Penulis: Agus S Efendi
Generasi milenial dan generasi Z adalah kelompok usia muda yang saat ini membawa praktik-praktik baru dalam lanskap kehidupan sosial-budaya. Mereka adalah generasi yang paling melek teknologi dan oleh karena itu dapat mengakses dan memanfaatkan informasi-informasi baru.[1] Dengan media digital, generasi muda mempraktikkan pola-pola interaksi sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya. Misalnya adalah belajar mandiri dari internet, aktif di media sosial, hingga bekerja secara daring.
Kehidupan virtual sendiri menawarkan kemungkinan yang tidak terbatas. Melalui avatar diri seseorang dapat menjadi siapa saja dan melakukan apapun tanpa perlu khawatir konsekuensi akhirnya. Namun hal ini justru telah melahirkan jenis kehidupan publik yang tidak bertanggungjawab dan abai terhadap nilai-nilai etis. Singkatnya, budaya digital memiliki tendensi untuk menjadi liar.[2]
Tulisan ini akan membahas tentang generasi muda Indonesia di abad 21. Ada dua fenomena penting yang menjadi sorotan yaitu kepanikan moral yang terjadi akibat memudarnya norma tradisi dan agama serta kerapuhan mental yang muncul bersamaan dengan revolusi teknologi dan komunikasi. Dua fenomena ini akan didiskusikan dalam prisma perubahan sosial, ideologi, dan formasi identitas. Penulis berargumen bahwa generasi muda Indonesia merupakan kelompok sosial yang paling rentan di tengah struktur kehidupan yang cair namun ketat. Hal ini disamping akan meruntuhkan harapan tentang masa depan yang lebih baik juga menjadikan generasi muda tidak memiliki rumah identitas yang stabil.
Mitos Agen Perubahan
Generasi muda adalah aktor perubahan. Pernyataan ini mungkin sering kita dengar entah itu dari mulut pejabat, suara pengamat ataupun dalam percakapan sehari-hari. Tapi apa yang membuat pernyataan itu tampak benar dan meyakinkan? Bagi mereka yang familiar dengan buku sejarah tentu akan menjawab bahwa peran pemuda/i dalam perjalanan suatu masyarakat sangatlah besar. Ambil kasus di negeri kita sendiri, para pemuda/i yang terlibat dalam gerakan kemerdekaan Indonesia telah mengabadikan visi kebangsaan dalam apa yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Ini merupakan komitmen bersama yang melandasi perjuangan politik demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Para tokoh pemuda tersebut berbagi kesepahaman tentang cita-cita dan harapan dalam mengubah nasib rakyat serta masa depan bangsa.[3]
Setelah Indonesia merdeka, yang disebut sebagai aktor perubahan adalah mahasiswa. Mereka adalah kelompok terdidik yang memilih posisi kritis terhadap kekuasaan. Posisi ini mencerminkan nilai-nilai republikan yang menjadi dasar negara Indonesia. Para mahasiswa menginginkan pembangunan yang partisipatif dan menolak pembangunan yang hanya dimonopoli oleh kekuasaan.[4] Ketika pemerintah membuat kebijakan yang dinilai merugikan kepentingan umum maka para mahasiswa akan melakukan protes atau aksi demonstrasi. Mereka menuntut kebijakan itu agar direvisi atau bahkan dicabut.
Sejak Indonesia mengenal demokrasi terpimpin sosok Presiden adalah pusat kekuasaan. Hal ini diwariskan kepada Presiden Soeharto sehingga mampu membentuk rezim Orde Baru yang otoriter. Sebagai rezim militer yang ketat, peran politik mahasiswa sering dianggap sebagai ancaman. Peristiwa Malari tahun 1974 adalah perwujudan dari kekuasaan otoriter yang anti terhadap nilai-nilai republikan. Aksi demonstrasi yang menolak kebijakan investasi asing diakhiri oleh represi brutal kekuatan militer.[5]
Kerusuhan Malari pun kemudian dipandang hanya sebagai kasus instabilitas sosial. Agar tidak terulang lagi rezim Orde Baru lantas mengeluarkan aturan tentang normalisasi kehidupan kampus untuk mendepolitisasi peran mahasiswa.[6] Dalam situasi yang demikian pemuda/i yang progresif akan diancam dengan stereotip sebagai antek komunis. Sejak saat itu mahasiswa lebih berperan sebagai agen program-program pembangunan yang telah ditetapkan oleh kekuasaan.
