
Oleh: Nabila Munsyarihah
Ada konsep yang disebut parental mediation atau mediasi orang tua dalam mendampingi anak menggunakan media. Konsep ini berkembang sejak zaman media televisi yang saat itu televisi dianggap membawa risiko bagi anak. Mungkin kita belum lupa bagaimana efek anak yang suka nonton film pahlawan seperti power rangers, ultraman, bahkan WWF smackdown memicu perilaku agresif anak. Kartun pahlawan itu sebenarnya dirate untuk anak usia 6+. Karena di usia itu, mereka baru bisa memahami mana yang realitas dan mana yang imajinasi. Di usia dini, anak tidak bisa membedakan dan semua yang dia lihat dipahami sebagai realitas.
Risiko televisi seperti tidak ada ada apa-apanya dibandingkan dengan risiko internet di masa kini. Bahkan kadang kita merasa berita-berita yang memuat kemalangan akibat internet seperti tiada habisnya. Seperti saat ini, sedang jadi tren global ‘Day 1 meeting friends from Roblox’. Sudah sejak lama edukasi tentang ‘jangan berkomunikasi apalagi bertemu dengan orang asing dari internet’ digaungkan. Tetapi anehnya, apa yang diantisipasi tersebut malah menjadi tren yang muncul dan digulirkan dengan terbuka. Saya tidak habis pikir, ini bukan saja era post truth, tapi era di mana nilai bisa dibolak-balik pokoknya asyik.
Kita sudah bahas di artikel sebelumnya bahwa keluarga terutama ibu diberi beban luar biasa berat dalam pengasuhan era digital tanpa ada bantuan dan dukungan yang memberdayakan. Menuntut ibu sebagai ibu yang baik, tetapi ibu harus struggling sendiri. Ketika program edukasi literasi digital mandeg, sementara generasi digital terus bertumbuh, keluarga terpaksa melakukan tugas ini dengan upaya sebisanya.
Di era ini yang paling penting dimiliki keluarga adalah nilai dan komitmen. Orang tua punya pondasi nilai yang kokoh dalam mendidik anak juga menyampaikannya melalui teladan. Resep ini hampir pasti mujarab, tetapi ‘too good to be true’ untuk bisa diimplementasikan di semua keluarga Indonesia yang dengan kompleksitas sosial, ekonomi, politik hari ini, kebanyakan dari kita membawa beban mental yang membuat etika dan nilai seperti jauh sekali untuk kita pedomani. Keluarga yang relatif stabil secara ekonomi, terdidik, terliterasi, punya akses pendidikan yang baik, punya komitmen tinggi, adalah keluarga yang beruntung lebih punya kemampuan untuk menjaga anak mereka secara komprehensif di era ini.
Tulisan ini memang tidak bermaksud menjadi tips singkat yang mudah dilakukan. Tetapi, tulisan ini ingin mengajak berefleksi bahwa mediasi orang tua bukan sesuatu yang berdiri di ruang kosong. Ia dipengaruhi oleh kondisi keluarga, lingkungan, dan sosio-struktural. Kebanyakan tips parenting digital ideal bisa dilakukan di keluarga yang memang kondisinya baik. Meski ayah ibu bekerja, anak main gawai di rumah bersama pengasuh, tetapi ada aplikasi parental control yang bisa mereka gunakan untuk monitoring.
Apakah syarat menggunakan aplikasi parental control? Syaratnya adalah anak disediakan gawai sendiri sehingga gawainya bersih dari berbagai aplikasi yang tidak sesuai rate usianya, tidak bercampur algoritma dengan orang tua, dan serba bisa dibatasi dari segi durasi dan aplikasi. Pertanyaannya, keluarga seperti apa yang bisa menyediakan gawai khusus untuk anaknya? Tentu saja keluarga yang ekonominya baik.
Di lapangan, variasi penggunaan gawai anak dan model pendampingan orang tua sangat bervariasi. Mulai dari pengadaan akses, ada yang anak disediakan gawai sendiri, ada yang meminjam gawai orang tua. Ada yang sudah disediakan gawai sendiri, tetapi belum tentu memanfaatkan aplikasi parental control. Ada yang full akses wifi, ada yang dibatasi karena orang tua tidak mampu beli paket data mahal.
