi kabur. Hal ini lantas membuat sebagian orang tidak mempedulikan lagi akurasi representasi dan konteks interpretasi yang kerap berakhir pada gagal paham dan kesalahpahaman. Di sini, kita tidak meragukan manfaat yang diberikan oleh budaya layar. Namun kita perlu menyadari tentang ekses negatif budaya layar dalam mengubah perilaku terutama pada anak-anak dan remaja.

Data terbaru menyebutkan bahwa jumlah pengguna layanan internet di Indonesia sudah mencapai 210 juta. Dari jumlah itu, tingkat penetrasi penggunaan internet pada rentang usia 13-35 tahun mencapai 99 persen.[9] Hal itu menunjukkan bahwa remaja dan anak muda merupakan aktor utama pembentuk budaya layar di Indonesia.

Sekarang, para orang tua cenderung memperkenalkan anak-anak mereka dengan budaya layar sejak dini. Mereka sering menganggap bahwa menonton gambar bergerak dan musik akan mempercepat perkembangan kognitif anak. Khususnya untuk konten tontonan anak.  Namun kita sering lupa bahwa kemampuan anak dalam menangkap konten digital itu terbatas dan, yang lebih penting, mereka juga memiliki mood dengan apa yang menjadi tontonan kesukaannya.[10] Sebuah studi mengatakan bahwa kebiasaan menonton layar pada anak pra-sekolah dapat berdampak pada fungsi eksekusi serta gejala hiperaktif dan sulit fokus.[11] Selain itu tidak sedikit anak-anak yang mengalami penurunan kemampuan melihat karena berlebihan menonton layar. Kendati demikian, kita harus memahami bahwa perkembangan anak akan optimal jika terjadi proses interaktif yang intens. Artinya pengasuhan yang intense dari orang dewasa adalah kunci untuk membangun perilaku anak.

Studi tentang perkembangan anak menjelaskan bahwa remaja memiliki kebutuhan untuk mengekspresikan dirinya sebagai bagian dari pembentukan identitas.[12] Di era digital kebutuhan ini sangat mudah terpenuhi dengan adanya media sosial, seperti Instagram, TikTok, Twitter dan lain sebagainya. Budaya layar yang berkembang di kalangan remaja ini memacu kemunculan tren-tren dan kluster-kluster style tersendiri. Biasanya para remaja adalah pengguna media sosial yang paling antusias terhadap tren baru. Sesuatu yang viral akan langsung diikuti dan mereka memupuk ikatan emosional yang kuat terhadapnya. Oleh karana itu tidak mengherankan apabila sebagian remaja cenderung mengidap ketakutan yang berlebihan ketika tidak up to date atau FOMO (Fear of Missing Out). Logikanya, tren atau informasi terbaru adalah pengukuh atas identitas diri. Selain itu dalam pergaulan sesama remaja tren juga dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan memiliki arti khusus.

Namun yang menjadi persoalan tidak hanya terletak pada hal itu saja. Para remaja juga perlu belajar menghadapi ketidakpastian masa depan, tertarik pada lawan jenis dan realitas kehidupan yang keras. Namun, di era digital, waktu mereka untuk belajar mengolah mental dibajak oleh pelbagai jenis kesenangan yang kerap membuat candu. Di samping itu perlakuan dari orang lain yang tidak sesuai ekspektasi juga tidak jarang membuat kondisi mental mereka down. Pada akhirnya ketidaksiapan menghadapi persoalan akan mengarahkan mereka para perilaku yang menyimpang.

Perubahan perilaku pada remaja biasanya terkait dengan otoritas orang tua dalam keluarga. Para remaja yang sedang mencari dan membentuk identitas sangat memerlukan ruang kebebasan. Tentu hal ini bagus untuk kesehatan mental mereka karena dengan mencoba berbagai hal baru mereka akan mengenal kesalahan yang berperan penting dalam pembentukan karakter. Yang jelas, para remaja juga perlu dipastikan mendapat dukungan baik dari keluarga dan teman dekat.

Depresi, Kecemasan dan Kecanduan

Studi tentang kesehatan mental mencatat bahwa di era digital orang lebih berisiko terkena gangguan mental daripada era-era sebelumnya.[13] Beberapa gejala gangguan mental yang paling sering ditemui adalah depresi, kecemasan dan kecanduan.

Menurut data WHO, depresi merupakan penyakit yang umum terjadi. Diperkirakan 5 persen populasi dunia menderita gejala depresi. Orang dengan depresi ringan biasanya merasa sedih, kosong, dan kehilangan gairah untuk beraktivitas. Di level depresi sedang yang dirasakan adalah sulit konsentrasi, merasa bersalah, minder, tidak memiliki masa depan, gangguan tidur, dan merasa kelelahan. Pada level akut depresi dapat mendorong si penderita untuk memikirkan bunuh diri.

