
Oleh Mikhatul Fikriya
Fenomena bunuh diri dan gangguan mental di Indonesia terus menjadi isu yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental di Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan laporan statistik dari Goodstats pada Oktober 2025 provinsi dengan tingkat bunuh diri tertinggi adalah Jawa Tengah, Bali, dan disusul Jawa Timur. Namun yang menjadi pertanyaan, Jakarta tidak berada dalam daftar tertinggi.
Penelitian dari Universitas Sebelas Maret (UNS) oleh Lydia Julyeta Siahaan dan Berliana Widi Scarvanovi menunjukkan bahwa kesepian memiliki peran penting dalam meningkatkan suicidal ideation, sementara dukungan sosial yang dirasakan (perceived social support) dapat menurunkan risiko tersebut. Studi ini menegaskan bahwa tekanan hidup bukanlah faktor tunggal, melainkan ketiadaan rasa terhubung.
Inilah yang membuat kasus Jakarta unik. Kota ini memang keras, tapi juga padat oleh orang-orang yang sedang berjuang bersama. Tekanan hidup di Jakarta bukan hanya milik satu orang. Semua orang sedang bekerja keras, sedang mengejar sesuatu, sedang bertahan. Akibatnya, banyak orang merasa bahwa mereka tidak sendirinya mengalami tekanan itu.
Koneksi sosial di Jakarta muncul dalam bentuk kecil tapi nyata: teman kos, rekan kerja yang lembur bersama, komunitas kreatif, obrolan singkat di coffee shop, atau sekadar seseorang yang bisa diajak mengeluh tentang macet dan harga makan siang. Kehadiran orang lain, bahkan kalau tidak selalu dekat mampu mengurangi rasa terisolasi, yang menurut penelitian UNS tadi merupakan kunci dalam pencegahan pikiran bunuh diri.
Dalam psikologi, ada konsep yang disebut shared struggle, kondisi di mana seseorang merasa bahwa beban hidup bukan hanya ditanggung dirinya. Di Jakarta, wujud ini terlihat jelas. Tekanan hidup justru memperkuat ketahanan mental karena ada kesadaran bahwa semua orang sedang berjuang.
Ketika seseorang merasa tidak sendirian, daya tahannya meningkat. Ia tahu bahwa hidupnya sulit, tetapi perjuangannya bukan sesuatu yang asing. Ada “teman seperjalanan” yang tidak selalu dekat secara emosional, tetapi tetap hadir dalam ritme harian.
Sementara itu, provinsi-provinsi dengan tingkat bunuh diri tinggi justru banyak yang dikenal lingkungan yang tenang dan damai. Lingkungan yang terlihat stabil ini kadang menciptakan ilusi bahwa “semua orang baik-baik saja”. Ketika seseorang di tengah lingkungan seperti itu mengalami pergolakan batin, ia dapat merasa sangat berbeda, sangat terasing, dan sangat sendirian.
Perasaan itulah yang membuat pertahanan mental melemah. Tekanannya mungkin tidak sebesar Jakarta, tetapi kesepian emosionalnya jauh lebih kuat.
Jakarta memiliki tingkat literasi dan akses layanan kesehatan mental yang lebih baik. Warga lebih mudah menjangkau psikolog, psikiater, komunitas support group, hingga konten edukasi kesehatan mental. Hal ini penting karena pemahaman yang baik tentang kondisi mental sering membantu seseorang mencari pertolongan sebelum terlambat.
Penelitian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) oleh Ferdi W. Djajadisastra dan tim juga menunjukkan bahwa self-compassion mampu melindungi seseorang dari pikiran bunuh diri, terutama ketika ia merasa menjadi beban atau terasing. Akses literasi, edukasi, dan dukungan ilmiah membuat warga Jakarta lebih mungkin terpapar konsep seperti ini daripada daerah yang akses informasinya terbatas.
Fakta bahwa Jakarta bukan provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi mengajak kita memahami satu hal penting, risiko bunuh diri tidak ditentukan oleh seberapa berat hidup seseorang, tetapi oleh seberapa sendirinya ia merasa.
Tekanan dapat dihadapi ketika seseorang merasa ditemani. Sebaliknya, kehidupan yang tampak tenang tidak menjamin ketahanan mental jika seseorang merasa dunia baik-baik saja kecuali dirinya.
Dan pada akhirnya, hal paling penting dalam kesehatan mental bukanlah tempat seseorang tinggal, tetapi rasa terhubung yang ia miliki dan kesadaran bahwa ia tidak perlu menjalani semuanya sendirian.
Mikhatul Fikriya merupakan Wakil Ketua Duta Santri Nasional 2024 – 2025