Di era 90an, salah satu kekuatan progresif yang masih bertahan adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bagi rezim mereka bukanlah ancaman karena lebih fokus pada aktivisme untuk memberdayakan masyarakat. Ketika krisis moneter 1997 terjadi, para aktivis LSM memegang kekuatan moral yang menyuarakan perubahan arah kebijakan politik. Namun para mahasiswa ingin menuntut lebih jauh dari itu. Mereka tidak hanya meminta Presiden Soeharto sebagai simbol rezim otoriter turun tetapi juga menuntut reformasi. Singkatnya, gerakan mahasiswa menginginkan perubahan tatanan politik yang lebih demokratis.[7]
Keberhasilan gerakan reformasi tentu telah memulihkan peran kritis mahasiswa terhadap kekuasaan. Tapi yang jelas mereka bukan lagi aktor perubahan yang memperjuangkan suatu visi bersama. Di era reformasi mereka cenderung bersikap reaksioner terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan umum.[8] Mereka sering melakukan aksi demonstrasi menuntut perubahan, tapi tidak jelas apa yang ditawarkan sebagai solusi alternatif. Dengan demikian, pemuda/i sebagai agen perubahan sudah menjadi mitos. Sebuah keyakinan yang disebarkan untuk menimbulkan suatu efek tertentu, tanpa perlu bukti yang nyata.
Neo-liberalisme: Munculnya Kepanikan Moral
Pada era reformasi, Indonesia menerima dan menjalankan doktrin-doktrin neo-liberalisme secara penuh. Salah satunya adalah deregulasi yang diarahkan untuk membuat peran pasar lebih dominan dalam perekonomian suatu negara.[9] Doktrin ini sebenarnya bersandar pada suatu konsepsi tentang manusia yang memiliki hak-hak universal secara individual. Hak dasar inilah yang harus menjadi tanggungjawab negara baik dalam hal melindungi ataupun memfasilitasi. Dalam bahasa Michael Foucault hal ini disebut sebagai governmentality. Artinya negara mempromosikan suatu ideal type warga yang mampu mengatur dirinya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak luar.[10]
Globalisasi merupakan wujud pasar bebas yang tidak hanya berdimensi ekonomi tapi juga kultural. Produk-produk hasil proses ekonomi juga mengandung suatu signifikansi nilai budaya tertentu. Dalam mengonsumsi suatu produk orang tidak hanya termotivasi oleh kepentingan ekonomi saja tetapi yang lebih penting menunjukkan proses pengambilalihan suatu budaya. Misalnya adalah konsumsi makanan cepat saji, minuman bersoda, film, musik dan sebagainya. Ajun Appadurai menjelaskan bahwa deretan produk tersebut telah mengaktifkan imajinasi manusia tentang budaya modern.[11] Hal ini kemudian juga membentuk selera budaya yang akan mencerminkan status dan posisi sosial.
Liberalisasi ekonomi yang terjadi di Indonesia sebenarnya dipacu oleh cita-cita menjadi negara yang maju dan sejahtera. Strategi yang ditempuh pun adalah dengan berinvestasi yang diharapkan akan mengembangkan industri-industri baru.[12] Seluruh upaya pembangunan ini tentu harus melalui proses politik yang demokratis. Pada tataran kehidupan masyarakat, hal tersebut berimplikasi pada memudarnya norma-norma lama. Dengan kata lain, proses transformasi sosial yang berjalan rupanya lebih mengakomodir nilai-nilai liberal sebagai inti kebudayaan modern. Adapun kelompok sosial yang paling antusias mengapropriasi nilai-nilai modernitas adalah generasi muda. Tidak mengherankan apabila mereka menjadi kritis, progresif, egaliter dan otonom. Dari situ praktik budaya generasi muda cenderung menjauh dari norma-norma tradisi.
Budaya anak muda yang ‘bebas’ kemudian dipandang sebagai sesuatu yang merusak norma sosial. Perilaku anak muda yang permisif terhadap hubungan seksual juga bertentangan dengan norma-norma tradisi dan ajaran agama. Hal yang kemudian muncul adalah kepanikan moral. Kepanikan moral dapat diartikan sebagai suatu response yang ditunjukkan oleh suatu kelompok masyarakat yang merasa terancam dengan nilai-nilai tertentu dalam ruang publik.[13]
Di Indonesia, salah fenomena yang memicu diskusi publik yang panas adalah kemunculan buku Sex in the ‘Kost’: Realitas dan Moralitas seks kaum ‘terpelajar’ karya Lip Wijayanto. Buku ini bukan hanya telah menerjang tabu dengan menempatkan seksualitas dalam perdebatan publik tapi juga berhasil membuat komunitas Muslim peduli dengan ekses negatif pergaulan bebas.[14] Dalam situasi yang demikian komunitas Muslim lantas mengantisipasi kepanikan moral dalam apa yang disebut sebagai palingan konservatif.[15] Salah satu fenomena yang menarik adalah para pendakwah yang berlomba-lomba mempromosikan gaya hidup yang religius dan saleh namun tetap gaul dan modern kepada generasi muda.
