Reporter: Agus S Efendi

Klinik K2+ Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga UNU Yogyakarta bersama dengan Fakultas Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta menyelenggarakan workshop dengan tema “Being The Great Lecture: Bagaimana Menjadi Dosen yang Bersahabat dan Menyenangkan,” pada Jum’at (31/3). Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari workshop bulan lalu yang menyoroti kesehatan mental mahasiswa. Jika yang lalu pesertanya adalah mahasiswa, untuk yang sekarang dikhususkan untuk para dosen UNU Yogyakarta. Tujuan utama kegiatan ini adalah agar para dosen memiliki pemahaman dan ketrampilan dalam menghadapi persoalan-persoalan yang tengah dihadapi mahasiswa, kurang motivasi belajar misalnya.

Dalam kegiatan ini yang menjadi narasumber utama adalah Dr. Kartika Nur Fathiyah, S.Psi., M.Si. (dosen Departemen Psikologi UNY dan Konselor Unit Layanan Bimbingan Konseling UN) dan yang menjadi tandem fasilitator adalah Rika Iffati Farihah (Konselor Klinik K2+ UNU Yogyakarta). Sedangkan yang berlaku sebagai moderator adalah Erika (Mahasiswa UNU Yogyakarta). Kegiatan ini di setting secara interaktif dengan lebih dahulu mendengarkan keluhan para dosen ketika menangani mahasiswa yang bermasalah. Baru setelah itu narasumber utama, Ibu Kartika, menyampaikan materi. Di akhir acara, ada sesi diskusi yang dipandu oleh Mbak Rika.

Para dosen yang hadir dalam kegiatan workshop ini ada 12 yang berasal dari pelbagai prodi yang ada di UNU Yogyakarta. Dalam sesi sharing tentang pengalaman dosen menghadapi mahasiswa bermasalah, salah satu dosen mengatakan bahwa ada mahasiswa yang menerima beasiswa tapi tidak begitu berminat belajar. Mahasiswa ini adalah mahasiswa kelas inovasi yang merupakan santri pondok pesantren. Ketika mereka ditanya mengapa mereka tidak aktif kuliah, jawaban si mahasiswa malah membenturkannya dengan urusan di pondok. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa ini cenderung lebih berat untuk mengerjakan urusan di pondok daripada memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa. Dosen juga sudah mengomunikasikan hal ini dengan pengasuh pondok namun hasilnya jauh dari yang diharapkan. Yang terpenting dalam masalah ini adalah komitmen dari beberapa pihak terkait agar bisa terjadi simbiosis mutualisme.

Persoalan lain yang sering menjadi keluhan mahasiswa adalah soal layanan kampus yang belum baik. Hal ini menimbulkan rasa frustrasi diantara para mahasiswa khususnya saat mengakses layanan akademik. Salah satu tenaga pendidik bercerita bahwa ada mahasiswa yang rela jauh-jauh datang dari rumahnya di luar kota untuk mengurus administrasi yudisium. Namun ketika mendapat layanan ternyata nilai yudisium tidak bisa keluar karena ada nilai mata kuliah yang masih kosong. Untuk mengurus masalah ini si mahasiswa harus melalui kerumitan administrasi yang bagi dirinya tidak jelas.

Dosen yang lain mengatakan bahwa di UNU Yogyakarta juga memiliki mahasiswa difabel. Tentu mahasiswa difable memiliki persoalan yang lebih kompleks untuk dapat mengikuti kuliah dengan lancar. Namun dosen telah mengupayakan untuk menyediakan apa yang dibutuhkan seperti juru isyarat. Dalam hal lain, mahasiswa UNU Yogyakarta rupanya banyak yang tidak memiliki laptop sehingga mereka kurang dapat mengikuti pembelajaran secara optimal. Dalam masalah pembelajaran, salah satu dosen menuturkan bahwa ketika ia mengajar mahasiswa yang rewel target pelajaran sering tidak tercapai. Kadang hal ini membuatnya frustrasi. Berbeda ketika yang diajar adalah mahasiswa yang rajin, ketika meninggalkan kelas yang ada adalah sikap optimis dan perasaan senang.  

Ketika para dosen selesai menyampaikan keluhan mereka, Ibu Kartika menanggapi dengan menggarisbawahi bahwa mengurus mahasiswa dan memberikan motivasi belajar itu memang sulit. Namun ia juga menyampaikan di luar sana ada banyak guru yang rela untuk mengajar di daerah tertinggal dan murid-murid yang diajar juga sangat sulit untuk bisa paham. Hal yang seperti ini harusnya bisa memicu semangat para dosen UNU Yogyakarta untuk lebih extra memperhatikan mahasiswa yang bermasalah.

Ibu Kartika menjelaskan kunci untuk menjadi guru yang hebat adalah memahami kondisi dan kebutuhan siswa. Misalnya adalah memahami karakter siswa. Dalam kaitannya dengan mahasiswa, para dosen perlu mendorong para mahasiswa mengambil peran dan tanggungjawab di dalam masyarakat. Ini dilakukan untuk menghindari apa yang disebut quarter-life crisis. Krisis ini terjadi karena mereka bingung dengan persoalan pilihan dan perkembangan hidup.

Sebagai pengajar, kita harus menerima mahasiswa tanpa syarat, ungkap Kartika. Hal ini akan berguna saat menghadapi mahasiswa yang bermasalah. Ketika kita menerima kondisi mahasiswa kita akan berusaha untuk mencarikan mereka solusi yang paling tepat. Dalam beberapa tahun terakhir paradigma dalam pembelajaran telah bergeser. Paradigma ini lebih menaruh perhatian yang lebih terhadap kekuatan yang dimiliki mahasiswa. Misalnya ketika ada mahasiswa yang kurang menonjol dalam hal teori namun bagus dalam praktik, kita harus mengembangkan model pembelajaran yang cocok untuknya.