Saat anak meminjam gawai orang tua, artinya anak berpotensi menggunakan aplikasi-aplikasi yang ditujukan untuk orang dewasa, misalnya media sosial. Tidak hanya itu, jika misalnya anak dan orang tua menggunakan aplikasi Youtube yang sama dalam satu gawai, artinya algoritmanya tercampur. Anak bisa melihat preferensi orang tua dan orang tua bisa mendapat rekomendasi video anak. Meskipun yang ditonton orang tua adalah video yang aman, menurut saya tetap ada risiko anak-anak terpapar konten yang berbahaya bagi anak karena mesin juga melayani prefrensi orang tuanya sebagai orang dewasa. Algortimanya bercampur dan berbagai kemungkinan rekomendasi yang dihasilkan mesin bisa memunculkan apa saja tanpa kita duga.
Ketika terjadi sesuatu yang berbahaya, pengguna membutuhkan kemampuan resiliensi digital. Apakah itu? Yaitu kemamapuan untuk bertahan, beradaptasi, dan pulih atau bangkit dari gangguan digital termasuk serangan siber, pelanggaran privasi, terkena cyberbully, terpapar adiksi pornografi, dan sebagainya yang dapat merusak mental seseorang.
Ruang digital itu seperti hutan belantara yang ekosistemnya sangat kaya dan kompleks. Ketika anak memasuk ruang digital, apakah dia masuk melalui akses yang aman untuknya? Atau dia masuk begitu saja ke dalam belantara yang dia tidak pahami risikonya. Saat ada sesuatu yang menyerangnya, dia belum paham bagaimana caranya bertahan dan menyelamatkan diri. Ketika anak diajak bertemu dengan teman dari Roblox, ia tidak tahu identitas yang sebenarnya dari temannya itu, apa dia bermaksud jahat atau tidak. Di reels Instagram saya terpapar dua video mengenai berita roblox ini. Pertama, di Amerika seorang anak diculik dan dibawa kabur 400km dari rumahnya setelah janjian dengan teman Roblox yang ternyata orang dewasa yang jahat. Kedua, di luar negeri, ada teman roblox yang juga pria dewasa tampak tidak sehat mentalnya datang ke rumah anak yang memberikan alamat rumah via chat roblox.
Di sisi lain, saya juga nonton dua video dari Indonesia yang mirip yaitu dua mbak-mbak yang janjian dengan teman robolox ternyata temannya ini masih ‘bocil’ laki-laki. Suasananya dibuat humor dan tidak ada nuansa tidak aman karena bertemu dengan ‘mbak-mbak cantik yang kelihatannya baik’. Namun, jika jenis kelaminnya di balik, kita akan merasakan nuansa bahaya. Pada dasarnya, ketika anak bertemu orang asing yang ia kenal dari internet itu tidak aman. Jokes ‘Day 1 ketemu teman Roblox’ bukanlah becandaan yang pantas.
Ketimpangan literasi digital baik dari segi keterampilan, keamanan, etika, dan budaya yang dimiliki orang tua dan diterapkan dalam keluarga yang satu dengan yang lain akan mengakibatkan daya resiliensi yang berbeda pula. Ketimpangan digital ini tidak hanya soal akses tekonologinya, melainkan juga akses memanfaatkan teknologi secara optimal untuk kemanfaatan dan menghindari risiko. Semakin tidak terliterasi, semakin rapuh daya resiliensinya. Itu bisa berdampak pada masa depan anak jika sampai terkena risiko berat dari interaksinya di dunia digital.
Saya jadi teringat novel Dan Brown yang berjudul Digital Fortress atau Benteng Digital. Benteng yang dimaksud di situ adalah kode rumit yang jika dibobol bisa membahayakan negara. Saat ini Digital Fortress kita tidak hanya soal kode atau password, melainkan tentang kerumitan mediasi orang tua, tingkat literasi digital, kondisisi sosio-struktural keluarga, ekosistem digital yang makin liar, adalah kelindan kompleks dalam isu pengasuhan di era ini. Saat negara minim hadir, keluarga adalah benteng dari risiko digital yang bisa menimpa anak-anak.
Nabilah Munsyarihah
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fisipol, UGM dan Direktur Penerbit Buku Anak Alalakids