Menguatnya norma konservatif rupanya juga telah mengantarkan generasi muda pada pilihan yang sulit. Di satu sisi mereka tidak bisa begitu saja meninggalkan kultur liberal namun di sisi yang lain mereka dituntut untuk menjalankan norma-norma tradisi dan agama. Dengan kata lain generasi muda Indonesia dihadapkan pada formasi identitas yang terbuka sekaligus ketat sehingga membentuk subyektivitas yang beragam. Dari situ generasi muda memproduksi kluster-kluster gaya hidup hybrid yang cair.[16] Bagi mereka yang tumbuh dalam formasi identitas yang stabil, praktik tersebut akan dipandang sebagai hal yang ambigu atau tidak jelas. Pada akhirnya, anak muda sering mendapatkan perlakuan buruk dan menerima stereotip.
Dilema Generasi Muda: Identitas dan Karakter
Dua dekade terakhir infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi yang ada di Indonesia berkembang sangat pesat. Fungsi smart phone, jaringan internet serta media sosial pun dapat dimaksimalkan oleh masyarakat. Pada tahun 2020, data menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen anak muda Indonesia secara reguler mengakses internet dan media sosial.[17] Dengan demikian selain menjadi aktor utama pembentuk budaya digital anak muda juga pengusung suatu identitas kolektif yang baru. Pam Nilan mengatakan bahwa keterlibatan anak muda dalam tren budaya global telah memunculkan narasi-narasi identitas yang berbeda.[18]
Narasi-narasi identitas tersebut saling bertarung dalam memberikan pengaruh terhadap perilaku keseharian. Setiap narasi mempromosikan suatu bentuk gaya hidup yang dapat dikapitalisasi untuk keuntungan-keuntungan tertentu. Jika diinternalisasi, narasi gaya hidup ini akan berperan sebagai sumber makna dan pengalaman personal.[19]
Kita bisa melihat hal itu dari perkembangan cara berpakaian di Indonesia. Mungkin benar kalau kerudung atau jilbab dulu dipandang oleh sebagian besar Muslimah sebagai norma agama. Untuk itu muslimah mengenakan jilbab lebih karena mematuhi perintah agama. Di era konsumerisme hal tersebut mungkin masih berlaku tapi yang jelas memakai jilbab juga tidak bisa dilepaskan dari aspek sosio-kultural. Yang biasanya membikin tren berjilbab adalah para artis dan influencer. Mereka tidak hanya menjajakan produk tapi juga menawarkan imajinasi perempuan yang salehah, modis dan unik.[20]
Bagi Muslimah, khususnya yang berasal dari kelas menengah, imaginasi tersebut adalah modus eksistensi diri di tengah masyarakat. Karena setiap orang menerima hal itu, maka mengikuti tren berjilbab sama artinya dengan meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial. Tentu ini juga berlaku pada tren-tren gaya hidup yang lain. Mereka yang tidak tahu tren akan kekurangan modal simbolik dalam pertarungan menjadi bagian dari suatu kelas sosial. Selera pada tren-tren terbaru pada akhirnya berfungsi sebagai strategi mengukuhkan identitas diri secara sosial.[21]
Memiliki selera yang tinggi sudah barang tentu menjadi aspirasi setiap anak muda. Namun dalam kenyataan, selera tinggi seringkali tidak sinkron dengan modal sosial dan formasi identitas. Inilah yang menimbulkan suatu dilema di kalangan anak muda. Dilema ini cenderung diabaikan karena mereka lebih tertarik untuk bereksperimen terhadap cara pandang, nilai moral, etika, hingga gaya hidup. Apalagi dengan media digital, mereka bisa lebih gampang mencari referensi dan lebih leluasa mengekspresikan diri.[22] Oleh karena itu tidak mengherankan apabila generasi muda cenderung merelatifkan identitas. Mereka tidak tertarik memiliki identitas yang solid dan tetap.
Salah satu konsekuensi dari hal tersebut adalah anak muda memiliki karakter yang lemah. Karakter yang lemah lantas membuat seseorang lebih rentan ketika menghadapi tekanan dan persoalan. Anak muda yang menghadapi persoalan kadang juga enggan meminta bantuan kepada orang terdekat karena berpikir bahwa tidak ada yang memahami aspirasi mereka atau takut dihakimi. Pada akhirnya mereka tidak berani mengemukakan persoalan dan lebih memilih memendam sendiri. Hal ini justru membuat anak muda lebih mudah mengalami stress, sulit tidur, dan depresi.[23] Dengan demikian kita dapat memahami bahwa gangguan kesehatan mental banyak dialami oleh generasi muda dalam beberapa tahun terakhir berakar dari karakter yang rapuh.
