Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional, pada Rabu 19 Oktober 2022 Pusdeka telah menyelenggarakan public lecture dengan mengundang Ibu Lies Marcoes Nasir untuk mendiskusikan persoalan kawin anak di Indonesia. Dalam Public lecture yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu, Ibu Lies memberikan banyak wawasan baru yang menurut kami sangat bernilai untuk dibagikan kepada teman-teman peneliti, dosen atau mahasiswa yang meminati kajian gender dan anak. Untuk itu berikut adalah transkrip public lecture tersebut.

File transcrip dapat diunduh di sini.

Transcript Lecture Kawin Anak dan Persoalan Pemenuhan Hak Anak di Indonesia

by Agus S Efendi (Peneliti Pusdeka)

Terimakasih, selamat sore
Assalamu’alaikum wr. wb.

Mbak Fierda, boleh saya tahu berapa waktu saya bicara?

Fierda  : Waktu pemaparan untuk Bu Lies adalah 45 menit.

Oke, baik.

Bismillahirrohmanirrohim, saya ucapkan terimakasih atas undangan yang diberikan oleh Pusdeka UNU Yogyakarta. Hormat dan salam saya sampaikan kepada pak Rektor UNU, kepada Mbak Rindang Farihah, yang juga adalah ketua Pusdeka. Teman-teman peneliti, para dosen … saya tidak tahu Mbak Isma ada disini atau tidak, yang sudah ikut menghubungi saya. Dan juga kepada para peserta yang mengikuti acara ini.

Begini, saya sangat senang mendapatkan tema ini karena menghubungkan kawin anak dengan konvensi hak anak. Apa sih problemnya? Begitu ya. Isu kawin anak itu memang sebuah isu yang sangat menarik minat dan perhatian orang. Saya baru kembali dari Belanda, saya bertemu dengan Dr Houri, orang jepang yang melakukan penelitian di Cianjur mengenai Child’s Marriage as a Choice. Jadi ini memikirkan ulang agensi internasional dalam kaitannya dengan human rights. Bayangkan, bagaimana isu kawin anak pada akhirnya harus dibahas; bagaimana ya kalau itu malah menjadi pilihan si anak itu sendiri. Mengapa hal itu muncul menjadi perbincangan?

Kalau kita ingat, atau katakanlah secara samar-samar, mungkin ya, Ibu/bapak sekalian, melihat pada dokumen-dokumen rancangan pembangunan di Indonesia, sebetulnya kawin anak bukanlah satu tema yang dibayangkan akan menjadi problem di masa yang akan datang. Begitu juga di dalam undang-undang perkawinan yang nanti akan saya sampaikan. Dalam pembangunan misalnya, bukan hampir lagi tapi tidak ada agenda yang membicarakan mengenai bagaimana menghentikan perkawinan sebagai agenda pembangunan. Kenapa? Karena teori pembangunannya adalah akan terjadi akselerasi yang dengan sendirinya orang tua yang tadinya kawin anak, dalam era pembangunan anak-anak akan masuk ke dunia pendidikan. Selesai dari pendidikan akan masuk ke dunia kerja. Karenanya diimbangi dengan berdirinya industri, ragam-ragam jenis pekerjaan. Sehingga secara teori tidak ada perkawinan anak.

Nah, tapi pada faktanya, seperti tadi sudah disampaikan oleh Bu Rindang dan juga oleh Fierda, kawin anak menjadi fenomena yang menguat di Indonesia atau di negara-negara yang mempersoalkan kawin anak, ini kita juga harus bahas. Karana di negara Barat kawin anak itu tidak dibahas kecuali bagi para migran. Di Indonesia misalnya kita mempersoalkannya ketika covid-19 menyeruak di tengah masyarakat dan salah satu dampaknya adalah kawin anak.

Saya dalam 45 menit akan membahas soal apa sih yang sebetulnya ibu/bapak tahu tentang kawin anak. Kemudian soal hak anak apa saja yang dilanggar. Ini saya akan membahas tiga atau empat tema saja yang relevan dan kontekstual. Dan lalu apa yang harus kita lakukan. Tadi saya mengatakan bahwa begitu mengejutkannya praktik perkawinan anak itu pada kongres ulama perempuan di Indonesianya (KUPI) salah satu hasil musyawarah keagamaannya adalah menuntut negara untuk memenuhi hak-hak anak dengan mengkondisikan agar anak tidak mengalami perkawinan anak.

