
Oleh: Firda Ainun Ula
Banyak perempuan muda melihat pernikahan sebagai akhir dari kebebasan. Alih-alih membahagiakan, momen pernikahan justru seperti gembok pintu yang tak akan bisa dibuka lagi kecuali dengan sayatan luka, konflik, atau stigma. Lalu datanglah cerita-cerita masa kecil yang menakutkan, tentang istri yang kehilangan cita-citanya, juga tentang perempuan yang harus rela diam saat disalahkan. Tak jarang ‘kodrat’ perempuan disederhanakan dengan seberapa cepat ia menikah, punya anak, dan total melayani keluarganya tanpa punya peluang melihat dunia luar.
Wajar jika banyak yang menganggap pernikahan itu mengerikan. Hal ini tergambar dalam tren #MarriageIsScary yang ramai dibincangkan di media sosial.
Tagar ini bukan sekadar tren, ia adalah cermin dari ketegangan yang lebih dalam. Studi Shafa dkk. (2015) mengurai kenyataan ini. Penelitian ini bicara soal pernikahan sebagai institusi dan juga tentang tubuh-tubuh muda yang dicekam rasa takut akan kegagalan, kehilangan, dan kekangan.
Media sosial menjadi panggung kontestasi paling kuat. Di sana cinta ditampilkan dalam beragam wajah. Dalam riset Shafa dkk. Itu sebagian besar Gen Z mengakui media sosial memengaruhi pandangan mereka tentang pernikahan. Di media sosial inilah generasi muda dipertemukan dengan konten-konten yang membuatnya ciut untuk menikah, seperti perceraian hingga kekerasan dalam rumah tangga. Terpaan algoritma yang membeberkan sisi gelap pernikahan itu membentuk imajinasi kolektif tentang relasi.
Namun, apakah kita benar-benar takut pada pernikahan itu sendiri, ataukah kita takut pada ekspektasi sosial yang dibebankan terhadap relasi pernikahan yang selama ini dianggap ideal?
Pernikahan hari ini bukan hanya soal cinta. Ia adalah pertautan multiproyek sosial-politik-ekonomi-psikologis. Dan semua aspek itu perlu dibicarakan sejak dini, dengan jujur dan menyeluruh. Seperti disimpulkan oleh Riswandi dkk. (2025), hanya dengan pemahaman yang mendalam dan kesiapan yang menyeluruh, pernikahan bisa bertransformasi dari ketakutan menjadi ruang aman untuk bertumbuh dan saling mendukung.
Kita tidak bisa lagi menuntut orang muda untuk “berani menikah” jika tidak menyediakan bekal yang cukup. Kita tidak bisa mengutip ayat tentang rumah tangga sakinah jika dirumah mereka sendiri, cinta selalu hadir bersama kekerasan, ketakutan, dan kekhawatiran. Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan generasi yang tumbuh dalam paparan ketakutan, padahal sistem yang membesarkan mereka dipenuhi luka kolektif yang diwariskan lintas generasi.
Apa yang dibutuhkan anak muda hari ini bukanlah janji-janji manis soal pasangan yang sempurna atau pernikahan yang sempurna. Orang muda butuh kejujuran tentang konflik, kerja sama, komunikasi, dan berbagi luka tanpa saling menyalahkan dan menghakimi. Anak muda butuh keterampilan emosional bukan sekadar nasihat atau ceramah yang normatif dengan bayang-bayang kehidupan yang selalu bahagia setelah pernikahan.
Jika demikian pernikahan bukanlah momen perlu ditakuti. Persoalan utamanya adalah konstruksi yang mengendalikan perempuan untuk menikah hanya demi memenuhi ekspektasi, bukan karena pilihan yang sadar dan bebas. Ketika seorang perempuan memilih menikah karena takut dibilang “terlalu tua”, “tidak laku”, “perawan tua”, maka itu bukan keputusan yang bebas. Ini adalah bentuk tekanan sosial yang disamarkan sebagai cinta dan kewajiban.
Padahal pernikahan yang sehat dapat menjadi ruang aman untuk bertumbuh bersama, saling mendukung, dan menyatukan dua manusia merdeka. Dalam pernikahan yang didasarkan pada kesetaraan dan kesalingan, tidak ada yang perlu ditakuti. Tidak ada tuntutan untuk berubah demi menyenangkan pasangan, juga tidak ada cita-cita yang hilang hanya karena telah menikah. Justru cinta hadir tanpa menyakiti satu sama lain dan menjadi tempat di mana kita semakin berani menjadi diri sendiri.
Penting untuk diingat bahwa menikah bukan soal “melengkapi separuh jiwa” seperti yang sering kita dengar dalam puisi pujangga atau lirik lagu. Kita tidak dilahirkan setengah. Kita sudah utuh sejak dari sononya. Jika memutuskan untuk menikah, itu semata bukan untuk mencari yang kurang, tetapi untuk berbagi atas apa-apa yang sudah kita miliki, yaitu cinta, pemahaman, dan rasa tanggung jawab sebagai dua individu dewasa.
Pernikahan bukan sesuatu yang perlu ditakuti, meski juga tidak bisa dianggap remeh. Jika generasi sebelumnya belajar pernikahan lewat pengalaman (yang kadang pahit), generasi hari ini berhak belajar lewat pengetahuan yang kritis, reflektif, dan kontekstual.
Referensi :
Shafa, N. F., Latifah, H. N., Puspita, P., Susilawati, P., & Rozak, R. W. A. (2025). Pengaruh media sosial terhadap persepsi marriage is scary di kalangan gen Z. Jurnal Psikologi dan Bimbingan Konseling, 10(4). https://doi.org/10.8734/liberosis.v1i2.365.
Riswandi, R., Surahman, C., & Nugraha, R. H. (2025). Analisis perspektif mahasiswa muslim gen-Z terhadap isu marriage is scary. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Indonesia (JPPI),5(1), 10–25. https://doi.org/10.53299/jppi.v5i1.893.
Firda Ainun Ula adalah anggota Pusat Studi Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Sedang menempuh program magister di Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.