Penulis: Agus S Efendi

Islam adalah agama kasih sayang dan keadilan. Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan kepada kita untuk berperilaku sabar, lemah lembut, dan bersikap moderat. Dalam Al-Qur’an memang disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang berbeda. Namun di dihadapan Allah keduanya setara. Artinya kesetaraan manusia sebagai hamba merupakan inti ajaran Islam. Lantas bagaimana ajaran Islam itu diamalkan oleh kaum Muslim dalam proses sejarah.

Surat An-Nisa ayat 3 menyebutkan secara eksplisit bahwa poligami dan perbudakan domestik diperbolehkan. Namun ayat yang sama juga menekankan landasan perkawinan adalah sikap adil. Adapun alasan pembolehan itu bukan lain untuk menghindari perilaku zalim. Ajaran normatif ini sebenarnya terkait dengan realitas historis yang spesifik. Tentu, bagi mereka yang berpandangan bahwa ajaran itu bersifat universal, realitas historis jadi tidak relevan. Tapi jangan lupa juga kalau Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Ada konteks historis tertentu yang menyebabkan wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian untuk memahami ayat tersebut perlu dibedakan mana esensi ajaran Islam dan mana konteks dimana ajaran Islam itu termanifestasi dalam ruang waktu.[1]

Artikel ini membahas norma dan praktik perkawinan dalam tradisi Arab-Islam. Dengan pendekatan historis kita ingin menjawab apakah Islam memiliki visi kesetaraan dan kritis terhadap patriarki. Penulis berargumen bahwa pada awal perkembangan Islam komunitas Arab mengalami transformasi kehidupan sosial yang lebih egaliter dan beradab. Namun sayangnya, pengembangan peradaban Islam telah meninggalkan nilai egaliter dan menggantinya dengan hierarki dan dominasi.

Praktik Perkawinan Arab pra-Islam

Masyarakat Arab pra-Islam hidup secara berkelompok dalam suku-suku. Suku Arab sendiri memiliki tradisi kepemimpinan komunal yang didasarkan pada garis keturunan atau klan. Misalnya adalah suku Quraish Makkah yang salah satu tokoh pemimpinnya berasal dari klan (bani) Hasyim. Cara pengorganisasian politik ini berkaitan erat dengan kondisi geografis Jazirah Arab yang minim lahan subur. Penduduk wilayah bergurun ini tidak akan bisa hidup tanpa mengandalkan perdagangan. Dalam ekspedisi perdagangan, orang Arab kerap menghadapi serangan dari suku nomaden di sepanjang perjalanan. Kesuksesan dagang ditentukan oleh kekuatan bertarung serta kecapakan bernegosiasi.[2] Oleh karena itu perdagangan hanya mungkin dilakukan oleh kaum laki-laki.

Peran sentral laki-laki dalam menyediakan kebutuhan dasar penduduk di wilayah Arab secara umum kemudian membuat perempuan dan anak-anak sangat bergantung pada klan. Bagi mereka, klan atau ikatan kekerabatan adalah satu-satunya ruang yang tersedia untuk hidup dengan aman dan stabil. Namun bagi pemimpin klan perempuan dipandang sebagai beban. Dari situ tidak mengherankan apabila muncul anggapan bahwa perempuan hanya sekadar properti (objek yang dimiliki). Anggapan ini lantas membuat para orang tua dari suku Quraish merasa malu jika memiliki bayi perempuan. Sebaliknya, ketika memiliki bayi laki-laki mereka akan merasa bangga hingga membuat pesta perayaan. Salah satu efek samping dari hal tersebut adalah kelahiran bayi perempuan tidak jarang malah disambut dengan pembunuhan.

Status perempuan sebagai objek tampak sangat jelas ketika melangsungkan perkawinan. Bagi suku Quraish, perkawinan sama artinya dengan kesepakatan dagang.[3] Pihak laki-laki membayar uang pengganti kepada orang tua perempuan agar anaknya bisa dimiliki. Tidak penting apakah si perempuan suka atau tidak, perkawinan merupakan sejenis transfer tanggungjawab dari orang tua kandung ke suami. Perempuan adalah sosok yang selalu pasif dalam proses reproduksi sosial.

Setelah menikah, perempuan akan memiliki status yang lebih baik ketika melahirkan anak laki-laki. Dengan adanya anak laki-laki maka perempuan akan memperoleh berbagai jenis insentif seperti perhatian suami, prestise sosial dan keleluasaan ekonomi. Bahkan, demi mendapatkan keturunan seorang istri harus patuh jika suaminya menyuruh untuk berhubungan intim dengan laki-laki lain.[4] Jika perempuan tidak sanggup memenuhi harapan tersebut maka nilai perempuan tidak lebih sebagai objek kesenangan.