Kalau kita lihat ke konvensi hak anak. Di situ ada 54 pasal. Tetapi yang berkaitan dengan pasal-pasal substantif itu ada 42. Yang lainnya itu adalah soal teknis kerja sama orang dewasa dalam melindungi anak. Tadi saya sudah mengatakan bahwa diantara 42 itu saya hanya akan membahas dua atau tiga tema saja. Yang lainnya mungkin bisa menjadi tema diskusi mingguan Mbak Rindang di Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga.

Definisi kawin anak di Indonesia mengalami perubahan dari yang sebelumnya 16 tahun menjadi 19 tahun. Secara legal, batas usia kawin adalah 21 tahun. Dengan izin orang itu 19 tahun sekarang, baik itu laki-laki ataupun perempuan sebagai hasil usaha yudisial review yang dilakukan oleh teman-teman, tanpa lelah dari tahun ke tahun, melakukan usaha untuk menaikkan usia kawin. Namun begitu, kita tahu bahwa ada dispensasi yang menyulitkan ideal minimal kawin 19 tahun ataupun 21 tahun. Nanti kita bisa berdiskusi mengenai bagaimana menghadapi itu. Secara statistik kita tahu, apa namanya, sekarang (angka perkawinan anak) sudah turun sedikit. Satu diantara delapan, sebelumnya satu diantara sembilan, anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun.

Teman-teman sekalian inilah dampaknya. Indonesia menjadi peringkat juara, peringkat delapan di dunia dan peringkat kedua di Asia Tenggara. Apa dampaknya? Ternyata pernikahan seringkali bertujuan untuk pernikahan itu sendiri. Jangankan pada anak-anak, sementara pada orang dewasa pun perceraian sering kali terjadi. Pada kawin anak, 60 persen itu dihitung dari sejak perkawinan dalam satu tahun kemudian sudah bercerai. Kalau kita lihat menggunakan analisis gender; 60 persen kawin anak cerai itu problem gendernya kuat sekali. Pada laki-laki yang menikah usia anak (di bawah 19 tahun) padanya masih berlaku atau tindakan, perlakuan sosial yang memperlakukan dia tetap sebagai anak-anak. Jadi masih bisa sekolah, bermain, main bola, masih nge-genk kesana-kesini, dan masih dimaklumi. Tapi pada perempuan, berapapun usianya begitu dia menikah dia akan berubah statusnya menjadi istri. Apalagi kalau dia hamil, dia akan segera menjadi ibu. Walaupun tidak ada peraturan yang diskriminatif secara langsung di sekolah, anak perempuan yang dinikahkan cenderung tidak kembali ke sekolah. Jadi itulah sebabnya, hanya satu diantara sepuluh itu yang bisa kembali ke sekolah. Dan yang satu itu kebanyakan adalah dibantu oleh lembaga-lembaga pendidikan dalam hal ini keagamaan misalnya seperti pesantren dan madrasah yang tidak mempermalukan anak kembali ke sekolah.

Nah sementara penyumbang, hampir separuh dari kematian ibu melahirkan adalah kawin anak. Dan satu dari empat perkawinan anak yang memperoleh akses ke perencanaan keluarga, entah sebagai pilihan atau pun melalui cara-cara yang melanggar hak asasi manusia. Jadi anak sebelum kawin diharap bisa di KB dulu, biasanya melalui bidannya. Itulah dilemanya.

Nah, Rumah KitaB itu … Saya ingin menunjukkan petanya. Mungkin ini terlalu kecil-kecil. Silahkan lihat warnanya saja. Ada warna yang hampir hitam atau maroon kemudian merah biasa, kemudian pink dan biru. Itu untuk memperlihatkan seberapa parah atau seberapa tinggi perkawinan anak di beberapa wilayah di Indonesia. Anda perhatikan yang merah maroon itu di Kalimantan selatan, barat dan hampir semuanya kecuali utara dan timur. Lalu Sulawesi, Sulawesi hampir keseluruhan pulau itu merah maroon dan merah. Lalu di Sumatera, di bagian tengah, daerah-daerah dengan banyak perkebunan. Kemudian di NTB, terutama di Lombok.

Nah, Rumah KitaB ketika mengadakan penelitian tentang kawin anak mulai dengan data (dan itu penting untuk perguruan tinggi). Kami memperhatikan mengapa perkawinan anak kok terjadi di daerah-daerah itu. Dan itu menjadi pertanyaan penelitian kami secara makro. Itu di atas rata-rata. Di atas 20, kalau rata-rata adalah sebelas maka itu di atas sebelas sampai dua puluh tiga persen. Kami mempertanyakan, kenapa ini di daerah Kalimantan kasus kawin anaknya kok tinggi sampai warnanya merah maroon, begitu juga Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan NTB.

Pertanyaan penelitian itu penting sekali untuk mengarahkan kepada kita problemnya seperti apa dan bagaimana kita menjawabnya.

Di slide berikutnya, ini memperlihatkan ternyata ada hubungan yang sangat erat di wilayah-wilayah dimana ada krisis ekologi, krisis lingkungan, perubahan yang dahsyat, di dalam sebuah masyarakat yang beralih dari masyarakat tradisional yang bergantung sepenuhnya kepada tanah (kepada subsistensi) menjadi masyarakat industri; industri perkebunan, industri ekstraktif, industri tambang. Ternyata di wilayah itulah yang perkawinan anaknya tinggi. Bukankan itu menjadi sebuah pertanyaan, kenapa perkawinan anak begitu tinggi di wilayah-wilayah itu? Saya ingin menyatakan bahwa ada hubungan kausalitas antara kerusakan lingkungan, perubahan penggunaan dan fungsi lahan plus kepemilikan lahan, (yang mendorong) proses pemiskinan yang dahsyat oleh industrialisasi terkait dengan perkawinan anak.

Gambar berikutnya menjelaskan industrialisasi juga berdampak besar pada perkawinan anak ketika perempuan terlibat dalam pencarian nafkah. Ketika perempuan sudah sangat berbakti kepada keluarga dengan ikut mencari nafkah dengan bekerja, mempertaruhkan pekerjaan yang triple burden bagi mereka, itu juga salah satu yang menyebabkan munculnya perkawinan anak. Saya menjelaskan ini untuk membuka cakrawala kita, out of the box, ketika membicarakan perkawinan anak karena selama ini kita terlalu fokus pada regulasi, pada undang-undang. Padahal kawin anak terkait dengan struktur dan sistem ekonomi yang tidak adil kepada perempuan, yang disebabkan oleh situasi pilihan-pilihan politik ekonomi yang tidak menimbang dampaknya pada perempuan. Bagian itu menurut saya penting untuk dicatat oleh perguruan tinggi, dalam hal ini UNU (Yogyakarta) agar memberi perhatian kepada dampak-dampak itu dengan cara melihatnya secara lebih luas.

Saya kasih contoh studi kasus di Lombok. Studi kasus ini saya ambil sebelum penelitian di … Pertama-tama saya melakukan penelitian di tahun 2014 tentang dampak kemiskinan kepada perempuan, yang tadi disebutkan itu. Saya melakukan penelitian selama satu tahun, dan dapat award dari Australia. Sebetulnya pada penelitian itu saya juga tidak menyadari bahwa ada persoalan kawin anak di setiap wilayah yang saya teliti itu. Tetapi, ketika itu penelitian selesai, saya melanjutkan penelitian khusus di Lombok dan menemukan situasi ini. Sebagai gambaran dalam slide berikutnya.

