Reporter: Tim Pusdeka

Pada Jum’at (3/11), Pusdeka dan Center for GESI UNU Yogyakarta menerima kunjungan dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Klaten. LPA Klaten adalah mitra kerja UNICEF Indonesia yang dipercaya menjalankan program-program kesejahteraan anak dan remaja. Dalam kunjungan ini ketua LPA Klaten, Achmad Syakur, di dampingi oleh Mbak Ida dan Mas Imam. Mereka bertiga diterima langsung oleh Rindang Farihah (Direktur Pusdeka). Turut membersamai Yusnita Ike Christanti (GESI Expert), Sunaji Zamroni (LP3M), Erin Gayatri, dan Faidatun Nadiroh.

Sebagai pembuka diskusi, LPA Klaten mengenalkan program kerja yang telah maupun yang akan dilakukan. Salah satunya adalah program kesejahteraan remaja perempuan yang merupakan program UNICEF Indonesia di Jawa Tengah. Program ini akan difokuskan di dua kota yaitu Rembang dan Pekalongan. Salah satu permintaan UNICEF mengenai program ini adalah harus melibatkan perguruan tinggi. Untuk itu LPA Klaten ingin mengajak UNU Yogyakarta untuk berkolaborasi dalam menyukseskan program ini, ungkap Syakur.

Menanggapi ajakan tersebut tentu yang perlu diketahui adalah detail program itu seperti apa. Soalnya kami juga tengah mempersiapkan projek pesantren ramah anak (PRA), sambung Yusnita.

Secara umum program kesejahteraan remaja itu terkait dengan pendidikan ketrampilan atau kecakapan hidup. Namun kali ini LPA Klaten akan masuk ke pesantren-pesantren. Sebelumnya LPA Klaten juga pernah masuk ke pesantren untuk mengimplementasikan beberapa modul. Misalnya modul disiplin positif dan pengelolaan pesantren. Dari situ muncul masukan tentang materi modul yang harus disesuaikan dengan budaya pesantren. Nah, UNU Yogyakarta kami pandang memiliki keahlian di bidang ini, jelas Ida.

Rindang mengatakan bahwa modul untuk remaja santri itu mungkin perlu diberi landasan spiritual. Atau dengan membongkar kitab-kitab kuning agar nilai-nilai progresif dapat diterima dalam budaya pesantren, tanggap Syakur.

Sunaji mengatakan bahwa strategi terbaik dalam menjalankan program di pesantren harus memiliki perhatian untuk perubahan kesadaran dan cara berfikir. Khususnya untuk para pemangku pondok pesantren. Kalau hanya menerapkan strategi penguatan kapasitas saja pasti akan terbatas dan lebih rentan mendapat resistensi. Yusnita kemudian menceritakan tentang pengalaman menjalankan program pencegahan kekerasan di pesantren yang justru ditolak oleh para pengasuh pondok pesantren. Artinya program yang mengadvokasi hak-hak anak di pondok pesantren mau tidak mau harus berkompromi dengan bangunan kosmologis dan kultur hierarkis yang ada di pesantren.

Dalam pertemuan ini ada tiga point yang disepakati. Pertama soal strategi dalam memasukkan program advokasi anak di pondok pesantren. Yang kedua tentang agenda mereview tool disiplin positif untuk remaja santri. Terakhir, pembuatan nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama.