
Stunting di Era Prabowo
Penulis : Agus S Efendi
Pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto secara resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia ke-8. Pada hari itu, Presiden Prabowo memukau publik Indonesia dengan pidato kenegaraannya yang berapi-api. Ia menyampaikan visi kepemimpinannya dengan nada optimis dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan bangsa. Misalnya adalah korupsi, kemiskinan dan ketimpangan. Presiden mengatakan hal yang cukup menarik yaitu “Jangan kita terlalu senang melihat angka-angka statistik yang membuat kita cepat gembira, cepat puas padahal kita belum melihat gambaran sepenuhnya.” Pernyataan ini dapat ditafsirkan sebagai pengingat bahwa fondasi dalam mewujudkan Indonesia Emas adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
Persoalan sumberdaya manusia sebenarnya terkait pada dua hal. Yang pertama adalah akses dan kualitas pendidikan dan yang terakhir adalah asupan nutrisi. Kedua hal ini merupakan kunci bagi setiap individu agar dapat dan mampu merealisasikan potensi yang dimilikinya. Meningkatkan mutu pendidikan serta membudayakan makan makanan bernutrisi adalah jalan yang harus diambil agar Indonesia mampu melahirkan generasi masa depan yang lebih sehat dan cerdas.
Dalam tataran kebijakan, upaya peningkatan sumberdaya manusia harus memiliki fokus dan prioritas. Hal ini dilakukan selain untuk efisiensi biaya juga efektifitas program. Pada era pemerintahan Jokowi, fokus kebijakan diarahkan pada fleksibilitas dunia pendidikan dengan dunia bisnis dan tentu saja mengawal bonus demografi. Salah satu program yang dijalankan pemerintah untuk mengawal bonus demografi adalah percepatan penurunan angka stunting. Program ini memperoleh status prioritas karena pemerintah memandang bahwa potensi bonus demografi dapat hilang apabila sebagian besar anak-anak Indonesia tetap dibiarkan mengalami stunting. Agar program prioritas nasional ini dapat dikatakan berhasil maka dibuat lah instrumen pengukur yang disebut angka prevalensi stunting beserta sasarannya.
Stunting sendiri dapat dipahami sebagai kondisi malnutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Penyebab stunting yang pertama adalah ibu mengandung yang kekurangan asupannutrisi. Hal ini biasanya akan membuat bayi memiliki panjang dan berat tubuh di bawah standar saat lahir. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus BBLR (bayi yang lahir dengan berat badan kurang 2,5 kg) di beberapa wilayah di Indonesia ternyata masih cukup tinggi. Penyebab stunting yang kedua adalah kekurangan nutrisi pada Ibu menyusui dan bayi.
Kita tahu bahwa pertumbuhan bayi usia 0 sampai 2 tahun sangat bergantung pada air susu dan makanan pendamping. Namun cukup banyak para ibu di Indonesia yang belum begitu peduli dengan kebutuhan nutrisi dirinya maupun bayinya. Bahkan, beberapa diantara mereka malah tidak mengetahui jenis makanan bergizi seimbang untuk bayi berusia 6 bulan ke atas. Kondisi yang demikian menjadikan program percepatan penurunan angka stunting bertemu persoalan besar. Kendati demikian, langkah terbaik untuk memecahkan persoalan tersebutadalah dengan mengupayakan perubahan pola perilaku dan budaya pengasuhan anak.
Sejauh ini berbagai strategi transformasi sosial telah dicoba untuk menurunkan stunting. Ambil contoh, sosialisasi untuk para remaja, bimbingan menikah, pencegahan stunting pada keluarga rentan, serta penguatan peran posyandu. Untuk memastikan upaya transformasi sosial itu berjalan secara berkelanjutan maka para pemangku kebijakan telah mendorong partisipasi aktif dari masyarakat. Semua hal tersebut tentu belum memberikan dampak yang cukup signifikan untuk penurunan stunting karena baru berjalan intensif sejak tahun 2021. Pada akhirnya kita harus mafhum apabila angka prevalensi stunting Indonesia pada tahun 2023 masih sebesar 21,5 persen.
Dengan kasus stunting yang relatif masih tinggi, apa yang akan dilakukan oleh pemerintahan baru untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia?
Satu hal yang tampak jelas adalah Presiden Prabowo meyakini, sama dengan pendahulunya, bahwa memastikan kebutuhan nutrisi sangat penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika fokus pemerintahan Prabowo lebih pada anak-anak usia sekolah, fokus pemerintahan Jokowi terletak pada 1000 HPK. Bagaimanapun, program Makan Bergizi Gratis sebenarnya ingin mempercepat proses transformasi sosial yang mana seluruh anak Indonesia mempraktikkan budaya makan makanan bernutrisi. Tentu dalam jangka panjang, anak-anak usia sekolah inilah yang diharapkan mampu menjadi generasi Indonesia Emas.
Namun program Makan Bergizi Gratis yang saat ini fokus menyasar anak-anak sekolah tidak akan menghilangkan masalah stunting. Stunting tetap akan menghantui jutaan balita yang sedang tumbuh besar dari Sabang sampai Merauke. Jika pemerintah tidak memiliki kebijakan yang menyasar masalah ini, Indonesia akan kehilangan generasi masa depan Indonesia yang potensial.
Stunting adalah masalah kita bersama sebagai sebuah bangsa. Kita musti mendorong pemerintahan Prabowo untuk terus menekan angka stunting dengan cara yang inovatif, komprehensif, dan berkelanjutan.