Penulis: Agus S Efendi

Keluarga adalah fondasi peradaban. Dalam sejarah, peradaban umat manusia berkembang seiring dengan pengelolaan kehidupan keluarga. Keluarga merupakan produk khas manusia untuk meregenerasi dirinya sendiri secara sosial. Institusi keluarga mula-mula terbentuk berdasarkan ikatan darah atau kesamaan genealogi biologis. Di zaman dulu hubungan keluarga ini disebut sebagai bani (tradisi Arab) atau trah (tradisi Jawa). Meski demikian setiap komunitas sosial memiliki trajektori perkembangan model ikatan kekeluargaan yang beragam. Praktik kekerabatan ini tentu yang kemudian membentuk budaya masyarakat dengan norma-norma tertentu.

Sebagai norma universal, Islam yang dibawa nabi Muhammad mengajarkan bahwa seluruh umat manusia adalah setara dihadapan Allah SWT. Adapun salah satu inti ajaran Islam adalah saling mengenal dan menjalin tali persaudaraan.[1] Tentu landasan nilai yang mampu memotivasi seseorang untuk mengamalkan ajaran tersebut bukanlah adat yang bersifat partikular tetapi sesuatu yang bersifat transendental.

Dalam khazanah Islam, tata aturan kehidupan itu kemudian dikenal sebagai fiqh. Ilmu ini menggali argumentasi hukum dari wahyu (Al-Quran) dan riwayat sunnah nabi (hadist). Yang menarik, bidang keilmuan ini telah melahirkan metode istishlah (pendasaran kesejahteraan publik) dan istihsan (pendasaran kebaikan subjek). Kedua metode ini digunakan oleh para ulama untuk memberikan status hukum pada suatu perkara berdasarkan shariat Islam.

Tulisan ini ingin mengungkap genealogi konsep maslahah dan berupaya mengembangkannya sebagai landasan moral-etik dalam kehidupan keluarga (rumah tangga). Penulis melihat, bahwa dalam satu dekade terakhir, term ‘keluarga maslahah’menjadi salah satu acuan dalam mengembangkan ideal type kehidupan berkeluarga di Indonesia.[2] Namun sayangnya istilah tersebut lebih dipahami dalam kerangka legal-doktriner sehingga tampak kurang memacu diskusi yang berorientasi praxis. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mendekatkan diskursus dalam tradisi fiqh dengan khazanah ilmu pengetahuan lain yang berkembang dalam peradaban Islam serta mempertimbangkan pemahaman modern agar konsep maslahah lebih relevan dan kontekstual.

Tradisi Diskursif Hukum Islam (Fiqh)

Para pemikir Islam kontemporer memiliki banyak pendekatan dalam mengkaji perkembangan intelektualisme Islam. Salah satu cara terbaik untuk memahami ilmu pengetahuan Islam adalah dengan memperlakukannya sebagai tradisi diskursif. Talal Asad menawarkan perspektif alternatif ini karena berpandangan bahwa ilmu pengetahuan Islam lahir dan berkembang dari beragam aktivitas intelektual Muslim yang saling berdialog.[3]

Di masa para sahabat dan tabi’in (abad 1 H) ilmu pengetahuan Islam cenderung menekankan pada pengamalan yang didasarkan pada ajaran yang ada dalam al-Quran serta sunnah nabi yang diketahui. Pada masa ini Islam adalah ilmu yang memandu praktik keseharian umat. Ketika Islam telah menyebar luas, titik episentrum ilmu pengetahuan Islam pun muncul di beberapa kota. Dalam struktur diskursif yang seperti itu, setiap persoalan yang menyangkut kehidupan komunitas Islam di suatu kota akan dicarikan sandaran pada al-Quran atau riwayat praktik yang pernah dilakukan oleh nabi.[4] Seseorang yang memiliki kemampuan dalam merefleksikan persoalan disebut sebagai mufti (orang yang memberikan pendapat hukum).

Pada waktu itu terdapat sekelompok intelektual yang ahli ilmu agama tetapi juga melakukan aktivitas literasi. Dari situ lahir tokoh-tokoh intelektual Muslim dengan otoritas keilmuan. Di kalangan sunni tokoh yang otoritatif adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Keempat tokoh ini dipandang memiliki otoritas karena tiga alasan. Pertama, memiliki pemahaman yang mendalam tentang Islam. Kedua, berhasil mensistematisasi pemahaman tersebut menjadi ilmu pengetahuan yang koheren. Terakhir mampu memberikan argumentasi hukum yang konsisten.

