Penulis: Rindang Farihah

Pembahasan tentang perkawinan anak kembali menghangat. Para pemerhati hak anak dan perempuan kembali gencar menyuarakan kasus ini sebagai persoalan sosial yang harus segera ditangani. Data Kementerian PPPA menyebutkan pada tahun 2019 terdapat 24 ribu angka perkawinan anak.[1] Data kenaikan juga terlihat dari data yang dimiliki oleh Pengadilan Agama Wonosari, Gunung Kidul yang menunjukkan bahwa antara bulan Maret hingga Agustus tahun 2020 terdapat 150 permohonan dispensasi usia pernikahan yang diajukan.[2]

Sebuah hasil riset menjelaskan bahwa angka perkawinan anak menyebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia (baik pedesaan maupun perkotaan). Riset ini menunjukkan 1 dari 9 anak di Indonesia menikah di bawah umur. Mereka ini perempuan dengan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun. Dari situ diperkirakan pernikahan anak di Indonesia mencapai 1.220.900 kasus.[3]  Angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.

Lies Marcoes dari Rumah KitaB menyatakan, Indonesia sedang darurat perkawinan anak.[4] Menurutnya fenomena perkawinan anak saat ini tidak hanya disebabkan kemiskinan, namun juga konservatisme dalam beragama. Lies menyatakan praktek perkawinan anak saat ini tidak hanya terjadi di pedesaan tetapi juga di daerah perkotaan. Kenyataan inilah yang membuat Indonesia mengalami darurat perkawinan anak.

Faktor-faktor Penyebab

Konservatisme sendiri dipengaruhi oleh budaya patriarki yang mengusung pandangan konservatif. Gejala konservatisme ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok ‘penjaga moral’ yang mengatasnamakan agama. Gerakan ini menjadikan kaum remaja khususnya perempuan sebagai sasarannya dengan propaganda ‘daripada berzina’. Mereka juga memanfaatkan argumentasi berbasis pandangan agama terkait konsep baligh, hak ayah untuk memaksa anak (ijbar), dan hamil diluar nikah sebagai alat dalam melakukan dakwah nikah diusia muda (baca: anak).

Budaya patriarki yang mempengaruhi cara pandang beragama seringkali melahirkan pandangan bias gender dan tidak jarang memunculkan perilaku konservatif. Hal ini lantas membuat seruan-seruan atas nama moral dan agama tidak menunjukkan adanya kesadaran tentang dampak dari kawin anak. Padahal ketika kita mencoba melihat dampak yang ditimbulkan maka tampak sedikit kemaslahatannya dan lebih banyak aspek kemadharatan. Hal ini amat disayangkan, karena belum menjadi kesadaran bersama, terutama para pemimpin agama, terkait dakwah mencegah praktek nikah anak. Lebih lanjut praktek perkawinan anak berkontribusi menambah persoalan baru yakni kemiskinan, keterbelakangan, stunting, aborsi, berat badan bayi lahir kurang serta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Praktek perkawinan anak tidak memandang status sosial, ekonomi, pendidikan serta daerah. Misalnya adalah nikah anak yang terjadi di salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan, yang mana di wilayah ini poligami dan perkawinan anak menjadi sesuatu yang legal dan diizinkan secara adat dan agama. Dalam budaya masyarakat setempat, perkawinan anak menjadi bagian dari tradisi yang diwariskan secara turun temurun.[5]

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi tingginya angka kawin anak di wilayah ini. Pertama, adanya budaya jujuran yaitu budaya tabu menolak lamaran yang datang dan stigma atau keyakinan jika menolak lamaran sulit mendapatkan jodoh. Dalam situasi ini perempuan tidak kuasa menolak lamaran yang datang kepadanya. Kedua, tradisi menikah muda lebih dihargai, tradisi ini mendorong adanya praktek menikah dibawah usia 20 tahun. Praktek budaya ini tentu tidak menjadi persoalan bagi anak yang berasal dari keluarga kaya karena mereka akan mendapatkan dukungan ekonomi dari orang tuanya. Berbeda halnya dengan keluarga dengan ekonomi lemah. Ketiga, kesadaran tentang pentingnya pendidikan. Sebagian besar masyarakat sana masih memiliki kesadaran memperoleh pendidikan yang rendah. Apalagi mahalnya biaya pendidikan membuat mereka memiliki pilihan yang sedikit. Masyarakat berpendapat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin mahal pula biaya pendidikan yang harus dikeluarkan. Terakhir, pandangan konservatisme beragama, yakni dukungan tokoh agama untuk mengatur moral remaja dengan pernikahan.

