Penulis: Agus S Efendi
Dalam beberapa tahun terakhir kita semakin sering menyaksikan pelbagai bencana alam yang membuat krisis iklim tidak mudah diacuhkan. Salah satu bencana terbesar terjadi di Pakistan tahun lalu. Negeri Muslim terpadat kedua di dunia ini terkena banjir besar yang menenggelamkan hampir sepertiga wilayah. Lahan-lahan pertanian yang diandalkan oleh lebih dari separuh penduduk rusak. Dalam beberapa bulan berikutnya krisis pasokan pangan pun datang.[1] Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa negeri penghasil beras dan kapas ini tengah terperangkap dalam krisis ekonomi dan politik. Singkatnya, kehidupan masyarakat Pakistan menjadi porak-poranda karena cuaca ekstrem.
Kalau dilihat dari sudut lain, struktur demografi Pakistan rupanya memiliki median usia penduduk di angka 23 tahun. Beberapa ahli memperkirakan bahwa dalam beberapa dekade mendatang Pakistan akan mengalami bonus demografi jika program perencanaan keluarganya sukses menekan angka kelahiran.[2] Pakistan saat ini dapat dikatakan seperti Indonesia di era 1970an. Dengan melihat kondisi Pakistan saat ini tentu persiapan untuk memaksimalkan bonus demografi akan jauh lebih sulit.
Artikel ini ingin mengelaborasi bagaimana hubungan bonus demografi dengan krisis iklim. Proposisi yang kita bangun adalah bonus demografi yang diartikan sebagai produktivitas penduduk yang tinggi akan membuat konsumsi energi dalam negeri meningkat signifikan. Namun kita tahu bahwa frekuensi bencana alam seperti banjir dan tanah longsor serta anomali cuaca ekstrem diperkirakan akan meningkat cukup drastis. Hal ini terjadi karena penghangatan suhu permukaan bumi yang dipicu oleh efek gas rumah kaca. Para ilmuwan mengusulkan agar para pengambil kebijakan untuk lebih pro-aktif dalam menyusun kerangka aksi pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan. Oleh karena itu kita perlu melihat Indonesia sebagai studi kasus.
Energi Listrik untuk Produktivitas atau Profit
Secara teoretik, bonus demografi akan benar-benar dapat dioptimalkan kalau tenaga kerja mampu memanfaatkan teknologi produksi yang tengah berkembang. Untuk saat ini, teknologi digital dipandang sebagai teknologi mutakhir yang paling mampu meningkatkan nilai lebih suatu produk daripada teknologi yang lain. Dalam kehidupan sosial-ekonomi, gadget digital seperti smartphone dan komputer berperan sangat penting dalam pengorganisasian tugas atau pekerjaan. Peran ini semakin dikuatkan oleh tingkat penetrasi jaringan internet yang sudah mencapai 90 persen.[3] Dalam kondisi yang demikian hampir semua orang dimampukan untuk saling berkomunikasi dan mengakses informasi secara langsung.
Pemanfaatan peralatan elektronik dan teknologi digital untuk produktivitas tentu butuh infrastruktur energi yang akan menjamin listrik selalu tersedia. Di Indonesia sendiri sistem kelistrikan dikembangkan secara terpisah untuk efisiensi jaringan distribusi. Sementara itu hampir 60 persen jumlah penduduk Indonesia hidup di pulau Jawa.[4] Inilah yang menjadi alasan mengapa konsumsi listrik pulau Jawa selalu yang paling tinggi. Tingkat konsumsi listrik yang tinggi lantas menjadikan pulau ini dianggap sebagai motor penggerak industri manufaktur dan jasa Indonesia. Pada tahun 2021, jumlah konsumsi listrik di Jawa dan Bali telah mencapai 179 GWh (Giga Watt per jam).[5] Angka ini setara dengan 72 persen total konsumsi nasional.
Kalau dilihat dari trennya, rata-rata peningkatan total konsumsi listrik nasional berada di kisaran angka 4,7 persen.[6] Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia semakin bergantung pada energi listrik. Bagi sebagian orang kedudukan listrik mungkin sudah setara dengan kebutuhan dasar seperti makan. Ini bisa terjadi karena dalam melakukan kegiatan sehari-hari kita selalu menggunakan peralatan yang teraliri listrik. Dari situ perlahan kita menganggap bahwa listrik adalah sesuatu yang selalu ada. Situasi yang demikian membuat kita sulit membayangkan apa efek jika pasokan listrik terhenti tiba-tiba dalam jangka waktu yang cukup lama.