Tiga alasan tersebut yang menjadikan mereka memperoleh kedudukan sebagai imam madhaf. Istilah imam di sini memiliki arti orang yang terdepan dalam memformulasikan prinsip dan metode ilmu pengetahuan Islam (baca: fiqh).[5] Mereka adalah sosok intelektual Muslim yang karya-karyanya selalu menjadi rujukan serta inspirasi untuk generasi-generasi sesudahnya dalam mengembangkan fiqh.

Yang menarik pada zaman itu adalah perselisihan pendapat tentang suatu persoalan adalah hal yang biasa. Bahkan para ulama tidak jarang saling mengkritisi argumen yang dilontarkan ulama yang lain. Salah satu pernyataan Imam Syafi’i yang terkenal adalah “pendapatku boleh jadi benar tetapi berpeluang salah, sedangkan pendapat orang lain bisa jadi salah namun berpeluang benar.” Hal itu menunjukkan bahwa para ulama saat itu memiliki sikap yang terbuka terhadap perbedaan sehingga ilmu pengetahuan berkembang dinamis.[6]

Salah satu perselisihan yang paling terkenal adalah yang melibatkan ahl hadist dan ahl ra’yi. Dua kelompok ini berselisih soal sumber hukum dan status metode yang digunakan. Para ahl hadist berpendapat bahwa riwayat sunnah nabi harus diutamakan sebagai sumber hukum dan meminimalisir penalaran spekulatif. Sedangkan ahl ra’yi menganggap bahwa riwayat sunnah nabi memiliki banyak kelemahan dan mengandung inkonsistensi. Oleh sebab itu mereka hanya menjadikan al-Quran sebagai sumber rujukan utama. Adapun metode penggalian hukum yang dipandang paling konsisten adalah penalaran logis. Secara tipologis, pengaruh ra’yi yang paling kuat terdapat pada Imam Hanafi. Sedangkan hadist mendapat status yang spesial pada Imam Syafi’I.

Sebagai konsekuensi, kedua Imam madhaf itu cenderung berbeda pandangan dalam metode penggalian hukum. Imam Hanafi yang bermukim di kufah (Irak) cenderung lebih mengutamakan penalaran dalam menggali hukum suatu permasalahan. Salah satu metodenya yang terkenal adalah istihsan (preferensi subjektif) yang mana ketika qiyas memunculkan beberapa argumentasi hukummaka yang dipilih adalah yang terbaik. Dalam pandangan Imam Hanafi, hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari natural law (prinsip moral objektif) yang direngkuh melalui akal budi.[7]

Manhaj tersebut lantas dikritik oleh Imam Syafi’i dengan argumen bahwa istihsan tidak pernah dicontohkan oleh nabi dan ketika dihadapkan pada persoalan beliau akan menunggu datangnya wahyu. Selain itu apabila istihsan dianggap sebagai metode penggalian hukum Islam yang absah maka setiap orang berhak memutuskan hukum. Tentu Imam Syafi’i yang terkenal sangat hati-hati dalam bermanhaj langsung bersikap kritis karena khawatir hal itu akan membuat syariat Islam dikotori oleh hawa nafsu.[8]

Bagi Imam Syafi’i hukum Islam harus didasarkan pada apa yang tertulis dalam al-Quran dan apa yang diriwayatkan dalam hadist. Dengan demikian Imam Syafi’i mengusung apa yang dinamakan legal positivism (prinsip konvensi secara textual) karena fokus memberikan status hukum pada apa yang tampak dan jelas.[9]

Di masa selanjutnya, hukum Islam yang didominasi pendekatan deduktif mendapatkan pembaruan ketika umat Islam mempelajari khazanah ilmu pengetahuan dari tradisi lain. Pengaruh filsafat naturalis mendorong para intelektual Muslim untuk memformulasikan konsep-konsep hukum yang lebih komprehensif. Dengan metode induktif mereka menggali asas-asas dasar atau tujuan dari syariat Islam. Hasil dari ijtihad itu kemudian tertuang dalam konsep maslahah, maqosid, dan dharuriat.[10] Beberapa konsep dasar ini sebenarnya dapat membawa paradigma fiqh menjadi lebih inklusif. Akan tetapi karena pada masa itu kekuasaan politik lebih mempromosikan tradisi madhaf tertentu dan menganut doktrin teologis yang ketat maka paradigma fiqh tampak ekslusif.

Salah satu konsekuensi dari paradigma fiqh yang eksklusif adalah kecenderungan untuk berpandangan kaku dan konservatif. Ini menjadi persoalan ketika corak intelektual tersebut menghadapi modernisasi yang menekankan progress (orientasi masa depan yang semakin baik). Maka tidak mengherankan apabila pandangan konservatif itu tampak semakin kurang relevan menghadapi tantangan zaman.

