Penulis: Rindang Farihah
Editor: Agus S Efendi

Pandemi Covid-19 menyisakan luka dan keprihatinan di setiap individu.  Ketidakpastian situasi yang terjadi kala itu seperti krisis ekonomi, terhambatnya akses pendidikan dan overloadnya layanan kesehatan, rupanya telah meningkatkan kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Situasi tersebut lantas melahirkan generasi muda yang terluka dan mudah mengalami depresi.  Mereka trauma dan tertekan atas apa yang pernah dialami selama masa pandemi. Dampak lanjutan dari persoalan mental tersebut memicu terjadinya kemerosotan mental pada generasi muda. The Global Risks Perception Survey (GPRS) menyebutnya dengan istilah scarred generation (generasi yang terluka).[1]

Data menunjukkan bahwa depresi dan kecemasan di kalangan anak muda meningkat sebanyak 10% selama sepuluh tahun terakhir.[2] Hal ini selain dipengaruhi oleh tekanan akademis juga dipicu oleh persoalan sosial. Depresi yang dibiarkan dan tidak diobati akan membuat risiko bunuh diri semakin tinggi. Tentu persoalan yang kemudian muncul adalah kasus bunuh diri mahasiswa yang semakin banyak.

Beberapa waktu yang lalu, Kementerian Kesehatan RI menyatakan darurat kesehatan mental. Sayangnya, angka bunuh diri yang meningkat kurang bisa dideteksi karena adanya stigma masyarakat terhadap orang yang memiliki gangguan mental. Karena itu, saat ini, pemerintah Indonesia sedang mengupayakan program-program edukasi dengan melibatkan para tenaga professional guna menghilangkan prasangka buruk dan stigma terhadap orang yang memiliki gejala gangguan mental.[3]

Setiap individu mempunyai resiliensi mental yang berbeda-beda. Inilah yang mempengaruhi cara mereka dalam menghadapi masalah. Resiliensi mental merupakan ketahanan mental yang menunjukkan kemampuan dalam beradaptasi, bertahan dan mengatasi persoalan. Kemampuan ini penting dimiliki sebagai modal seorang individu dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian. Misalnya adalah krisis kesehatan di masa pandemi, kebijakan Work From Home yang berdampak pada berkurangnya pendapatan, serta PHK massal akibat pelambatan ekonomi. Situasi sulit biasanya juga terjadi pada remaja yang baru masuk Perguruan Tinggi. Bentuk resiliensi mental bisa berupa rasa percaya diri, kemampuan mengontrol emosi, kesabaran, tanggung jawab, self-awarness, fleksibilitas dan keterampilan dalam menghadapi tekanan serta menyelesaikan masalah.

Resiliensi mental seseorang sangat ditentukan oleh keberhasilannya menyelesaikan masalah atau coping mechanism yang dipraktekkan. Coping sendiri merupakan sesuatu yang sejalan dengan upaya untuk menghadapi faktor-faktor pemicu stress.[4]

Terdapat beberapa model coping mechanism yang bisa digunakan seseorang dalam menghadapi situasi sulit serta cara mengendalikan emosinya. Menurut Dr. Elizabeth Krumrei spiritual coping mechanism merupakan penanggulangan spiritual yang menggabungkan apa yang dianggap sakral oleh seseorang.[5]

Coping mechanism melalui pendekatan kepada Tuhan atau cara-cara spiritual dapat berupa perilaku (misalnya berdoa), selama ini banyak kita lakukan. Pikiran (misalnya berdzikir) yaitu mengingat Tuhan disaat-saat menghadapi krisis, perasaan (misalnya mengalami keintiman emosional dalam komunitas agama), atau sikap (misalnya, mempercayai rencana spiritual yang lebih besar dalam hidup seseorang).

Lalu seperti apa hubungan antara spiritualitas dengan resiliensi diri dalam mengatasi persoalan?

Masih ingat dengan penelitian ‘Kepuasan Tertunda’ yang dilakukan oleh psikolog Walter Mischel, sebuah tes psikologi yang pernah dilakukan pada sejumlah anak. Eksperimen dengan menggunakan permen marshmellow (puasa marshmellow) sebagai medianya ini menemukan bahwa kemampuan anak-anak dalam menunda kepuasan sejak dini memiliki korelasi pada hasil masa depan yang positif. Dengan kata lain anak tersebut akan memiliki kemampuan pengendalian diri yang jauh lebih baik. Studi ini menjadi justifikasi bahwa ibadah puasa membawa manfaat besar bagi individu yang mengamalkannya, apalagi mengajarkan puasa sejak dini pada anak.[6]

Pendekatan spiritual coping mungkin bisa menjadi salah satu alternatif dan solusi sebelum seseorang mendapatkan akses layanan konseling. Membiasakan diri mendekatkan diri kepada Tuhan atau ibadah bisa menjadi keterampilan penting untuk dimiliki setiap individu. Sebagaimana pendapat Dr. Elizabeth Krumrei diatas, kita bisa menjalankan ibadah shalat, puasa, dzikir, mengunjungi tempat-tempat suci, misalnya ziarah makam yang dianggap mampu mendatangkan keberkahan hidup sebagaimana yang selama ini banyak diajarkan bisa disebut sebagai praktek spiritual coping. Dengan kata lain, praktek ibadah mampu mempengaruhi seseorang dalam menyembuhkan luka batin yang diakibatkan stress atau trauma atau depresi yang dialami. Sekaligus diyakini mampu mencegah seseorang dari sikap dan perilaku negative akibat trauma yang dialami.


[1] Marsh McLennan, ‘The Global Risks Report 2021 16th Edition’ (World Economic Forum Cologny, Switzerland, 2021).

[2] Michael Daly, ‘Prevalence of Depression among Adolescents in the US from 2009 to 2019: Analysis of Trends by Sex, Race/Ethnicity, and Income’, Journal of Adolescent Health, 70.3 (2022), 496–99.

[3] Ariana Marastuti and others, ‘Development and Evaluation of a Mental Health Training Program for Community Health Workers in Indonesia’, Community Mental Health Journal, 56 (2020), 1248–54.

[4] David H Rosmarin and others, ‘Religious Coping among Jews: Development and Initial Validation of the JCOPE’, Journal of Clinical Psychology, 65.7 (2009), 670–83.

[5] Elizabeth J Krumrei, Steven Pirutinsky, and David H Rosmarin, ‘Jewish Spirituality, Depression, and Health: An Empirical Test of a Conceptual Framework’, International Journal of Behavioral Medicine, 20 (2013), 327–36.

[6] Berpuasalah untuk Memperoleh Marshmallow – TIMES Indonesia