Jadi, pertama-tama memang ada prona, di agraria, di sektor agraria. Di Lombok misalnya, ada dua hal; satu tourism masuk sehingga tanah-tanah diambil alih oleh industri pariwisata. Dan itu menyebabkan banyak tanah, banyak orang tua kehilangan akses kepada tanah. Perubahan itu menyebabkan perubahan di sektor keluarga karena ketika laki-laki kehilangan pekerjaannya tetapi dalam waktu yang bersamaan pendidikannya tidak memadai untuk masuk ke industri, perempuan kemudian masuk ke industri tenaga kerja. Dan mereka kemudian menjadi migran workers. Masalahnya, secara kebudayaan tidak ada persiapan sosial kepada laki-laki untuk mengambil alih pekerjaan perempuan di rumah tangga yang ditinggalkan perempuan untuk bekerja sebagai pekerja migran.

Perubahan ini luar biasa dahsyat sebetulnya karena ketika laki-laki kehilangan aksesnya kepada tanah, apa yang dia lakukan. Dia nyantol, dia bergantung kepada dua elemen yang dianggap penting oleh laki-laki yaitu agama dan budaya yang membuat mereka masih tetap disegani (dihormati). (bagi mereka) Sudahlah kehilangan tanah oke, itu satu hal. Sistem ekonomi tourism menyebabkan mereka tersingkir. Tetapi dua aspek lain yaitu agama dan budaya menjadi perlindungan mereka untuk bertahan. Karenanya kalau anda perhatikan, awik-awik itu dilahirkan di Lombok dalam rangka untuk menunjukkan eksistensi para lelaki dan kekuasannya. Awik-awik itu hukum sosial, peraturan-peraturan yang sifatnya kultural.

Kalau anda melakukan penelitian di sana, di Lombok, kebetulan saya sangat intens penelitiannya, bisa dilihat di tiga generasi bagaimana datuknya, neneknya, kemudian ibunya, kemudian anak perempuannya jarak umurnya 13 sampai 14 tahun. Kapan istilah antropologis, istilah sosiologis, merari kodet (kawin anak) itu muncul bukan di generasi neneknya, bukan di generasi ibunya tetapi di generasi anak. Jadi mereka paham bahwa kawin anak itu terkait dengan social orphans (yatim piatu sosial). Ketika ibunya menjadi tenaga kerja migran, ayahnya tidak memperoleh keberdayaan sebagai ayah yang melindungi pada saat yang bersamaan itulah kawin anak muncul. Dalam bahasa mereka merari kodet. Meskipun ibunya itu kawin usia 13 atau 14 tahun juga, meskipun neneknya kawin usia 13 atau 14 tahun juga. Jadi ini bukan soal umur, ketika kawin usia 13 atau 14 tahun pada sistem dan struktur masyarakat yang masih memungkinkan dan kondusif untuk tumbuh kembang dalam keluarga itu ada bantuan-bantuan yang menjadi daya dukung sosial, daya dukung kultural pada anak, untuk tumbuh kembang bersama anaknya. Kira-kira begitu ya…

Terlepas dari persoalan biologisnya, karena misalnya ada tokoh dari NTB yang mengatakan “nenek saya juga kawin usia 13 tahun, ibu saya juga.” Benar, yang membedakan adalah mereka tidak menjadi profesor tapi dirimu iya. Perbedaannya pada social orphans (yatim piatu sosial), kalau dalam masyarakat dimana laki-laki tidak berfungsi karena tidak ada daya dukung ekonomi dan politik pada mereka, perempuan juga harus menjadi pekerja yang meninggalkan, atau commute dan sebagainya, seperti halnya di Jogja, itu muncul social orphans,Pada saat itu sebetulnya kawin anak terjadi. Bukan semata-mata pada umur itu tetapi bagaimana daya dukung sosial, daya dukung politik pada anak yang menyebabkan dia menjadi yatim piatu sosial. Perubahan ini berpengaruh pada perubahan pengalaman gender di si anak. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, anak laki-laki tetap bisa menjadi anak setelah menikah. Sebaliknya, anak-anak perempuan yang dikawinkan seketika itu juga ia menjadi ibu yang kehilangan dua tangannya dua kakinya karena tidak ada daya dukung sosial, daya dukung politik yang disebabkan oleh perubahan yang dahsyat dalam struktur perekonomian.