Perkawinan Arab pra-Islam akan dapat dipahami dengan baik jika mempertimbangkan strata sosial. Stratifikasi sosial yang berlaku di Arab didasarkan pada pengaruh politik dan kekayaan ekonomi. Klan yang berhasil memadukan dua kekuatan tersebut akan menduduki strata sosial yang tinggi. Perempuan yang lahir dari klan ini merupakan perempuan yang terhormat. Sebagai perempuan merdeka, mereka memperoleh hak atas kepemilikan harta kekayaan.

Figur yang dapat merepresentasikan hal itu adalah Siti Khadijah. Pada saat Nabi Muhammad muda, Siti Khadijah telah dikenal sebagai perempuan sukses karena memiliki harta kekayaan yang besar dan mampu mengelola kafilah dagang di Makkah. Pernikahan Siti Khadijah dengan Nabi Muhammad sesungguhnya dapat dikatakan tidak lazim dalam tradisi Arab pra-Islam karena yang menginisiasi pernikahan adalah pihak perempuan. Biasanya yang menawarkan pernikahan adalah pihak laki-laki karena memiliki harta kekayaan. Namun karena Siti Khadijah adalah janda yang kaya raya, ia bisa keluar dari tuntutan norma tradisi.[5]

Cerita perempuan Arab yang berasal dari strata sosial menengah dan bawah tentu jauh berbeda. Mereka akan dinikahkan oleh ayah dari klan tempat mereka hidup dengan pertimbangan pragmatis. Misalnya adalah memperkuat posisi klan atau memperoleh jaminan sumber penghidupan. Karena itu tidak mengherankan apabila perempuan lebih berfungsi sebagai aset properti. Yang menarik, perempuan yang tidak memiliki klan disebut sebagai yatim karena dianggap tidak memiliki pelindung. Seringkali untuk bertahan hidup perempuan yatim harus menjual dirinya dengan menjadi pelayan atau budak domestik (milkul yamin).

Norma Patriarki dan Transformasi Islam

Apa yang telah kita bahas menunjukkan bahwa sistem patriarki mengakar kuat dalam tradisi budaya Arab. Istilah patriarki disini merujuk pada norma sosial yang menjustifikasi peran dominan laki-laki dalam kehidupan sosial. Hal ini harus dibedakan dengan patrilineal yang berarti mekanisme sosial yang menetapkan status hak dan kewajiban berdasarkan garis keturunan laki-laki. Tentu dalam kenyataan kedua kategori tersebut sering tumpang tindih. Masyarakat Arab mengatur patrilineal sebagai strategi bertahan hidup dalam mengatasi keterbatasan kondisi geografis. Namun yang jelas, mekanisme tersebut juga melahirkan sistem patriarki yang mendiskreditkan status dan meminggirkan peran perempuan.

Islam pada dasarnya mengakomodasi patrilineal tapi sangat kritis terhadap patriarki. Proses transformasi Islam dalam hal ini dimulai saat Rasulullah menyampaikan wahyu yang berisi kritik atas praktik pembunuhan bayi perempuan.[6] Nabi Muhammad ingin merubah norma patriarki yang dianut oleh sebagian besar penduduk Makkah dengan tauhid yang menghargai kemanusiaan. Islam menekankan bahwa baik laki-laki dan perempuan memiliki status yang sama sebagai hamba dan akan dinilai amalnya secara adil oleh Allah. Kerangka normatif Islam ini jelas mengandung nilai egalitarian dalam hubungan manusia dengan Tuhannya. Implikasi paling mendasar dari hal tersebut adalah perbedaan gender dapat dijembatani dengan suatu landasan moral universal yang inklusif.[7]

Ketika Islam sebagai kekuatan politik berkembang, salah satu peristiwa yang tidak bisa dihindari adalah perang. Perang tentu membutuhkan biaya dan kerap memakan korban yang tidak sedikit. Bangsa Arab sendiri memiliki aturan perang yang ketat dimana selain dimulai dengan kesepakatan juga dilarang membunuh perempuan dan anak-anak. Yang menarik, perempuan kerap ikut ke medan perang sebagai pendukung dan perawat. Dengan adanya aturan perang itu perempuan tidak terlalu khawatir dengan keselamatan mereka. Meskipun demikian jika kalah dan tertangkap mereka akan diperlakukan sebagai harta rampasan. Para tahanan perang yang ditangkap oleh pasukan Islam akan dibebaskan jika mereka memeluk Islam.

Leila Ahmed mengatakan bahwa pada zaman nabi dan para sahabat, Islam berhasil mengadvokasi status dan peran perempuan. Misalnya, mengakui hak perempuan mendapat mahar nikah, diperlakukan dengan baik, menceraikan pasangan dan memperoleh porsi harta warisan.[8] Peran perempuan juga membaik secara signifikan. Hal ini terlihat jelas dalam peran yang diambil oleh para istri Nabi Muhammad. Ambil contoh Siti Aisyah. Selain dikenal sebagai ummul mukminun beliau juga dipandang otoritatif dalam menyampaikan ajaran Islam. Aisyah adalah tokoh perempuan yang berpolitik untuk kemaslahatan umat Islam.[9] Disamping itu para istri nabi yang lain juga menjadi perempuan yang merdeka dan independen. Pendeknya, Islam telah membuat kedudukan perempuan jauh lebih baik daripada masa sebelumnya.

