Penulis: Wahyu Tanoto (Bapak rumah tangga yang tinggal di Bantul)

Jadi laki-laki itu enak, kata siapa? Kalau yang Anda maksud adalah bebas melakukan apa saja, semisal mengambil keputusan, memimpin, dianggap kuat, dan selalu dihormati, maka mungkin itu hanya terdengar enak di permukaan. Jika Anda masih ragu cobalah untuk merunduk sebentar. Rasakan momen-momen ketika ekspektasi itu menumpuk dan kemudian menyatu, yang muncul adalah rasa tanggung jawab yang tidak jarang malah menekan. Apalagi, setiap ‘salah langkah’ yang diambil laki-laki dapat menghancurkan orang lain. Apakah masih tetap terdengar enak?

Begini ceritanya. Beberapa waktu lalu saya diminta menjadi pembicara di sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun tema yang dibahas adalah Peran Laki-Laki di Era Digital. Topik yang ringan, pikir saya waktu itu. Di ujung acara saya mulai berpikiran sebaliknya yaitu ketika beberapa peserta mengajukan pertanyaan. “Kalau jadi laki-laki, enak ya Mas, bebas?” Begitu nada pertanyaan salah satu dari mereka.

Bebas? Saya langsung terdiam. Bebas dari apa? Bebas mengambil risiko? Bebas menghadapi tekanan? Bebas menanggung beban yang tidak terlihat orang lain? Saya mulai menelusuri pengalaman pribadi. Lantas saya mengingat suatu fragmen hidup yang terjadi beberapa tahun lalu. Saya adalah seorang pemimpin tim di sebuah perusahaan. Seorang karyawan duduk di hadapan saya, wajahnya campur aduk antara harapan, ketakutan, dan permohonan belas kasihan. Dia tidak melakukan kesalahan besar yang mengancam kredibilitas perusahaan, tidak menyalahi aturan, tidak juga merugikan siapa pun. Dia hanya tidak bisa memenuhi target secepat yang diharapkan perusahaan. Dan saya harus memutuskan nasibnya.

Hari itu saya menjadi penguasa atas nasib seseorang. Nasib seorang ayah, seorang suami, seorang karyawan, seorang manusia biasa yang hanya ingin hidup layak. Saya bisa saja mempertahankan dia, tapi ada tumpukan target yang harus saya penuhi, dan efisiensi tim menjadi prioritas. Saya dipaksa memilih dan membuat keputusan. Dan pilihan itu bukan soal benar atau salah, bukan semata-mata soal moral, tapi soal hidup dan tanggung jawab yang mengikat saya.

Saya menatap wajahnya. Saya melihat kebaikan yang selama ini ia lakukan. Saya memperhatikan kemurahan dan kerendahan hati yang membuatnya disenangi semua orang. Dia termasuk orang yang disiplin, aktif dalam kegiatan sosial, bahkan menjadi khatib Jum’at. Semua hal itu terasa tak ada artinya saat harus menentukan siapa yang akan menetap dan siapa yang harus pergi.

Saya menekan keputusan itu, dan sejak hari itu, suara batin saya tidak pernah hening. Apa yang saya lakukan adil? Apakah saya telah menghancurkan mimpi dan harapan seseorang? Bagaimana kalau pilihan itu mempengaruhi kehidupan keluarganya? Saya merasa gelisah, bertanya-tanya tentang pertanggungjawaban moral, sosial, dan bahkan spiritual.

Dan di sini lah letak paradoksnya menjadi laki-laki. Orang hanya melihat sisi luar; kuat, tegas, berkuasa, tidak memiliki keraguan. Mereka tidak mengenal sosok laki-laki yang pada malam hari sering menanggung gelisah, pertanyaan batin yang menuntut jawaban, dan rasa bersalah yang menghantui tidur. Mereka tidak memahami bagaimana tanggungjawab yang tampak seperti hak istimewa itu ternyata (bagi saya) bisa menjadi beban cukup berat yang tidak bisa dibagikan kepada siapa pun.

Jadi laki-laki itu enak, kata siapa? Banyak yang iri dengan kebebasan dan kuasa yang kelihatan gayeng. Tapi mereka tidak menyadari harga yang harus dibayar. Laki-laki diharapkan menanggung segala sesak sendiri, menghadapi risiko tanpa boleh meneteskan air mata di depan orang lain, dan tetap dianggap kuat meski hancur di dalam.

Maka jangan heran kalau banyak laki-laki yang tampak dingin atau cuek. Itu cara mereka bertahan. Itu cara mereka menutupi kecemasan yang tidak boleh terlihat oleh orang lain. Mereka belajar bahwa kelemahan, ‘haram’ untuk ditampilkan. Bahkan ketika hati laki-laki menjerit, mereka tetap harus berjalan tegak, tersenyum, mengambil keputusan yang rentan ‘melukai’ orang lain.

Jadi, sekali lagi, menjadi laki-laki itu enak, kata siapa. Saya akan bilang, sebagian aspek memang memberi keuntungan. Tapi sebagian besar, itu sama sekali tidak ringan, yang bahkan saking sulitnya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Berat yang hanya bisa dirasakan di malam-malam gelisah ketika Anda harus memilih antara keadilan dan tuntutan, antara empati dan efisiensi, antara kemanusiaan dan ekspektasi.

Dan di ujungnya, Anda tetap harus berjalan, tetap harus memikul beban itu, dan tetap harus tersenyum kepada dunia yang percaya bahwa semua itu mudah. Itulah sekelumit pengalaman yang pernah saya rasakan menjadi laki-laki.