Rumah KitaB mengadakan penelitian yang melahirkan buku yang tadi disebut, Kesaksian Pengantin Bocah. Itu kami mendapat support dari Ford Foundation, meneliti sembilan wilayah kabupaten di lima provinsi. Dari lima itu dikumpulkan lah jadi etnografi pada 50 studi kasus. Apa yang terjadi dari 50 studi kasus itu, 36 itu cerai setelah mereka kawin di bawah satu tahun. Bahkan ada yang satu minggu sudah ditinggal pergi. Nah bahkan ada yang menikah di bawah sembilan tahun, ini saya ambil di Lombok. Yang lainnya rata-rata menikah di usia 14 sampai 15 tahun. Kenapa di usia itu, karena usia ini adalah usia paling kritis. Kalau si anak tidak mendapatkan cukup kebanggaan diri sebagai remaja, cukup support, cukup penghormatan, cukup peluang untuk mengembangkan diri, ini adalah baru kelas 2 SMP, kalau mau sampai SMA itu jauh banget, tapi mereka sudah menstruasi, sudah mulai pacaran, sudah mempunyai cita-cita lain jika mereka tidak memperoleh cukup bimbingan, far away gitu untuk menjadi orang dewasa.

Di saat-saat seperti itulah mereka mengalami titik kritis dimana kawin dengan menggunakan fasilitas sektor hukum, teman-teman tahu sendiri kan peneliti awal yang membicarakan ini adalah Stijn van Huis, dia melakukan penelitian di Cianjur. Dia mengatakan problem dengan dispensasi adalah tidak ada batas minimal. Jadi dengan alasan kedaruratan, setiap orang berhak untuk memperoleh status hukum menyebabkan selalu dilayani. Kita beruntung sekarang, ada PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) No. 5 tahun 2019 sebagai kelanjutan dari revisi undang-undang perkawinan No. 16 tahun 2019. PERMA itu memberi rambu-rambu pada hakim untuk tidak cepat memberikan dispensasi. Jadi harus ada upaya untuk melakukan dialog dengan pelaku (dalam hal ini anak terutama anak perempuan). Di beberapa kasus riset kami, Rumah KitaB, begitu undang-undang itu keluar langsung kita mendapatkan dana dari OSLO Coalition, kita mau cek respon masyarakat itu kaya apa. Betul, tiba-tiba angka perkawinan anak, permohonan dispensasi naik tinggi karena mereka sudah merencanakan akan menikah misalnya di usia 18 atau 17, dan terkendala dengan undang-undang itu.

Menurut saya data ini menarik, walaupun ini diambil dari 52 kasus, ini adalah gambaran apa yang sekarang terjadi di Indonesia. Di usia-usia kritis inilah yaitu 15, 16, 17 dan 18 perkawinan anak yang memanfaatkan dispensasi nikah itu tinggi. Lalu apa yang nantinya harus kita lakukan? Ini yang kemudian akan kita diskusikan.

Ini adalah spider webs of child marriage. Jadi memang tidak sederhana, isu kawin anak itu terkait anak dengan nilai-nilai di dalam keluarga, dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak menimbang hak terbaik bagi anak tapi untuk orang dewasa. Dan di sisi itu ada pelanggaran terhadap anak-anak yang terkait dengan komunitas, bisa jadi orang tuanya tidak menginginkan tetapi komunitas mendesaknya. Lalu di level negara, dimana sudah dijelaskan tadi ada undang-undang di satu pihak dan dispensasi di pihak yang lain. Dan ada isu global dimana isu perkawinan anak dipersoalkan di negara-negara yang mengatur persoalan perkawinan anak.

Sementara di negara-negara barat, karena mereka punya kebudayaan yang berbeda yaitu tidak ada stigma pada perempuan, pada pasangan yang belum menikah sudah aktif melakukan hubungan seks. Sehingga pada mereka perkawinan anak tidak ada di dalam agendanya, karena tidak harus menikah untuk melakukan hubungan seks. Jadi di negara-negara lain, tentu saja angka ini kecil sekali dan itu berlaku untuk para imigran, yang terjadi di Australia dan terakhir di Amerika terjadi semacam praktik kawin siri. Diantara anak remaja dalam keluarga Islam yang takut melakukan hubungan seks karena percaya, sebagai Muslim, bahwa itu adalah perbuatan dosa, tetapi juga belum siap menikah dan orang tuanya belum tahu bahwa mereka sudah melakukan hubungan seks, lalu mereka melakukan kawin siri. Padahal hubungan seks di luar nikah dengan setelah menikah itu menjadi beda dalam relasi gendernya. Jadi jenis relasinya menjadi timpang.