Genre Ilmu Pengetahuan Islami: Adab dan Filsafat

Kita tahu bahwa di masa dinasti Abbasiyah ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Berbagai bidang keilmuan muncul dan berkembang karena para intelektual Muslim mudah mengakses dan mempelajari pengetahuan dari beragam tradisi. Inilah yang mengantarkan peradaban Islam mencapai puncak kejayaan. Franz Rosenthal mengidentifikasi ada empat genre ilmu pengetahuan yang muncul pada periode ini yaitu; fiqh, tasawwuf, adab dan filsafat.[11] Dua genre yang pertama memang sudah dikenal umum karena berkembang dalam tradisi intelektual yang selalu berkomitmen pada doktrin teologis. Namun dua genre yang terakhir tampak masih asing bagi sebagian umat Islam.

Kriteria genre ilmu pengetahuan itu sebenarnya didasarkan pada koherensi logika internal yang membuatnya otonom serta berorientasi pada praxis tertentu. Genre filsafat misalnya, merupakan ilmu yang mempelajari apa yang ada (what it is) baik itu secara spekulatif maupun empirik. Dalam filsafat perangkat utama untuk mengetahui adalah akal budi. Dengan pengamatan dan refleksi, para filsuf berupaya untuk menggali hikmah serta hukum-hukum keberadaan alam semesta. Oleh sebab itu orientasi praxis filsafat adalah ideal manusia bijak (wise man).

Genre itu berbeda jauh dengan fiqh yang lebih merupakan tafsir atas syariat Islam. Adapun perangkat untuk mengetahui syariat adalah wahyu. Oleh karena itu orientasi praxis dari fiqh adalah ideal manusia yang taat (legal man). Artinya fiqh memandu Muslim untuk menegakkan iman dan selalu bertakwa (menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama).[12]

Genre adab dan tasawuf sebenarnya memiliki lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Kedua genre ini sama-sama berorientasi pada tindakan dan perilaku. Di samping itu adab dan tasawuf juga mengakui bahwa manusia itu memiliki fitrah (sifat/kecondongan alamiah). Maka tidak mengherankan apabila fokus kedua genre ini adalah membentuk manusia paripurna (insan kamil). Kendati demikian perangkat yang digunakan untuk mencapai hal tersebut berbeda.

Jika tasawuf menggunakan perangkat teoretis hubungan mahkluq dengan Khaliq sebagai basis untuk mengolah diri, maka adab lebih mengandalkan pemahaman tentang potensi dan kualitas diri.[13] Yang dimaksud pemahaman disini tidak lain adalah kemampuan olah akal budi dalam mengenali kecondongan alamiah. Dari situ kita dapat mengatakan bahwa orientasi praxis tasawuf adalah ideal manusia suci (holy man). Sedangkan untuk adab adalah ideal manusia terdidik (educated man).

Mengapa filsafat dan adab dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan islami? Jawabannya adalah karena kedua genre ilmu tersebut mampu mengantarkan manusia mencapai tujuan beragama, yaitu mengenal fitrah. Salah satu jenis fitrah manusia adalah mengharap kebaikan pada diri. Dalam hal ini, filsafat dan adab mendorong manusia untuk menggunakan akal budinya dalam memahami apa yang dimaksud kebaikan. Formula pengetahuan tentang kebaikan ini bernama moral atau etika.

Seseorang yang memiliki standar moral-etik yang tinggi biasanya telah mengenal apa yang disebut kebajikan diri (self-virtue). Dalam tradisi Islam hal ini disebut sebagai fadhilah (kapasitas/ketrampilan yang diberikan Tuhan dalam diri seseorang). Namun yang jelas fadhilah ini perlu diasah secara terus-menerus agar mengakar dalam kepribadian. Jika telah mengakar maka seseorang akan mampu bersikap adil terhadap dirinya sendiri. Artinya secara natural ia bertindak berdasarkan kepentingan untuk mencari kebaikan yang esensial.

Pencarian kebaikan yang esensial membawa kita pada dua term yang telah disinggung di atas, yaitu istishlah dan istihsan. Kita dapat memaknai istishlah sebagai upaya pencarian kebaikan secara umum (common good). Para intelektual Muslim menyebutnya sebagai maqosid syariah yang terdiri atas pelestarian jiwa, akal budi, agama, harta, dan keturunan.[14] Sehingga setiap perilaku atau tindakan yang berorientasi pada hal tersebut disebut sebagai maslahah.

