Oleh: Agus S Efendi

Stunting bukanlah suatu penyakit. Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada balita. Stunting dipengaruhi oleh kurangnya asupan gizi pada 1000 HPK. Balita stunting, yang ditandai dengan pertumbuhan panjang/tinggi badan di bawah rata-rata, berisiko mengalami gangguan perkembangan otak. Dari situ stunting dipandang sebagai penghalang lahirnya generasi masa depan Indonesia yang cerdas.

Sejak strategi nasional percepatan penurunan stunting dijalankan pada tahun 2018, banyak capaian yang telah diperoleh. Jika pada saat itu angka stunting mencapai 34 persen maka pada tahun 2022 sudah berada di angka 21,6 persen. Kendati demikian target angka stunting yang ditetapkan pemerintah cukup tinggi yaitu 14 persen pada tahun 2024. Artinya dalam dua tahun ini pemerintah harus menurunkan angka stunting sebesar 7,6 persen agar target itu tercapai. Yang jadi soal adalah angka stunting di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota sangat bervariasi. Di samping itu beberapa daerah juga menunjukkan tren penurunan angka stunting yang tidak konsisten.

Maka daripada itu, diperlukan suatu penjelasan tentang bagaimana pemerintah daerah melaksanakan program percepatan penurunan stunting. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah contoh kasus yang menarik. Meskipun DI Yogyakarta masuk dalam lima provinsi dengan angka stunting terendah, namun di tingkat kabupaten/kota tren penurunan angka stunting cukup fluktuatif. Pada tahun 2022, angka stunting kabupaten Gunungkidul naik sekitar 3 persen sedangkan kabupaten Bantul turun hampir 4 persen. Hal ini mendorong munculnya pertanyaan, apa yang berbeda dari pelaksanaan program percepatan penurunan stunting di kabupaten Gunungkidul dan Bantul. Untuk menjawab pertanyaan ini, pendekatan komparatif dipilih untuk melihat seperti apa penanganan dan pencegahan stunting di beberapa level administrasi yang angka stuntingnya tinggi dan rendah.

Kebijakan dan program penurunan angka stunting

Sejauh ini BKKBN DI Yogyakarta tampak telah memimpin dan mengawal program percepatan penurunan stunting dengan komitmen tinggi. Kerja-kerja konsolidasi, konvergensi dan akselerasi sudah diupayakan oleh Satgas Stunting. Selain itu BKKBN telah melakukan penguatan Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang jumlahnya ada 1584 tim yang tersebar di seluruh wilayah Yogyakarta. Kegiatan lain seperti monitoring kasus stunting dan kerjasama dengan pihak lain juga telah dilakukan. Mungkin salah satu faktor yang menjadikan kinerja BKKBN DI Yogyakarta cukup baik adalah kondisi wilayah administrasi yang tidak terlalu luas.

Jika dibuat perbandingan, pemerintah Bantul rupanya memiliki visi kepemimpinan yang kuat dalam hal kesehatan masyarakat. Dan menariknya, visi ini dipahami dengan baik oleh pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD). Hal ini yang tidak ditemui dalam pemerintah Gunungkidul. Pemerintah Bantul juga lebih dahulu menjalankan rencana aksi penanggulangan stunting pada tahun 2021. Sedangkan pemerintah Gunungkidul baru memiliki rencana aksi percepatan penurunan stunting pada tahun 2022.

Inovasi, akselerasi, dan skala program percepatan penurunan stunting di Bantul lebih maju dibandingkan Gunungkidul. Misalnya, pemerintah Bantul punya PPBMP (program pemberdayaan berbasis masyarakat padukuhan) yang memberi dana sebesar 50 juta pada setiap padukuhan untuk kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan dan lingkungan. Sebaliknya di Gunungkidul program pemerintah cenderung dijalankan secara institusional lewat struktur birokrasi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi wilayah yang luas dan anggaran yang minim.

Pengalaman dari bawah

Di tingkat kecamatan, garda terdepan penanggulangan stunting adalah puskesmas. Wilayah dengan angka stunting rendah rupanya ditopang dengan layanan kesehatan yang inovatif. Misalnya adalah puskesmas Purwoarsi di Gunungkidul, Di puskesmas ini telah tersedia layanan ANC untuk ibu hamil. Dalam upaya menarik para ibu hamil mengakses layanan ini, petugas puskesmas menyelenggarakan kelas bersalin. Puskesmas Purwoasri juga mendorong para kader posyandu untuk menyelenggarakan kelas-kelas menyusui. Di samping itu ada program perbaikan gizi yang menyasar para remaja dan perempuan usia subur untuk secara rutin mengonsumsi jus jambu biji dan meminum vitamin.

Puskesmas Banguntapan lain lagi. Karena berada di kawasan penyangga kota, tidak mengherankan apabila puskesmas Banguntapan memiliki sumberdaya dan peralatan yang lebih bagus. Hal ini yang menjadikan layanan kesehatan maksimal dan data-data kesehatan masyarakat terkelola dengan baik. Pada akhirnya intervensi pada kasus stunting di wilayah ini menjadi sangat efektif.

Wilayah dengan angka stunting tinggi tidak memiliki puskesmas yang seperti itu. Ambil contoh Puskesmas Gedangsari di Gunungkidul. Dalam hal penanganan kasus stunting mereka tidak berinovasi atau memperbaiki layanan namun malah lebih banyak melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten dan Muspida kecamatan. Demikian pula dengan Puskesmas Imogiri II di Bantul. Puskesmas ini lebih fokus pada upaya penanganan stunting daripada pencegahan.

Di tingkat desa, pelaksanaan program percepatan stunting bertumpu pada peran pemerintah desa dan kader posyandu. Pengalaman dari kelurahan dengan angka stunting rendah menunjukkan bahwa warga memiliki tingkat kesadaran yang cukup tinggi tentang kesehatan, pengasuhan, pemenuhan gizi. Hal ini terlihat jelas dari kelurahan Giriasih di Gunungkidul. Kalurahan ini telah memiliki program kesehatan lingkungan seperti sanitasi dan program perbaikan rumah tidak layak huni. Untuk akses air bersih warga, pemerintah kelurahan juga telah mengupayakan pembangunan SPAM. Selain itu pihak kelurahan juga responsif ketika ada warga yang terdeteksi stunting. Adapun kunci keberhasilan perubahan perilaku warga Giriasih dalam pola asuh dan pemenuhan gizi adalah para kader posyandu yang mengedukasi seluruh anggota keluarga yang memiliki anak berisiko stunting.

Untuk kelurahan yang memiliki angka stunting tinggi, persoalan utamanya adalah kondisi wilayah yang sulit diakses, tingkat kesejahteraan masih rendah, dan pola asuh yang buruk. Di kelurahan Mertelu, kasus stunting terjadi dalam keluarga yang tidak mengikuti program KB. Para ibu di kelurahan Mertelu juga malas memperhatikan makanan anak. Hal yang senada juga ditemukan di kelurahan Selopamioro yang mana para ibu muda cenderung mengacuhkan kecukupan gizi untuk dirinya dan anak balitanya. Sementara itu, sebagian ibu muda ini adalah pekerja yang menitipkan anak balita mereka kepada simbah-nya.