Kalau kita melihat pasal 1 konvensi hak anak (CRC), yang dikategorikan sebagai anak adalah orang berusia di bawah 18 tahun … Sekarang pasal 2, yang harus dilindungi dari segala jenis diskriminasi kecuali orang tua dan anggota keluarga yang lain, jenis diskriminasi yang diakibatkan oleh keyakinan atau tindakan orangtua atau anggota keluarga yang lainnya. Ini misalnya terkait dengan sunat perempuan. Kalau keluarganya meyakini kalau itu adalah sesuatu yang diharuskan undang-undang juga tidak bisa berbuat apa-apa. CRC juga tidak bisa apa-apa. Begitu kira-kira.

Yang berikutnya dari pasal 3, semua tindakan dan keputusan negara yang menyangkut seorang anak harus dilakukan atas dasar kepentingan terbaik dengan anak. Kita punya tidak kepentingan terbaik untuk anak? Kasus-kasus dengan kawin anak semuanya kepentingan terbaik untuk; keluarga besar, untuk agama, untuk budaya, untuk … Nggak ada itu yang dipikirkan untuk kepentingan terbaik bagi anak. Kepentingan terbaik untuk anak adalah patuh pada semua pemaksaan-pemaksaan pada mereka.

Semua anak berhak, pasal nomor 6, atas kehidupan dan pemerintah perlu memastikan bahwa anak bisa bertahan hidup dalam tumbuh dengan sehat. Saya kemarin mempelajari peraturan, lebih tepatnya catatan evaluasi kementerian kesehatan, isu mengenai kesehatan anak perempuan itu kecil sekali pembahasannya. Misalnya gizi, selalu dikaitkan dengan gizi perempuan hamil. Gizi selalu dikaitkan dengan bukti yang sifatnya tidak membahas soal gendernya, tetapi terkait pada bagaimana hal itu dipenuhi sesuai dengan standar pembangunan.

Dan yang pasal 7, tiap anak berhak dicatatkan kelahirannya secara resmi dan memiliki kewarganegaraan. Dicatat secara resmi itu sesuatu yang harus diperjuangkan ketika orangtuanya menikah dengan perkawinan yang dibenarkan secara fiqh tetapi tidak dibenarkan secara hukum formal.

Lanjut pasal 11, tiap anak berhak dilindungi dari aksi penculikan, diambil secara paksa atau ditahan di negara asing oleh salah satu orangtua dan orangtua yang lain. Dalam kaitannya dengan kawin anak justru penelantaran. Bukan soal diculik tetapi penelantaran yang disebabkan oleh orangtuanya tidak siap, dan Ibunya yang selalu harus bertanggung jawab meskipun ibunya masih anak-anak.

Dalam pasal 12, tiap anak berhak mengemukakan pendapatnya, didengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya saat pengambilan suatu keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya. Hampir semua anak yang kami teliti di sembilan wilayah di lima provinsi, kalau ditanya ya terserah mama. Jadi hampir tidak ada peluang pada dia untuk mengatakan pendapatnya. Tradisi untuk memberikan pendapat pada anak, atau didengar pendapatnya masih sangat kecil dalam budaya kita. Jadi pertanyaan terakhir, apa yang dapat dilakukan? Kalau kita melihat triangulasi advokasi, konten undang-undangnya kita sudah sangat bersyukur. Ada konten yang lebih baik dalam satu abad. Lalu untuk kulturnya masih dipersoalkan, struktur masyarakatnya, struktur hukumnya masih. Perbaikan hukum seperti apa yang kita sajikan.