Ajaran Islam tentang kesetaraan rupanya juga mengadvokasi kaum marginal (mustad’afin) yaitu fakir miskin dan anak yatim. Bagi penduduk kelas menengah-atas, advokasi Islam tersebut tentu akan merugikan kepentingan kelompok mereka. Mereka yang selalu diuntungkan dengan norma patriarki akan berusaha untuk menjaga sistem sosial yang ada. Dengan demikian tidak mengherankan apabila dakwah nabi ketika di Makkah mendapat penolakan yang keras dari para pemimpin suku Quraish.

Orthodoxy dan Otoritarianisme

Jika Islam mengkritik budaya patriarki, mengapa nilai-nilai patriarkal tetap bertahan ketika peradaban Islam berkembang? Bagi sebagian orang mungkin pertanyaan ini tampak tendensius karena menilai peradaban Islam dengan karakter patriarki. Namun jika melihat bagaimana kekuasaan politik (khilafah) Islam dikukuhkan dan direproduksi maka kita akan mendapati sesuatu yang positif.[10]

Jika kita meninjau perkembangan tradisi intelektual Muslim sebagai sumber otoritatif ajaran Islam, nilai-nilai patriarkal dipertahankan melalui diskursus hukum perkawinan Islam. Para ahli fiqh saling berdebat dan berkontestasi dalam merumuskan argumentasi hukum Islam yang koheren. Namun dalam hukum perkawinan mereka mengasumsikan bahwa perkawinan dianalogikan sebagai transaksi dan status perempuan dipandang tidak berbeda dengan budak.[11] Imam Syafi’i berargumen bahwa hanya laki-laki yang berhak menikahi, sedangkan perempuan adalah pihak yang pasif atau dinikahi. Proposisi ini lantas membentuk algoritma hukum yang mana hak dan status perempuan selalu berada di bawah supremasi laki-laki.

Para ulama ahli fiqh tersebut lantas melahirkan suatu genre diskursus orthodoxy Islam yang sangat ketat terhadap perbedaan gender. Diskursus orthodoxy ini memandang bahwa peran dan keberadaan perempuan harus dibatasi. Misalnya adalah perempuan jika keluar harus menutup diri, jika bepergian harus ditemani, dan suara perempuan merupakan aurat. Dengan adanya dalil normatif tersebut maka partisipasi perempuan dalam kehidupan publik pun menjadi sangat minim bahkan nyaris tidak ada.

Diskursus segregasi itu rupanya juga dikukuhkan lewat kekuasaan yang otoriter. Pemerintahan dinasti Abbasiyah pada dasarnya banyak mengadopsi pola administrasi dan kultur kekuasaan Sasinia (Persia). Misalnya adalah pengangkatan hakim oleh pemerintah dan praktik kepemilikan harem (budak perempuan). Untuk yang pertama kita dapat mengingat kembali peristiwa mihnah yang mana para ulama yang tidak sejalan dengan doktrin pemerintah akan dipersekusi dan dipenjara. Konsekuensi untuk yang kedua adalah masyarakat Islam secara umum memperlakukan perbudakan sebagai praktik yang wajar dan legal.[12] Tentu, yang paling dirugikan dari mekanisme sosial ini adalah budak perempuan. Dalam diskursus orthodixy, pemilik budak perempuan berhak dan absah untuk menggauli. Namun hal ini tidak berlaku untuk budak laki-laki.

Dari situ, dapat dikatakan bahwa diskursus orthodoxy telah mengukuhkan relasi gender yang hierarkis serta menempatkan laki-laki dalam posisi dominan. Artinya pengembangan peradaban Islam telah meninggalkan nilai-nilai egaliter yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.


[1] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (University of Chicago Press, 1982).

[2] William Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford University Press, 1981); Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century (Taylor & Francis, 2022).

[3] Kecia Ali, Marriage and Slavery in Early Islam (Harvard University Press, 2010).

[4] Praktik demikian disebut al-istibda’.

[5] Leila Ahmed, ‘Women and the Advent of Islam’, Signs: Journal of Women in Culture and Society, 11.4 (1986), 665–91.

[6] Aqsa Tasgheer and Muhammad Ishfaq, ‘Female Infanticide in Pre-Islamic Arab Society: A Quranic and Historical Perspective’, AL-QAWĀRĪR, 3.01 (2021), 1–12.

[7] Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam (Sterling Publishers Pvt. Ltd, 2008).

[8] Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate (Veritas Paperbacks, 2021).

[9] Nabia Abbott, Aishah: The Beloved of Mohammed (Al Saqi Books, 1985).

[10] Ghada Karmi, ‘Women, Islam and Patriarchalism’, Women and Islam, 1 (2005), 165–79.

[11] Ali.

[12] Nabia Abbott, ‘Women and the State in Early Islam’, Journal of Near Eastern Studies, 1.3 (1942), 341–68.