Di Indonesia sendiri remaja yang menderita gejala depresi mencapai 5,1 persen. Sebuah studi mengatakan bahwa beberapa faktor penentu pada depresi remaja adalah merokok, meminum alkohol, menderita penyakit kronis, dan orang tua yang memiliki gejala depresi.[14] Dari temuan ini yang perlu disorot adalah kondisi keluarga ikut berkontribusi pada gangguan mental. Jadi, menjaga kesehatan mental keluarga sangat krusial dalam mencegah gejala depresi pada remaja.

Cemas merupakan suatu hal yang wajar apabila menghadapi situasi yang tidak bisa dikontrol. Rasa ini muncul ketika otak terstimulasi untuk mempersepsikan suatu keadaan yang asing dan ketidaksanggupan untuk berpikir positif. Dalam disiplin psikologi, rasa cemas termasuk dalam kategori emosi negatif yang cukup kuat. Rasa cemas sebenarnya dapat tangani ketika kita memiliki kemampuan mengatasi masalah mental. Misalnya dengan teknik meditasi. Teknik ini sangat bermanfaat dalam meregulasi ulang baik pikiran, mood dan emosi menjadi lebih positif.

Yang terakhir adalah soal kecanduan. Kecanduan secara medis dapat diartikan sebagai disfungsi kronik pada sistem otak yang melibatkan motivasi, memory dan reward. Orang yang menderita kecanduan biasanya akan bertindak secara kompulsif dan terobsesi untuk mencari reward tanpa bisa mengontrol konsekuensinya. Di era digital, jenis kecanduan yang lahir dari budaya layar diantaranya adalah kecanduan game-online, kecanduan judi, kecanduan berbelanja online dan kecanduan pornografi. Keempat jenis kecanduan ini sering kita temui di kalangan remaja dan anak muda.

Sampai di sini, kita perlu menggarisbawahi bahwa tiga masalah kesehatan mental tersebut harus menjadi perhatian bersama. Kita tidak ingin kalau generasi masa depan Indonesia gagal merealisasikan potensinya karena terkendala gangguan mental.


[1] Dale W Jorgenson and Khuong M Vu, ‘The ICT Revolution, World Economic Growth, and Policy Issues’, Telecommunications Policy, 40.5 (2016), 383–97.

[2] Donald J Treiman, ‘Industrialization and Social Stratification’, Sociological Inquiry, 40.2 (1970), 207–34.

[3] Giuseppe Aceto, Valerio Persico, and Antonio Pescapé, ‘A Survey on Information and Communication Technologies for Industry 4.0: State-of-the-Art, Taxonomies, Perspectives, and Challenges’, IEEE Communications Surveys & Tutorials, 21.4 (2019), 3467–3501.

[4] Thomas Southcliffe Ashton, ‘The Industrial Revolution 1760-1830’, OUP Catalogue, 1997.

[5] Edward Palmer Thompson, The Making of the English Working Class (Open Road Media, 2016).

[6] John Arundel Barnes, ‘Durkheim’s Division of Labour in Society’, Man, 1966, 158–75.

[7] Emile Durkheim, ‘Suicide: A Study in Sociology.’, 2001.

[8] Richard Butsch, Screen Culture: A Global History (John Wiley & Sons, 2019); Ariel Heryanto, Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture (NUS Press, 2014).

[9] Lihat lebih lengkap dalam https://apjii.or.id/download/cf790057fdac70557a6655945479b5ab

[10] Bahia Guellai and others, ‘Effects of Screen Exposure on Young Children’s Cognitive Development: A Review’, Frontiers in Psychology, 2022, 4779.

[11] Maria T. Corkin and others, ‘Preschool Screen Media Exposure, Executive Functions and Symptoms of Inattention/Hyperactivity’, Journal of Applied Developmental Psychology, 73 (2021), 101237 <https://doi.org/10.1016/j.appdev.2020.101237>.

[12] Laurence Steinberg and Amanda Sheffield Morris, ‘Adolescent Development’, Annual Review of Psychology, 52.1 (2001), 83–110.

[13] Ramin Mojtabai, Mark Olfson, and Beth Han, ‘National Trends in the Prevalence and Treatment of Depression in Adolescents and Young Adults’, Pediatrics, 138.6 (2016).

[14] Indri Yunita Suryaputri and others, ‘Determinants of Depression in Indonesian Youth: Findings From a Community-Based Survey’, Journal of Preventive Medicine and Public Health, 55.1 (2022), 88.