Menurut saya UNU berkepentingan disini karena saya kebetulan baru menyelesaikan suatu buku dan sudah diterbitkan Fiqh Hak-hak Anak yang menceritakan dispute atau pertentangan antara hukum agama dengan CRC, dengan hak-hak anak. Dispute itu terus menerus berjalan karena kedua-keduanya masih dimungkinkan untuk terjadi. Kalau masuk ke isu hukum itu dianggap melanggar hukum, mundur deh masuk ke aturan fiqh. Misalnya dalam kaitannya dengan konsep baligh. Sudah jelas bahwa dalam undang-undang itu 18 tahun dan yang terbaru 19 tahun. Tetapi baligh dalam tradisi fiqh kan begitu menstruasi. Itu yang menjadi pertentangan. Kultur terbaik yang seperti apa (untuk anak). Kita masih sulit untuk meyakinkan bahwa kultur yang terbaik adalah menghormati hak-hak anak dengan kultur yang terbaik itu misalnya tidak, yang penting tidak mempermalukan keluarga, yang penting sudah ada jalan keluar, yang penting sudah melakukan hubungan yang dilarang dan sebagainya. Jadi, kepentingannya tetap untuk kepentingan orang dewasa. Ini yang saya kira menjadi problem.

Ini sebagai pengantar Mbak untuk diskusi. Saya akan sangat senang untuk melanjutkan diskusi dengan peserta sekalian.

Terimakasih selamat sore
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Sesi Interaktif

Kawin anak akan mengganggu proses pembangunan?

Response Bu Lies Marcoes

Mbak Firda sudah menyampaikan suatu problem. Mungkin saya langsung menggambarkan situasi di lingkungan sekitar kita dan menghubungkannya dengan peran NU atau UNU.

Menurut Saya yang bisa kita lakukan adalah, sebetulnya pemerintah sejak era 70an, tepatnya 1974 sudah menggalakkan KB. Itu pemerintah, ya sudah lah kalau itu maunya kalian saya ikuti, tetapi program KB harus jalan. Yang diminta oleh umat Islam pada waktu itu, tahun 1973, adalah soal seks. Begitu traumanya atau takutnya pada bagaimana anak-anak kalau tahu KB kemudian tahu hubungan seks, alat kontrasepsi dan lain sebagainya. Jadi melihat eksesnya. Dalam KUHP ada larangan untuk memperlihatkan alat-alat yang menggambarkan organ reproduksi dan alat pencegahan kehamilan. Itu menjadi penghalang bahkan bagi BKKBN sendiri untuk memberikan informasi yang lengkap kepada remaja tentang seksualitas. Artinya terkait dengan relasi gender laki-laki dan perempuan dengan seksualitasnya dan seluk beluk tentang organ reproduksi, tentang tumbuh kembang anak di dalam rahim dan lain sebagainya. Itu menjadi sesuatu yang ragu-ragu, padahal itu dibutuhkan.

Di dalam Islam, dalam kajian fiqh, sebetulnya ada peluang yang sangat baik untuk masuk membicarakan soal pendidikan kesehatan reproduksi. Itu yang mudah-mudahan di KUPI II nanti menyelenggarakan musyawarah keagamaan yang mari kita jujur bahwa anak ini perlu informasi tentang kesehatan reproduksinya, tentang organ dan relasi gendernya. Dan NU punya tradisi yang sangat baik ketika membicarakan soal fiqh, soal thoharoh misalnya. Itu sebenarnya kan membicarakan organ reproduksi. Soal hubungan seks dan lain sebagainya. Jadi mari kita rebut kembali hak untuk memperoleh informasi ini yang sudah diambil oleh kebijakan politik yang melarang anak remaja untuk memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi. Begitu mbak Firda, terimakasih.

Khairul Ikhsan

Tentang ada tidaknya dukungan sosial. Kasus di Kalimantan, peningkatan industri ekstraktif. Apakah kondisi sosial yang berbeda membuat ruang hidup dalam keluarga itu inklusif untuk anak-anak? Kalau rumahtangga itu hanyalah perkara ekonomi (bagaimana bisa hidup) maka seringkali umur pernikahan itu tidak dipertimbangkan.

