Penulis : Yuyun Apriani (Mahasiswi UNU Yogyakarta angkatan 2024)
Editor : Tim Pusdeka


Perubahan suhu panas yang akhir-akhir ini kita rasakan merupakan bagian dari fenomena krisis iklim. Hal ini menjadi tantangan global yang tidak boleh luput dari perhatian berbagai kalangan, khususnya anak muda. Jika dibiarkan dan tidak ada langkah untuk mengantisipasi tentu akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang semakin serius.

Bali adalah provinsi yang terkenal dengan panorama alam yang mempesona. Tiap tahun jutaan wisatawan baik lokal maupun mancanegara berkunjung ke pulau Dewata untuk berlibur. Namun siapa sangka, dibalik itu terdapat banyak tumpukan sampah yang teronggok di mana-mana. Misalnya sampah yang ada di sungai-sungai dan pesisir pantai. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi warga pulau Bali.

Wilayah Bali perlu memperhatikan krisis iklim karena dampaknya dapat menurunkan daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Sudah umum diketahui bahwa perekonomian Bali memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor pariwisata. Tidak hanya itu, krisis iklim juga akan mengganggu kesehatan warga di Bali khususnya pada kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.

Berdasarkan data statistik jumlah umat Islam di Bali hanya sekitar 10 persen. Meskipun menjadi minoritas, umat Islam di Bali tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-A’raf ayat 56.

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah diciptakan-Nya dengan baik. Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

Ayat tersebut merupakan seruan untuk bertindak etis di bumi. Adapun contoh dari etika Islam adalah pola hidup sederhana, tidak berlebihan (qana’ah) serta anjuran untuk menabung. Untuk menguatkan etika Islam, hal yang perlu dilakukan adalah kerja sama dan saling menerima, termasuk penyandang disabilitas. Lantas, seberapa penting kontribusi penyandang disabilitas?

Seringkali penyandang disabilitas, baik fisik, mental, sensorik, netra dan rungu, mengalami kesulitan dalam menghadapi bencana alam dan perubahan lingkungan. Mereka juga kesulitan untuk berpartisipasi dalam gerakan-gerakan pelestarian lingkungan. Penyebabnya adalah keterbatasan akses informasi dan infrastruktur yang belum ramah disabilitas. Dua hal ini membuat penyandang disabilitas tidak sigap dalam menanggapi tantangan krisis iklim di masa mendatang.

Ambil contoh kasus membuang sampah. Penyandang disabilitas relatif kesulitan dalam membedakan antara sampah organik, sampah anorganik, sampah sisa, dan sampah residu. Selain itu, penyandang disabilitas netra mengalami kesulitan ketika membuang sampah pada wadah yang sesuai dengan kriterianya. Mereka juga tidak mampu pengelolaan sampah itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peran penyandang disabilitas selalu terabaikan dalam isu iklim dan lingkungan. Padahal, keterlibatan penyandang disabilitas akan membantu upaya mengantisipasi bencana dan membuat mereka peduli terhadap kesehatan diri dan lingkungan sekitar.

Dari situ kita perlu bertanya, bagaimana cara meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas? Yaitu dengan mendorong semua pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dan melibatkan penyandang disabilitas dalam program-program edukasi pengelolaan sampah, kebersihan dan sanitasi serta proses daur ulang sampah yang lebih inklusif.

Dalam Surat Al-Maidah ayat 2, Allah berfirman:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.