Oleh: Firda Ainun

Perkawinan anak atau perkawinan pada usia dini masih marak di Indonesia. Meskipun pemerintah sudah menaikkan batas minimal usia pernikahan laki-laki dan perempuan tren perkawinan anak memang menurun, namun jumlahnya masih cukup mengkhawatirkan.

Dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa batas usia pernikahan yang diizinkan untuk laki-laki adalah 19 tahun dan untuk perempuan adalah 16 tahun. Atas desakan dari berbagai pihak, batas usia ini kemudian direvisi menjadi 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Hasil revisi ini disahkan melalui UU No. 16 tahun 2019. Lantas apakah kasus perkawinan anak di Indonesia menurun ketika undang-undang itu berlaku? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu menengok data survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik karena merekam data usia kawin pertama penduduk Indonesia.

Hasil survei itu menunjukkan bahwa perkawinan usia dini memang menurun tapi tidak cukup signifikan. Penerapan UU perkawinan yang baru rupanya tak begitu berpengaruh pada kasus perkawinan anak-anak. Hal ini tapak dari angka pemuda atau remaja yang usia kawin pertamanya dibawah 15 tahun adalah 2,66 persen. Adapun pemuda atau remaja yang usia kawin pertamanya antara 16 sampai 18 mencapai 20,89 persen. Dengan demikian dapat dikatakan kalau satu dari lima pemuda atau remaja Indonesia telah kawin di bawah batas usia minimal.

Data itu berbeda jauh dengan data yang ditampilkan oleh Lies Marcoes dalam public lecturenya. Menurut National Socio–Economic Survey (2018), 1 dari 8 anak perempuan menikah dengan usia di bawah 18 tahun di Indonesia. Artinya Indonesia menjadi salah satu wilayah yang darurat akan perkawinan anak.

Yang menarik adalah jika data tersebut diperinci dan dipetakan per wilayah. Ini akan menjelaskan wilayah mana yang tingkat perkawinan anaknya tinggi dan wilayah mana yang angka kawin anaknya rendah.

Peta tingkat kawin anak di Indonesia

Peta di atas menggambarkan persebaran tingkat perkawinan anak di seluruh Indonesia. Untuk warna merah gelap dan merah adalah wilayah yang tingkat perkawinan anakanya tinggi, seperti di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rumah KitaB, diketahui juga bahwa rentang usia perkawinan anak paling tinggi adalah pada usia 14-17 tahun, yang mana setara dengan usia sekolah menengah pertama dan menengah atas.

Ini sudah seharusnya menjadi persoalan serius untuk kita cegah bersama. Banyak anak perempuan yang memilih untuk menikah di usia anak tanpa memikirkan bagaimana dampak yang akan hadir dalam diri anak perempuan. Persoalan perkawinan anak salah satunya dikarenakan minimnya distribusi pengetahuan mengenai dampak perkawinan anak terhadap diri anak itu sendiri.

Tentu kita tahu bahwa Indonesia sudah melakukan upaya pencegahan perkawinan anak dengan membuat berbagai kebijakan, mulai dari wajib belajar 12 tahun dan menaikkan usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun. Adapun dasar dari proses pembuatan kebijakan untuk pencegahan perkawinan anak seharusnya berlandaskan pada kemaslahatan anak atau pemenuhan hak anak. 

Namun dengan adanya kebijakan pencegahan perkawinan anak, mengapa perkawinan anak masih terus terjadi?

Kerangka Spider’s Web of Child Marriage

Spider's web of Child marriage
Jaring-jaring persoalan kawin anak

Persoalan perkawinan anak bukan semata persoalan individu, melainkan juga menjadi persoalan sosial dan global. Artinya perkawinan anak tidak mungkin dapat diselesaikan hanya pada tataran personal saja. Perkawinan anak merupakan persoalan yang memiliki banyak dimensi. Oleh karena itu Spider’s Web of Child Marriage dapat dijadikan kerangka untuk memahami lebih komprehensif apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak. Salah satu aspek penting dalam kerangka tersebut adalah perkawinan anak seringkali hadir sebagai dampak dari proses pembangunan negara. Dengan kata lain perkawinan anak juga memiliki kaitan yang erat dengan mekanisme ekonomi yang membawa kemiskinan struktural.

Menurut Djamilah dan Reni Kartikawati perkawinan anak memiliki beberapa resiko dan dampak yang serius. Secara ekonomi, perkawinan anak dapat menimbulkan ‘siklus kemiskinan.’ Anak remaja yang belum mapan atau tidak memiliki pekerjaan yang layak akan cenderung bergantung kepada orang tuanya. Akibatnya orang tua memiliki beban ganda, selain harus menghidupi keluarga inti, mereka juga harus menghidupi anggota keluarga baru. Kondisi yang seperti ini akan berlangsung terus dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga keluarga itu jatuh dalam jurang kemiskinan.

Kalau ditinjau dari aspek psikologis, perkawinan anak akan berdampak pada potensi perceraian dan perselingkuhan. Hal ini lebih disebabkan oleh kontrol emosi dan diri yang masih labil. Tingkat kedewasaan yang rendah ini akan mudah memicu pertengkaran ketika menghadapi masalah. Tidak jarang pertengkaran pasangan yang belum dewasa juga disertai dengan kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual.

Dari segi kesehatan reproduksi, menikah muda akan lebih berisiko. Artinya tubuh perempuan masih belum siap untuk melahirkan dan merawat anak.

Melihat Kondisi yang cukup darurat ini, yuk kita cegah perkawinan anak. Anak adalah penerus generasi berikutnya yang harus dirawat dengan setara, penuh kesalingan dan egaliter.

Referensi

Unicef.com
BPS, Statistik Pemuda Indonesia 2021.
D. Djamilah & R. Kartikawati, “Dampak perkawinan anak di Indonesia.” Jurnal Studi Pemuda 3.1 (2014)
Lies Marcoes, Materi presentasi public lecture “Kawin anak dan persoalan pemenuhan hak anak Indonesia.”