Oleh Nabilah Munsyarihah

Sumber gambar: Tsirwah

Seorang professor psikologi menulis buku best seller mengenai dampak teknologi digital bagi anak dan remaja. Ialah Jonathan Haidt dengan bukunya The Anxious Generations. Dalam buku itu, tesis utama Haidt adalah teknologi digital mengubah perkembangan otak dan kehidupan social anak. Anak berkawan gawai dengan arus utama di lingkunganya yang rerata demikian, nyaris tak memberikan kita kesempatan untuk sama sekali tak memberi anak internet. Apakah ini jalan yang benar untuk mempersiapkan jalan bagi masa depannya?

Haidt menulis bahwa ekses internet bagi remaja laki-laki dan perempuan berbeda. Remaja laki-laki rentan terpapar pornografi, kecanduan video game, kurangnya komunikasi sosial dan akibatnya adalah kematangan emosional yang tertunda. Sementara remaja perempuan rentan terkena masalah internalisasi diri seperti meletakkan standar nilai kecantikan, keren, bagaimana cara agar diakui dan dicintai pada konten internet. Visualisasi kecantikan yang makin ilusif dan pencapaian hidup dan dipamerkan di media sosial membuat remaja putri kita cemas dan kehilangan nilai dirinya. Belum lagi jika ia terkena manipulasi emosional maupun seksual, benar-benar mimpi buruk.

Dalam sebuah wawancara mengenai pengasuhan digital, seorang ibu pernah menggambarkan bagaimana efek tontonan memengaruhi bahasa anaknya. Si anak meniru kata-kata kasar yang tidak ada di daerahnya. Setiap ia bermain meski hanya bermain boneka, kata kasar itu selalu keluar. Saat ditanya mengapa bermain dengan menyebut kata-kata seperti itu, ia menjawab, kata-kata itu selalu disebutkan oleh gamer di Youtube sambil memainkan game. Anak ini pun mengasosiasikan kata kasar dengan aktivitas bermain. Sungguh cara berpikir polos yang tak pernah kita bayangkan membawa dampak seperti itu untuk anak.

Tetapi ketika ditanya dampak positif internet, ibu tersebut sangat optimis. Meski sebelumnya ia sudah menceritakan dampak negatif yang membuatnya kalang kabut soal etika sosial, tapi ia tetap meyakini bahwa berinteraksi itu penting bagi anak, minimal agar anaknya tidak ketinggalan zaman. Menurutnya, tidak mungkin anak tidak menggunakan internet di zaman ini. Anak-anak harus terbiasa menggunakan internet agar dapat beradaptasi dengan teknologi yang semakin maju.

Kembali ke Haidt, setelah meneliti dan merumuskan berbagai ekses negatif internet bagi anak, Haidt dengan gamblang merekomendasikan ‘no social media before 16 years old’. Media sosial yang dimaksud termasuk platform video seperti YouTube dan TikTok. Dampak bagi perkembangan psikologis anak lebih maslahat tanpa media sosial.

Apakah itu mungkin di tengah arus utama internet seperti hari ini?

Haidt menawarkan aksi kolektif dari keluarga, platform, sekolah, dan pemerintah agar mampu mengembalikan lingkungan anak yang minim internet. Jika perubahan ini digerakkan oleh individu, dampaknya tak akan besar. Harus aksi kolektif yang dapat mengubah dunia anak menjadi dunia yang aman baginya.

Di sini kita bisa melihat gambaran besarnya bahwa literasi digital ataupun kampanye digital parenting tidak bisa menjadi jawaban jika platform masih melakukan ‘business as usual’ tanpa memperhatikan pengguna anak yang memakai teknologi mereka. Demikian juga pemerintah. Di sebuah diskusi tingkat nasional di Jakarta mengenai isu keluarga, saya sempat bertanya pada seorang pejabat Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah soal apa yang dilakukan pemerintah di ranah pendidikan untuk mengatasi dampak teknologi digital bagi anak. Beliau menjawab, anak-anak itu bermain hp di rumah, itu tanggung jawab orang tua.

Jika literasi digital orang tua menjadi jawaban maka pertanyaannya adalah siapa yang memberikan edukasi kepada orang tua? Apakah orang tua dapat berjuang sendiri melawan arus algoritma dan raksasa perusahaan digital? Apa pemerintah pernah secara serius mengedukasi orang tua dan anak agar berdaya mengatasi masalah akibat aktivitas digital?

Kita terbawa arus digital, bukan mempersiapkan masa depan digital untuk anak kita. Di era ini, ijtihad pengasuhan menjadi nafsi-nafsi. Sesuai dengan semangat neoliberalisme, di tengah dominasi pasar dan arus yang dibuatnya, tanggung jawab ada di pundak masing-masing. Tak heran jika yang terjadi adalah kekacauan seperti hari ini. Anak-anak terdampak video porno menjadi pelaku kekerasan seksual, teman mainnya menjadi yang menjadi korban, anak terjerat adiksi game online dan scroll media sosial, begadang dan kurang tidur main gawai berakibat malas belajar, pendapatan fantastis content creator menjadi jalan dambaan anak muda, kata kasar biasa diucapkan di ranah daring luring, dan yang paling mendasar adalah anak semakin tidak punya hubungan emosional dengan lingkungannya bahkan dengan orang tuanya.

Teknologi lari dengan cepat, tapi kita masih gagap membaca kenyataan. Kita gagal melihat gambaran besar karena kita terjebak dalam gelembung kita masing-masing. Bukan saja soal filter bubble internet, melainkan juga gelembung yang membuat kita bicara ‘yang penting tidak terjadi pada anakku’ ketika membaca sebuah kasus yang menimpa anak orang lain. Padahal risiko internet bagi anak sangat banyak dan satu masalah dapat memicu masalah yang lain dan pada orang lain. Kita hidup dengan milyaran kemungkinan yang dapat menyasar anak kita di ranah digital maupun dalam kehidupan sosial yang nyata.

Lalu apa yang bisa disiapkan?

Memberikan tips pengasuhan digital bisa memberikan sedikit pengetahuan. Tapi dalam tulisan ini, saya ingin memberikan gambaran besar bahwa kita sebagai masyarakat dan orang tua seperti dibiarkan menjadi garda depan dalam medan perang di mana anak-anak kita menjadi tawanan. Raja dan patih seperti melalui kata-katanya seperti memberikan dukungan dan perlindungan, tetapi kenyataannya kita menjadi pion yang diberikan ilusi kekuatan bisa menghadapi lawan yang tak terbayangkan kekuatannya.

Di mana platform? Di mana pemerintah? Benarkah kebijakan platform dan pemerintah dapat melindungi anak-anak kita? Jawabannya penting untuk kita renungkan bersama.

Nabilah Munsyarihah merupakan Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi, FISIPOL, UGM