Sumber gambar: Kompas.com

Oleh Sunaji Zamroni

Pada awal Maret 2025, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan kebijakan kontroversial melalui Rapat Kabinet Terbatas: pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih secara nasional. Keputusan yang diumumkan oleh Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan, didampingi Menteri Desa PDTT Yandri Susanto dan Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, langsung memantik gelombang respons kritis di ruang publik. 

Pertanyaan mendasar yang mengemuka adalah mengapa kebijakan baru ini lahir justru ketika Badan Usama Milik Desa (BUM Desa) masih membutuhkan pendampingan intensif? Tulisan ini membahas tentang inisiatif atas lahirnya Koperasi Desa Merah Putih, sebagai kebijakan baru. 

1. Pendekatan Top-Down yang Melanggar Ruh UU Desa

Meneladani pola instruktif yang pernah diterapkan pada program BUM Desa, kebijakan Kopdes Merah Putih kembali menggunakan pendekatan top-down. Hal ini jelas bertolak belakang dengan asas rekognisi (pengakuan terhadap otonomi desa) dan subsidiaritas (kewenangan desa untuk mengatur diri sendiri) yang menjadi ruh UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Alih-alih mengakui kedaulatan desa, negara dianggap “menyalip di tikungan” dengan memaksakan kelembagaan baru. Padahal, lebih dari 57.000 BUM Desa dan 6.000 BUM Desa Bersama yang ada masih sangat membutuhkan evaluasi dan pembinaan yang serius.

2. Potensi Tumpang Tindih dan Konflik dengan BUM Desa

Argumentasi pemerintah bahwa Kopdes Merah Putih akan fokus pada “bisnis perantara” justru berpotensi menimbulkan masalah baru. Faktanya, banyak BUM Desa telah sukses menjalankan peran serupa, seperti usaha sarana produksi pertanian, perdagangan hasil komoditas desa, dan layanan simpan pinjam.

Kehadiran Kopdes Merah Putih berisiko menciptakan duplikasi fungsi, persaingan tidak sehat, dan konflik sumber daya di tingkat desa, bukannya memperkuat kelembagaan yang sudah ada.

3. Dasar Pembentukan yang Lemah dan Melanggar Prinsip

Alasan bahwa 9.400 desa belum memiliki BUM Desa atau koperasi dinilai sebagai justifikasi yang keliru. Pasal 87 UU Desa dengan tegas menyatakan bahwa pembentukan BUM Desa adalah PILIHAN, bukan kewajiban. Memaksa desa-desa ini untuk membentuk Kopdes Merah Putih sama saja dengan mengabaikan pilihan mereka dan melanggar semangat otonomi desa.

4. Ironi dalam Prinsip Perkoperasian

UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menegaskan bahwa koperasi berlandaskan asas kekeluargaan dengan prinsip keanggotaan yang sukarela dan terbuka. Sebuah koperasi yang lahir dari instruksi pusat jelas menginjak-injak prinsip dasar ini. Kekhawatiran para ahli seperti Rully Indrawan dan Jimly Asshiddiqie patut dicermati – kebijakan ini justru berpotensi merusak kredibilitas gerakan koperasi Indonesia secara keseluruhan.

5. Prioritas Keliru di Tengah Darurat Pembinaan BUM Desa 

Menabur yang baru atau menjaga yang ada? Kebijakan Kopdes Merah Putih muncul pada momentum yang tidak tepat. Daripada membentuk kelembagaan baru yang berpotensi tumpang tindih dan dipaksakan, prioritas seharusnya adalah pemantauan, evaluasi, dan pendampingan yang komprehensif terhadap BUM Desa yang sudah ada.

Oleh karenanya, pemerintah perlu berkonsentrasi pada faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Membina BUM Desa yang kinerjanya baik untuk menjadi lebih berkelanjutan
  2. Merevitalisasi BUM Desa yang hanya menjadi “papan nama”
  3. Menghormati otonomi desa dalam memilih model kelembagaan ekonominya

Membangun desa sebaiknya dilakukan dari bawah, sesuai dengan kebutuhan lokal dan secara partisipatif, bukan melalui pendekatan instruktif. Kebijakan ini bukan hanya soal efektivitas program, tetapi lebih mendasar: sebuah ujian terhadap komitmen negara dalam mengimplementasikan UU Desa dan menghormati prinsip demokrasi ekonomi di tingkat akar rumput.

Bahan Bacaan:

1. Zamroni, Sunaji. “BUM Desaku Malang, Koperasi Desa Disayang” tempo, maret 2025

2. https://setkab.go.id/kop-des-merah-putih/

3. https://bumdes.kemendesa.go.id/

Sunaji Zamroni merupakan Peneliti LP3M UNU Yogyakarta