Dari situ kita perlu bertanya apakah konsumsi energi itu juga beriringan dengan peningkatan produktivitas mulai dari level individu sampai sektor industri. Tentu perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk menjawab pertanyaan itu. Jika hal itu dilakukan kita dapat mengetahui seberapa jauh efisiensi pemanfaatan listrik dalam kehidupan masyarakat.
Energi listrik yang kita nikmati saat ini 90 persennya berasal dari pembangkit berbahan bakar fosil. Kapasitas daya pembangkit listrik nasional kita berkisar di angka 66.514 MW.[7] Dari kapasitas ini lebih dari separuhnya dipasok oleh PLTU batu-bara. Data terbaru menunjukkan bahwa dalam satu tahun PLTU tersebut membutuhkan kurang lebih 115 juta ton batu-bara.[8] Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran tentang dampak eksplorasi tambang dan pembakaran batu-bara terhadap lingkungan dalam jangka panjang. Memang ongkos produksi listrik dari PLTU batu-bara sangat murah dan cadangan batu-bara Indonesia sendiri diperkirakan bisa untuk melistriki Indonesia hingga 100 tahun kedepan. Kendati demikian kita perlu menghitung pula total kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengerem kerusakan lingkungan dan mengurangi gas rumah kaca adalah melalui kebijakan. Namun kebijakan energi Indonesia tampaknya lebih fokus pada efisiensi dan mengabaikan upaya-upaya penghematan atau komitmen pengurangan emisi karbon. Dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN tahun 2021-2030 disebutkan bahwa pasokan listrik nasional dipenuhi dengan cara menguatkan kapasitas pembangkit yang didasarkan pada permintaan.[9] Ketika tren permintaan listrik naik maka PLN pun berencana membangun ratusan pembangkit listrik baru. Sayangnya, bagi PLN, jenis pembangkit yang paling efisien masih pembangkit berbahan bakar fosil (batu-bara dan gas).
Sebenarnya PLN sebagai satu-satu perusahaan yang memasok listrik dalam negeri memiliki kemampuan dalam membentuk pola konsumsi listrik dalam masyarakat. Misalnya adalah dengan kampanye hemat listrik atau penerapan tarif progresif listrik. Jika kedua hal ini dilakukan maka akan berdampak pada pola konsumsi listrik yang lebih efisien. Implikasinya adalah kebutuhan listrik secara agregat menjadi relatif stabil.
Strategi penghematan tentu tidak menarik bag PLN karena hanya akan membuat profit berkurang. Selain itu PLN juga dihadapkan pada kepentingan bisnis yang memasok sumber energi. Tapi yang agak mengherankan adalah kenapa PLN dikabarkan selalu merugi. Apakah ini disebabkan oleh tarif listrik yang terlalu murah atau manajemen pasokan listrik yang buruk kita belum bisa memastikan. Meskipun demikian yang jelas pasokan energi listrik kita selalu menguntungkan perusahaan-perusahaan pemasok (batu-bara dan gas).
Dari situ menjadi masuk akal apabila bauran energi listrik nasional pada tahun 2030 menjadikan PLTU batu bara sebagai yang paling dominan. Sedangkan sumber energi baru terbarukan (EBT) hanya ditarget maksimal 20 persen. Itu pun yang 8 persen berupa PLTA yang telah lama berdiri. Dengan kata lain Indonesia tidak memiliki komitmen yang kuat dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Pada akhirnya kita lah yang berkontribusi pada memburuknya krisis iklim global.
Krisis Iklim dan Perubahan Demografi
Masih rendahnya pemahaman tentang energi baru dan terbarukan akan membuat Indonesia menghadapi krisis iklim dengan perhitungan yang salah. Para pemangku kebijakan perlu didorong untuk mengkalkulasi potensi bencana cuaca ekstrem seperti kekeringan, banjir dan suhu ekstrem yang nantinya berpengaruh pada tingkat kesejahteraan. Belum lagi peningkatan permukaan air laut yang telah, sedang dan akan membuat wilayah pesisir Indonesia rusak. Ini juga harus segera dibuat skema mitigasi.