Adapun istihsan dapat diartikan sebagai upaya menjadikan diri lebih baik. Karena fokus perbaikannya adalah dimensi internal maka seseorang harus mengenal apa yang disebut fenomena subjektif. Para filsuf Muslim menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat beberapa fakultas kejiwaan seperti roh, hati nurani, akal budi, persepsi, nafsu dan syahwat. Keadaan manusia yang demikian menjadikan ia disebut ahsani taqwim (sebaik-baiknya ciptaan).[15] Oleh karena itu istihsan tidak lain adalah pendisiplinan jiwa agar memiliki kecondongan pada kebaikan. Sikap ini akan membuat seseorang memperoleh kebahagiaan batin.

Etika Maslahah dalam Kehidupan Keluarga

Di bagian ini kita akan berupaya untuk memformulasikan etika maslahah dalam konteks kehidupan berkeluarga. Etika maslahah sendiri tentu tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan umum (public good).[16] Hubungan antara keduanya tercermin dari pernyataan bahwa tujuan utama manusia dalam menjalani kehidupan berkeluarga adalah mencari kebahagiaan baik secara lahiriah maupun batiniah. Kebahagiaan lahiriah bersifat objektif karena tolok ukurnya adalah kemaslahatan bersama. Sedangkan kebahagiaan batin lebih bersifat subjektif yang mana parameternya adalah realisasi jati diri. Untuk mencapai kedua jenis kebahagiaan tersebut tentu kita memerlukan suatu pandangan dunia yang komprehensif.

Imam Ghazali mengatakan bahwa dalam memperoleh kebahagiaan yang hakiki seseorang harus memiliki empat kunci. Kunci pertama, pengetahuan tentang diri. Kedua, pengetahuan tentang Tuhan. Ketiga, pengetahuan tentang dunia ini apa adanya. Dan terakhir, pengetahuan tentang akhirat. Keempat pengetahuan inilah yang akan membentuk kesadaran dan pandangan dunia seorang Muslim dalam menjalani kehidupan.[17] Guna menjadi landasan etik dalam kehidupan keluarga kita perlu membahasnya satu persatu.

Pengetahuan tentang diri sangat penting dimiliki ketika seseorang hendak menikah dan ingin membangun sebuah keluarga. Syarat utama menikah sendiri adalah akil baligh (mampu bernalar dan cukup usia). Pengetahuan tentang diri ini akan membuat seseorang matang secara mental-emosional. Jika tidak kehidupan pernikahan yang dijalani akan mudah tersulut perselisihan dan rentan mengalami perceraian. Pengetahuan diri ini sebenarnya perlu diasah dengan praktik istihsan. Praktik disiplin kejiwaan ini akan membentuk pribadi seseorang menjadi lebih dewasa. Ketika seseorang telah terbiasa ber-istihsan maka secara tidak langsung kehendak dalam diri akan condong untuk mengarah pada kebaikan bersama.

Bekal seseorang dalam membangun keluarga tentu tidak hanya ketrampilan dalam memperoleh materi tetapi juga cakap dalam menjaga hubungan serta perasaan dengan pasangan. Di samping itu kedua pasangan juga harus pandai mengukur diri agar terpelihara suasana yang nyaman. Dengan demikian prinsip hubungan yang harmonis adalah saling mengisi dan saling memberi. Setiap ada persoalan akan diputuskan dengan jalan musyawarah. Tujuannya adalah untuk menemukan kemaslahatan bersama. Hal yang demikian tidak lain adalah praktik istishlah. Adapun mereka yang mampu mempraktikkan istishlah disebut sebagai orang soleh.

Pengetahuan tentang Tuhan merupakan fondasi utama dalam membangun keluarga. Setiap pasangan harus memahami dan menyadari kalau pernikahan adalah janji suci dihadapan Tuhan. Artinya, menjalani kehidupan keluarga dengan cara sebaik-baiknya memiliki nilai ibadah. Keyakinan pada Tuhan sendiri akan menuntun kehidupan keluarga pada ritme yang stabil. Dengan keimanan yang terus dipelihara, sebuah keluarga akan lebih mensyukuri segala nikmat yang diberikan Tuhan dan tidak mudah berputus asa dalam mengharap limpahan rezeki.

Yang selanjutnya adalah pengetahuan tentang dunia apa adanya. Jenis pengetahuan ini mungkin yang paling luas dimensinya. Ini mencakup bagaimana seseorang hidup dalam masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar, memupuk solidaritas dan mengaktualisasi diri. Etika maslahah menganjurkan bahwa kebahagiaan akan hadir dalam rumah tangga yang mampu memenuhi apa yang dibutuhkan oleh setiap anggotanya secara layak. Dengan kata lain maslahah dalam pengetahuan dunia ini tidak lain adalah keluarga yang hidup sejahtera.