Apakah persoalan generasi muda Indonesia tersebut bisa ditangani dengan revolusi mental? Tentu saja tidak. Ini adalah persoalan yang komplek yang lebih terkait dengan struktur sosial-budaya. Apa yang perlu ditekankan disini adalah cita-cita dalam mewujudkan generasi emas Indonesia tidak akan pernah tercapai tanpa adanya upaya mentransformasi kehidupan sosial-budaya yang lebih inklusif dan adil.
[1] Supriya Pavan Desai and Vishwanath Lele, ‘Correlating Internet, Social Networks and Workplace–a Case of Generation Z Students’, Journal of Commerce and Management Thought, 8.4 (2017), 802–15.
[2] Patrícia Rossini, ‘Beyond Incivility: Understanding Patterns of Uncivil and Intolerant Discourse in Online Political Talk’, Communication Research, 49.3 (2022), 399–425.
[3] Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (Verso, 2006).
[4] Edward Aspinall, ‘Indonesia: Moral Force Politics and the Struggle against Authoritarianism’, Student Activism in Asia: Between Protest and Powerlessness, 153180 (2012).
[5] Herdi Sahrasad and Muhammad Ridwan, ‘The Malari 1974, Press and the Soeharto’s New Order: A Historical Reflection on Student Movement in the Authoritarian Era’, Humanities and Social Sciences, 3.4 (2020), 2796–2806.
[6] Zayinatul Mustafidah and Sri Mastuti Purwaningsih, ‘Gerakan Mahasiswa Dan Kebijakan Nkk/Bkk Tahun 1978–1983’, Avatara, 4.1 (2016), 99–106.
[7] Jeremy Wallach, ‘Rock and Reformasi: Indonesian Student Culture and the Demise of the New Order’, 2002, xx.
[8] Meredith Leigh Weiss and Edward Aspinall, Student Activism in Asia: Between Protest and Powerlessness (U of Minnesota Press, 2012).
[9] Hadi Soesastro, ‘Government and Deregulation in Indonesia’, Chapter, 8 (1999), 105–17.
[10] Tania Murray Li, The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics (duke university Press, 2007).
[11] Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (U of Minnesota Press, 1996), i.
[12] Fredrik Sjöholm, ‘Productivity Growth in Indonesia: The Role of Regional Characteristics and Direct Foreign Investment’, Economic Development and Cultural Change, 47.3 (1999), 559–84.
[13] Erich Goode and Nachman Ben-Yehuda, Moral Panics: The Social Construction of Deviance (John Wiley & Sons, 2010).
[14] Nancy J Smith-Hefner, ‘’Hypersexed’youth and the New Muslim Sexology in Java, Indonesia’, RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 43.1 (2009), 209–44.
[15] Martin Van Bruinessen, Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the” Conservative Turn” (Institute of Southeast Asian Studies, 2013).
[16] Pam Nilan, ‘Youth Culture in/beyond Indonesia: Hybridity or Assemblage?’, in A Critical Youth Studies for the 21st Century (Brill, 2015), pp. 267–83.
[17] Tim Apjii, ‘APJII Rilis Hasil Survei Pengguna Internet Indonesia Terbaru’, 2020.
[18] Pam Nilan and Carles Feixa, Global Youth?: Hybrid Identities, Plural Worlds (Routledge, 2006).
[19] Craig Calhoun, ‘Morality, Identity, and Historical Explanation: Charles Taylor on the Sources of the Self’, Sociological Theory, 9.2 (1991), 232–63.
[20] Firly Annisa, ‘Contesting Piety: Representations of Indonesian Internet Celebrities on Instagram’, 2022.
[21] Nancy J Smith‐Hefner, ‘Youth Language, Gaul Sociability, and the New Indonesian Middle Class’, Journal of Linguistic Anthropology, 17.2 (2007), 184–203.
[22] Ariel Heryanto, ‘Upgraded Piety and Pleasure: The New Middle Class and Islam in Indonesian Popular Culture’, in Islam and Popular Culture in Indonesia and Malaysia (Routledge, 2011), pp. 60–82.
[23] Lisa Willenberg and others, ‘Understanding Mental Health and Its Determinants from the Perspective of Adolescents: A Qualitative Study across Diverse Social Settings in Indonesia’, Asian Journal of Psychiatry, 52 (2020), 102148.