Dalam dua dekade terakhir, tren bencana yang terkait dengan iklim di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat. BNPB mencatat bahwa pada tahun 2020 ada 1.531 bencana banjir, 1.160 tanah longsor dan 1.486 putting beliung.[10] Hal ini paling tidak dipengaruhi oleh dua faktor. Yang pertama adalah perubahan lanskap permukaan tanah akibat alih fungsi lahan secara massif. Dan yang terakhir adalah perubahan cuaca secara ekstrem.
Pemanasan global dulu kerap disangkal karena sedikitnya fakta yang dapat dijadikan bukti. Untuk sekarang kita dapat menyaksikan dengan mudah bagaimana kenaikan permukaan air laut telah menyebabkan abrasi pantai semakin parah. Selain itu banjir rob juga telah membuat puluhan desa di pesisir pantai utara pulau Jawa hilang dan ratusan yang lain terancam hancur.[11] Hal ini akan membuat banyak penduduk pesisir terpaksa bermigrasi mencari tempat tinggal baru. Beberapa kota besar di pesisir pulau Jawa seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya juga menghadapi persoalan yang sama. Sebagai kota industri yang padat penduduk, penanganan bencana banjir tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Di samping itu rekor suhu panas ekstrem juga tercatat dalam di beberapa kota di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa studi memperkirakan bahwa kenaikan suhu udara ini akan memicu stress di kalangan penduduk perkotaan.[12] Ini tentu berefek pada turunnya tingkat produktivitas para pekerja kota. Di pedesaan sendiri suhu panas akan mengubah pola kerja para petani.
Pada musim penghujan krisis iklim meningkatkan intensitas hujan dan cuaca badai menjadi lebih ekstrem. Ini tentu akan membuat bencana banjir dan tanah longsor lebih sering terjadi. Seperti di pembuka tulisan ini, yang paling dikhawatirkan dari bencana banjir adalah rusaknya ladang dan sawah yang membuat pasokan pangan berkurang. Jika krisis pangan ini terjadi maka peluang ataupun keuntungan bonus demografi akan hilang begitu saja. Oleh karena itu kita harus memperlakukan bonus demografi sebagai fenomena yang hadir dalam masyarakat yang bergantung pada kondisi alam.[13]
Terakhir, apa yang perlu ditekankan adalah bonus demografi tidak akan memiliki arti selama Indonesia merespon krisis lingkungan dan krisis iklim dengan kebijakan energi yang tidak tepat.
[1] Lihat https://time.com/6247300/pakistan-food-crisis-climate-change-inflation/
[2] Zeba Sathar, Rabbi Royan, and John Bongaarts, ‘Capturing the Demographic Dividend in Pakistan’, 2013.
[3] Tim APJII, ‘Survei Pengguna Internet APJII 2019-Q2 2020: Ada Kenaikan 25, 5 Juta Pengguna Internet Baru Di RI’, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indinesia, 74 (2020), 1.
[4] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Jawa
[5] PLN, 2021 Statistik PLN (2021).
[6] Agus Sugiyono, ‘Outlook Energi Indonesia 2015-2035: Prospek Energi Baru Terbarukan’, J Energi Dan Lingkung, 12 (2016), 87–96.
[7] Lihat https://www.bps.go.id/indicator/7/321/1/kapasitas-terpasang-pln-menurut-jenis-pembangkit-listrik.html
[8] Lihat https://www.cnbcindonesia.com/news/20210727162935-4-264057/sampai-2030-konsumsi-batu-bara-pltu-ri-melonjak-38
[9] PLN, PT. “Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021-2030 (Jakarta: 2021)
[10] Lihat https://dibi.bnpb.go.id/kbencana2
[11] Lihat https://theconversation.com/perubahan-iklim-sebabkan-banyak-bedol-desa-di-pantura-tapi-kebijakan-perlindungan-warga-belum-tersedia-203407
[12] Karin Lundgren and others, ‘Effects of Heat Stress on Working Populations When Facing Climate Change’, Industrial Health, 51.1 (2013), 3–15.
[13] Jennifer Marshman, Alison Blay-Palmer, and Karen Landman, ‘Anthropocene Crisis: Climate Change, Pollinators, and Food Security’, Environments, 6.2 (2019), 22.