Potensi dan risiko

Dalam kajian keadilan dan kesetaraan gender disebutkan bahwa budaya patriarki telah memposisikan anak perempuan dan perempuan mengalami kerentanan akibat diskriminasi, stigma dan praktek subordinasi dalam struktur sosial masyarakat. Tidak hanya kemiskinan dan keterbelakangan, praktek perkawinan anak juga berpotensi menyebabkan terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Misalnya adalah pemaksaan hubungan seksual, pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape), poligami dan seterusnya. Selain itu, perkawinan anak juga menjadikan perempuan mengalami penderitaan secara biologis terkait dengan kesehatan organ reproduksinya.

Praktek kekerasan seksual seperti marital rape atau perkosaan dalam perkawinan nyaris tidak pernah terungkap. Realitanya praktek marital rape hampir terjadi di seluruh dunia, hal ini terjadi dikarenakan dampak budaya yang cenderung permisif dan tidak memandangnya sebagai tindakan salah atau criminal. Budaya patriarki membuat praktek marital rape diperbolehkan atau dianggap sah sehingga tidak ada sangsi bagi para pelaku. Saat ini marital rape menjadi perhatian banyak pihak terutama ketika dikaitkan dengan tingginya angka isteri yang terpapar HIV/AIDs.[6] Dalam sebuah relasi gender yang timpang, perempuan rentan terpapar dari suami mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana praktek subordinasi dari budaya patriarki berlaku di masyarakat. Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan seorang perempuan sebagai isteri dalam menolak pasangan mereka menjadi salah satu faktor. Perempuan tidak berdaya dalam melakukan negosiasi dalam hal penggunaan kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan suami.

Perkawinan anak memiliki kaitan yang erat dengan kesehatan reproduksi perempuan. Misalnya dalam hal menjaga kesehatan organ reproduksinya, kesiapan memiliki anak, dan seterusnya. Data inisiasi menyusui dini menunjukkan bahwa perempuan usia 20-24 tahun mampu mencapai angka 28,76 persen, sedangkan mereka yang menikah sebelum usia 18 tahun yaitu hanya sebesar 18,83 persen.[7] Soal kesadaran melahirkan dengan menggunakan layanan faskes/nakes, perempuan umur 20-24 tahun yang menikah pada usia 18 tahun ke lebih tinggi dibandingkan yang menikah sebelum usia 18 tahun.[8] Untuk praktek aborsi dan keguguran ternyata lebih banyak terjadi pada kehamilan pertama dan kehamilan yang tidak terencana.[9] Rendahnya kesadaran dan minimnya pengetahuan tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) menjadi alasan utama terjadinya aborsi dan keguguran. Fakta tentang rendahnya inisiasi menyusui dini, akses layanan medis dan kasus aborsi serta keguguran, menjadi penanda pentingnya penguatan kesadaran dan penyebaran pengetahuan tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi sejak dini.

Paparan di atas menunjukkan bahwa akar persoalan terjadinya praktik perkawinan anak tidaklah tunggal, tapi sangat komplek. Faktor pendidikan, sosial, ekonomi, pandangan agama dan budaya berkontribusi pada sulitnya menyelesaikan kasus perkawinan anak yang terjadi. Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan nasional terkait perlindungan anak dan pemenuhan hak anak, namun nyatanya belum sepenuhnya terimplementasikan sesuai tujuan. Program mengurangi angka perkawinan anak sejatinya memerlukan kebijakan inovatif yang datang dari pemerintah lokal sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Sebuah kebijakan berupa beasiswa pendidikan misalnya merupakan praktek baik sebagai strategi menunda perkawinan anak. Sejatinya masa depan bangsa ditentukan oleh bagaimana cara kita memperlakukan generasi muda kita di hari ini. Perkawinan anak bukanlah solusi namun menambah daftar problem sosial yang dihadapi masyarakat dan negara kita. Tentu sudah tugas kita semua untuk melakukan pencegahan dan pembelaan terhadap anak-anak yang dikorbankan dengan mengatasnamakan moral dan agama.


[1] https://news.detik.com/berita/d-5049836/kementerian-pppa-sebut-angka-perkawinan-anak-meningkat-di-masa-pandemi-corona

[2] https://jurnalgunungkidul.com/gadis-pantai-selatan-dalam-jebakan-perkawinan-anak-/422/

[3] Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), UNICEF, dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) bekerja sama untuk menerbitkan laporan “Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” ini. januari 2020.

[4] Lies Marcoes, Merebut Tafsir. Amongkarta bekerjasama dengan Yayasan Rumah Kita Bersama, 2021. hal 40.

[5] wawancara aktifis Rahim Bumi. Juli 2021

[6] understanding marital rape in global context. hal 4

[7] Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), UNICEF, dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) bekerja sama untuk menerbitkan laporan “Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” ini. Januari 2020.

[8] Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), UNICEF, dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) bekerja sama untuk menerbitkan laporan “Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” ini. Januari 2020.

[9] Dokumentasi “Workshop Membangun Keterlibatan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Kelurahan Siaga dalam upaya mendukung perencanaan kehamilan yang aman dan sehat bagi perempuan”, 21-23 Oktober 2020