Oleh: Minhatul Ula

Film Gowok: Kamasutra Jawa bercerita tentang tradisi jawa yang sudah lama ditinggalkan. Gowok adalah sebutan untuk perempuan yang ditugaskan untuk mendidik dan mempersiapkan calon pengantin laki-laki memasuki dunia pernikahan. Tradisi Gowok yang diangkat dalam film ini tidak hanya mendidik seorang laki-laki dalam hubungan seksual, tapi juga mengajarkan ilmu tentang tubuh. Ilmu ini berkaitan dengan bagaimana cara memperlakukan tubuh fisik milik dirinya sendiri maupun tubuh fisik pasangannya. Selain itu, Gowok juga memberikan pemahaman soal relasi, kepercayaan, dan tanggung jawab dalam rumah tangga serta mempersatukan jiwa dan raga sepasang suami istri.

Dalam film ini, Gowok yang dinilai ‘tabu’ oleh sebagian besar masyarakat mampu mengajarkan bagaimana sepasang suami istri untuk saling memahami dengan cara yang tersirat. Jika penonton cukup jeli untuk menangkap pesan-pesan yang terbersit dalam film tersebut maka ia akan memperoleh sesuatu yang menarik. Misalnya dalam hubungan suami istri, tidak ada pekerjaan suami maupun pekerjaan istri. Kewajiban istri hanyalah melahirkan dan menyusui. Soal pekerjaan rumah tangga, suami-istri dianjurkan untuk mengerjakan bersama-sama. Suami dan istri untuk saling ‘terpuaskan’, tak hanya suami yang terpuaskan.

Tokoh utama dalam film ini bernama Kamanjaya (saat muda diperankan oleh Devano Danendra) yang selalu mendukung apa yang dicita-citakan Ratri (diperankan oleh Raihaanun). Semangat yang dibawa oleh film ini sangat bertolak belakang dengan budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam kehidupan berumah tangga. Kamanjaya melawan budaya patriarki dengan cara mendukung penuh Ratri untuk bersekolah maupun ikut berorganisasi. Ia terus memberikan dukungan sampai Ratri berhasil membuat organisasi khusus perempuan agar perempuan Indonesia menjadi perempuan yang terdidik.

Berlatar era 1950–1960an, Gowok menyuguhkan cuplikan sejarah Gerwani dalam menumbuhkan kesadaran perempuan. Dalam hal ini film ini ingin mengatakan bahwa perempuan juga dapat mengerahkan ‘kekuatan’ untuk melawan pemerintah. Isu gender juga disematkan lewat sosok Liyan, anak angkat laki-laki Nyai Santi yang tampil feminin, mengenakan kebaya, dan bersikap kemayu. Ia tak sekadar pelengkap cerita, melainkan representasi yang dianggap tabu dalam tatanan norma Jawa. Nama Liyan pun telah menunjukkan bahwa identitas gender sosok tersebut bukan antara laki-laki dan perempuan.

Banyak Masyarakat yang salah paham tentang film dengan latar belakang jawa ini. Mereka beranggapan bahwa patriarki adalah budaya Jawa. Akan tetapi, kita perlu menegaskan bahwa budaya patriarki tidak muncul pertama kali di Jawa. Kalau ditelusuri, istilah patriarki berakar dari bahasa Yunani kuno patriarkhēs yang berarti ‘kepala keluarga laki-laki’. Mungkin benar bahwa dalam budaya jawa laki-laki memiliki peran sosial yang relatif lebih luas. Namun yang jelas perempuan berperan sangat besar dalam mengatur rumah tangga.

Film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini juga menampilkan kekayaan warisan budaya yang sangat kompleks. Pakaian jawa yang dikenakan, motif batik yang dipakai, serta makanan tradisional yang tersedia membuat film tersebut semakin berwarna.

Minhatul Ula adalah tendik, Sekretaris LP3M UNU Yogyakarta dan Peer Councelor Klinik K2+