Karena itu mencari nafkah adalah kewajiban bagi setiap kepala rumah tangga. Tentu kewajiban ini bukan berarti menutup kesempatan mereka yang bukan kepala keluarga untuk berperan dan berkontribusi. Pembagian peran dalam keluarga sendiri ditentukan oleh kemaslahatan dalam menghadapi suatu kondisi tertentu. Di samping itu, upaya penyejahteraan keluarga tentu harus dilakukan dengan cara yang halal dan baik.

Kunci kebahagiaan yang keempat adalah pengetahuan tentang akhirat. Jenis pengetahuan ini dapat menjadi penguat dalam menjalani kehidupan keluarga yang maslahah. Pasangan yang memiliki pengetahuan ini akan memandang bahwa keluarga yang mereka bina akan memiliki konsekuensi dalam kehidupan setelah kematian (akhirat). Jika mereka membina keluarga dengan baik dan penuh tanggungjawab maka surga adalah tempat yang dituju. Apabila yang terjadi malah sebaliknya, tempat yang dituju adalah neraka.

Hal yang perlu ditekankan adalah siksa neraka tidak hanya terjadi kelak di akhirat tetapi juga berlaku saat hidup di dunia ini. Misalnya adalah ketika diri kita diselimuti oleh sifat jahat seperti dusta, iri, dengki dan sombong pasti kita akan segera dihukum oleh hati nurani dengan rasa tidak puas, merasa kurang dan penyesalan. Oleh karena itu kita harus membersihkan hati nurani karena ia adalah sebaik-baiknya hakim yang kita miliki. Jika kita ceroboh atau lalai merawatnya maka jiwa kita akan sakit sehingga pancaran petunjuk dari Tuhan tidak mampu kita tangkap.

Etika maslahah akan menuntun setiap pasangan beserta keluarga yang mereka bina memperoleh kebahagiaan hidup. Kebahagiaan sendiri tidak lain adalah kemampuan memaknai dan menjalani seluruh aktivitas kehidupan dengan sepenuh hati.


[1] Q.S. (49:13) dan Q.S. (3:103)

[2] Fondasi Keluarga Sakinah: Bacaan Mandiri Calon Pengantin (Jakarta: Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2017).

[3] Talal Asad, ‘The Idea of an Anthropology of Islam’, Qui Parle, 17.2 (2009), 1–30.

[4] Wael B Hallaq, An Introduction to Islamic Law (Cambridge University Press, 2009).

[5] Ahmed El Shamsy, The Canonization of Islamic Law: A Social and Intellectual History (Cambridge University Press, 2013).

[6] Ahmed Fekry Ibrahim, ‘Legal Pluralism in Sunni Islamic Law: The Causes and Functions of Juristic Disagreement’, in Routledge Handbook of Islamic Law (Routledge, 2019), pp. 208–20.

[7] Hassaan Shahawy, ‘How Subjectivity Became Wrong: Early Hanafism and the Scandal of Istihsan in the Formative Period of Islamic Law (750-1000 CE)’, 2019.

[8] Imam Syafi’i, ‘Ringkasan Kitab Al-Umm’, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, pt. 3.

[9] Joseph E Lowry and Kecia Ali, The Epistle on Legal Theory: A Translation of Al-Shafi’i’s Risalah (NYU Press, 2015).

[10] Lihat Anver M Emon, Islamic Natural Law Theories (Oxford University Press, 2010).

[11] Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Brill, 2007), ii.

[12] M Khalid Masud, ‘Adab Al-Mufti: The Muslim Understanding of Values, Characteristics, and Role of a Mufti’, Moral Conduct and Authority: The Place of Adab in South Asian Islam, 1984, 124–51.

[13] Ira Marvin Lapidus, Knowledge, Virtue, and Action: The Classical Muslim Conception of Adab and the Nature of Religious Fulfillment in Islam (University of California Press, 1984).

[14] Jasser Auda, Maqasid Al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law (International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2022).

[15] Q.S. (95:4)

[16] Karim H Karim, ‘Sustaining and Enhancing Life’, The Shari’a: History, Ethics and Law, 2018, 59.

[17] Abu Hamid Al-Ghazali, ‘Kimiya’al-Sa ‘adah’, Kimia Ruhani Untuk Kebahagiaan Abadi. Terjemahan Dedi Slamet Riyadi Dan Fauzi Bahreisy. Jakarta: Penerbit Zaman, 2001.