Response Bu Lies

Terimakasih Pak Ikhsan, saya kira kesaksian anda itu merupakan fakta yang menarik dan shahih. Itu mengkonfirmasi temuan penelitian kami. Tetapi begini, soal umur ya. Jadi ilmu pengetahuan tetap memberi afirmasi dan konfirmasi tentang batas minimal kesanggupan perempuan untuk bereproduksi. Jadi biasanya teorinya begini; ketika ia tumbuh, berarti usia-usia pertumbuhan ya, lalu ada makhluk lain di dalam dirinya atau sedang hamil menyebabkan energi yang masuk untuk tumbuh itu terbagi. Dan itu secara kumulatif akan mempengaruhi kesehatannya di masa yang akan datang. Pada waktu mungkin dia tidak langsung sakit atau meninggal tetapi beresiko besar kepada kesehatannya. Oleh karena itu batas kesepakatan internasional, batas kesanggupan perempuan untuk menghadirkan manusia di dalam tubuhnya, dalam hal ini adalah kehamilan, adalah 18 tahun. Yaitu dengan ukuran fisik, panggulnya sudah siap untuk melahirkan. Itu satu hal. Kenapa tetap batas minimal adalah 18 tahun, kalau sekarang adalah 19 tahun.

Dalam Islam, menurut saya memang ukurannya adalah bukan angka tetapi soal kedewasaan. Rumah KitaB melahirkan sebuah buku yang berjudul Fiqh Hak-hak Anak. Kami mencoba medefinisikan kembali konsep baligh (atau kedewasaan). Kalau dalam fiqh tradisional kan itu tandanya pada perempuan adalah menstruasi. Kalau kita kembali kepada Al-Quran, sebetulnya baligh itu tidak cukup untuk memampukan perempuan untuk mengambil keputusan. Karenanya kita sering menggunakan istilah akil baligh, kedewasaan mental. Gus Dur pada waktu kami menyelenggarakan, waktu itu kami masih di P3M, mengatakan kedewasaan mental itu belum cukup kalau perempuan belum dimampukan untuk punya kedewasaan pengambilan keputusan. Dalam hal ini dalam bahasa Al-Quran adalah rusdha. Dalam hal ini kata rusdha ini harus dipopulerkan sebagai pengganti definisi baligh yang sifatnya esensialis, hanya sudah menstruasi dan mimpi basah, menjadi lebih ….

Padahal intinya adalah soal kemampuan mengambil keputusan. Janda dianggap sudah mampu mengambil keputusan. Nah itu adalah hal yang harus diuji ulang tetapi memang pendefinisiannya harus bergeser dari baligh yang biologis ke baligh yang politik. Saya setuju ya, memang, ini kritik terhadap pendidikan, di wilayah-wilayah tertentu pendidikan itu tidak berkorelasi dengan kesejahteraan. Itu penelitian kami di Lombok. Dan di Kalimantan kita melihat meskipun buta huruf misalnya, kalau dia punya kebun sawit dia tiba-tiba menjadi sultan lho. Begitu juga di NTB, di Lombok, kalau kebetulan dia menjadi TKW dan menjadi sejahtera. Penggajiannya baik, majikannya baik, itu pulang-pulang tanpa pendidikan sarjana, jangankan sarjana pendidikan pun sudah bisa menunjukkan kesejahteraannya yang ditandai dengan sudah punya rumah, sudah punya kebun dan sebagainya. Itu berarti kalau kita mendefinisikan kesejahteraan itu secara material maka pendidikan menjadi tidak berkorelasi. Tapi jika pendidikan itu menggunakan konsep pendidikan Islam yang seumur hidup kita melakukan pembelajaran dalam rangka pendewasaan, dalam rangka menjadi manusia yang semakin tawadu’, yang semakin beriman maka pendidikan keagamaan seperti itu yang bisa menterjemahkan kembali konsep kesejahteraan itu, bukan kesejahteraan materiil. Dan menurut saya pesantren memiliki peran penting dalam hal ini untuk mendefinisikan ulang makna pendidikan itu bukan untuk kesejahteraan materiil tetapi kesejahteraan yang mengurusi pendewasaan. Begitu mas Khairul.

***